12.05.2013

Si Bos Enaknya “di-add” atau “di-ignore?”


> From: Adhi Cahyono
>
> Si Bos Enaknya "di-add" atau "di-ignore?"
> Oleh Lily Yulianti - 10 Februari 2009 - Dibaca 266 Kali -
>
> Ada lelucon lawas di kampung saya. Tentang Pak Camat yang menerima telepon dari Pak Bupati. Waktu itu, awal 80an, telepon masih mewah dan langka. Suara penelepon tak pernah jernih, banyak bunyi keresek-kereseknya. Telepon interlokal harus lewat sentral, dilayani petugas.
>
> Pak Camat sedang tidur-tiduran di suatu hari libur. Telepon berdering. Ternyata yang menelepon Pak Bupati.
>
> "Oh Pak Bupati ya? Maaf, Pak.. sebentar ya, saya mau ganti baju dulu…" Pak Camat menjawab telepon itu hanya mengenakan singlet. Ia merasa perlu mengenakan pakaian yang sopan saat bercakap-cakap dengan bos. Tak pantas rasanya pakai singlet saja.
>
> Jadi begitulah, perilaku sosial dan gaya hidup memang berubah seiring dengan pencapaian puncak-puncak teknologi. Di ranah komunikasi dan informasi, salah satunya adalah perubahan besar hirarki komunikasi. Di Amerika, ketika radio penyiaran mulai berkembang sekitar 1920-an, orang girang bukan main ketika tahu bahwa pesan mereka bisa tersebar ke seluruh penjuru.
>
> Kini, setelah Internet membawa gelombang revolusi informasi berikutnya, orang-orang kegirangan melihat keterhubungan yang luar biasa canggih. Setelah Read-Write-Web (maksudnya, Situs Web tidak hanya bisa dibaca, tapi juga bisa diisi sendiri seperti yang kita lakukan sekarang) berkembang pesat di paruh kedua 90-an, yang terbentang di depan kita adalah acak-acakannya hirarki sosial di dunia nyata ketika dibawa ke dunia cyber.
>
> Itulah mengapa kita menyaksikan berbagai kelucuan dan keunikan ketika orang mencoba melakukan penyesuaian dalam perilaku komunikasinya, seperti kisah Pak Camat itu.
>
> Di ranah Social Networking System (SNS), seseorang dengan posisi tinggi di dunia nyata, harus bisa menerima sifat alamiah pergaulan Social Media yang egaliter, tidak terorganisir secara ketat dan non-hirarkis.
>
> Seorang atasan yang membuka account di Facebook, bisa membuat anak buahnya melontarkan pertanyaan, "Waduh, si bos minta di-add. Diterima apa tidak ya?" Bos-nya memang gaul, mengajak berteman di dunia maya. Tapi sang bawahan bisa berpikir, "Kalau di-add, wah si bos bisa mengintip privasi aku…"
>
> Seorang teman bilang, "Tak akan saya add si-bos. Aku nggak mau dia tahu kehidupan pribadiku. Dia tuh galak, aku rada serem juga hihihi…"
>
> Seorang dosen yang sudah lama memanfaatkan fasilitas chatting YM dan GTalk serta aktif mengisi testimoni mahasiswanya di Friendster, dicibir oleh dosen lainnya sebagai, "Menurunkan pamor, mengurangi wibawa." Tapi si dosen merasa, mahasiswa justru lebih rileks dan percaya diri menghadapinya.
>
> Seorang teman yang memimpin bank swasta dan aktif di Facebook mengatakan, "Saya memang menghindari bertemu bawahan saya di dunia cyber karena takut mereka salah tingkah, tapi ada lingkaran pergaulan sosial lain di dunia maya yang perlu saya perluas. Nasabah dan relasi saya banyak di Facebook."
>
> Bagi Anda, yang memiliki posisi struktural apalagi bila Anda pejabat publik atau pesohor, komunikasi publik dengan muatan personal yang paling efisien saat ini adalah melalui Internet. Nilai plusnya lebih banyak ketimbang nilai negatifnya. Pencitraan "ramah, menyempatkan menyapa, down to earth" sangat mudah dipanen dalam waktu singkat dengan mengoptimalkan sosialisasi di dunia maya. Wakil Walikota Surabaya, Arif Afandi, jauh lebih populer dari sang walikota di kalangan netter dan kalangan kelas menengah yang telah bergeser gaya hidupnya menjadi Web-based life-style.
>
> Menteri Negara Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman, tak butuh waktu lama untuk membangun citra "suka berteman dan berinteraksi" karena ia aktif mengikuti perkembangan diskusi di salah satu milis terbesar di tanah air, Forum Pembaca Kompas. Coba baca juga di pengumuman kopi darat Kompasiana, ia nyelutuk juga di kolom komentar, minta didaftarkan.
>
> Di Jepang, mantan Perdana Menteri Junichiro Koizumi merintis Email Magazine sekitar tahun 2003-2004 (tersedia dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggris). Dengan sistem berlangganan, siapa saja bisa menerima email sang perdana menteri. "Hi Koizumi here! The cherry trees near my windows have blossomed…" begitu antara lain salam pembuka yang ditulis Koizumi. Orang-orang, entah yang mendukung atau yang tak suka pada kebijakannya, tetap menggemari email berkala itu. Koizumi bercerita tentang Tanka -puisi pendek Jepang- yang ditulisnya di sela perdebatan parlemen yang alot, dan seterusnya.
>
> Kuncinya memang menyadari perubahan budaya komunikasi yang luar biasa ini. Pergaulan berbasis Social Media tak mungkin didekati dengan kesombongan jabatan yang dimiliki di dunia nyata. Tak akan laku. Pilihan bahasa dan perspektif personal yang menonjolkan sisi-sisi manusiawi, inilah yang diperlukan.
>
> Nah itu bagi si bos, bagi si komandan dan para juragan yang hendak bergaul dengan basis Social Media.
>
> Sementara bagi anak buah, saran saya, Bos Anda di Facebook atau di SNS lainnya kalau memang dia ada, ya perlu di-add, karena Anda berperan memperkenalkan sang atasan pada pergaulan yang egaliter dan berpeluang mendorong ia menampilkan sisi "manusia"-nya di dunia maya. Bukankah jabatan dan segala macam protokoler yang ribet itu berpotensi meredupkan pancaran kemanusiaan seseorang?
>
> Begitulah.
>
> Ly
>  
> http://lilyyulianti.kompasiana.com/2009/02/10/si-bos-enaknya-di-add-atau-di-ignore/
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar