5.14.2014

Tertawa Bersama Menkominfo


From: dewanto

Tiap kali kesal dengan penguasa, lelucon menyediakan pelatuk yang bisa membuat mereka jengkel: "Ayo kita tertawakan mereka!"

Rezim yang menjalankan kekuasaannya secara dogmatik dan budeg, sering menjadi sasaran lelucon. Karena bicara baik-baik atau protes keras-keras sama saja hasilnya, yaitu ditolak dan ditangkap, maka menertawakan penguasa melalui lelucon menjadi jalan keluar yang sehat. 

Setidaknya ada dua alasan. Pertama, melalui lelucon kritik toh tetap tersampaikan. Kedua, kalau pun kritik itu tak didengar, minimal si pengkritik dan pendengarnya bisa tertawa terbahak-bahak -- dan dengan itu berarti menertawakan si penguasa.

Orde Baru yang bebal dan budeg seringkali diserang melalui berbagai lelucon. Saya masih ingat salah satu lelucon yang pernah saya baca tentang Soeharto dan Harmoko.

Syahdan, saat Harmoko akhirnya menjadi Ketua MPR/DPR hasil Pemilu 1997, dia pun kebingungan karena alasan sederhana: terbiasa memanggil "Bapak Presiden", dia selanjutnya harus mulai memanggil "Saudara Presiden". Harmoko merasa kikuk, segan dan agak-agak takut.

Daripada salah, Harmoko kemudian pergi ke Cendana, menemui Soeharto, dan mengutarakan kegelisahannya. Soeharto kemudian menawarkan sebuah jalan tengah: "Panggil saja 'Saudara Presiden', tidak apa-apa, itu konstitusional. Tapi saya mengerti daripada kegelisahanmu. Supaya daripada perasaanmu nyaman, sebelum kamu mengataken 'saudara presiden', 
Ada banyak sekali lelucon, beberapa bahkan sempat dibukukan, tentang menertawakan rezim Orde Baru dan aparatusnya. Banyak di antaranya, dan ini lebih populer, mengambil bentuk plesetan.

Harmoko, misalnya, sering diplesetkan "hari-hari omong kosong". Korpri, onderbouw Golkar yang menampung para pegawai negeri, diplesetkan jadi "koruptor pribumi". Ada yang pernah mendengar bagaimana "hakim" diplesetkan jadi "hubungi aku kalau ingin menang" atau KUHP menjadi "kasih uang habis perkara" atau UUD menjadi "ujung-ujungnya duit"? Dulu juga saya pernah mendengar ICMI diplesetkan jadi "Ikatan Cewek Malam Minggu Ijen". Bakortanas, lembaga represif yang sering bekerja tak ubahnya dinas intelijen, pernah diplesetkan menjadi "bahaya korupsi sudah taraf nasional". Dan lain-lain, dan lain sebagainya....

Tapi "menertawakan kekuasaan" bukan hanya terjadi pada rezim-rezim despotik yang doyan main tangkap. Sampai batas tertentu, kekuasaan memang cenderung anti-tawa. Tawa adalah tindakan yang seringkali tak terkendali. Mendengar atau membaca atau melihat sesuatu yang lucu, orang bisa dengan refleks tertawa. 

Di situ, tawa menjadi sesuatu yang "tak-tertib", hal ihwal yang "tak-terkendali". Ini jelas bertentangan dengan prinsip kekuasaan (politik, ekonomi, agama, hukum) yang "menjaga tatanan", "merawat order", "menjalankan ketertiban", "menegakkan hukum". Di hadapan prinsip-prinsip itu, tawa adalah anti-order, anti-ketertiban. Tawa adalah chaos, letupan yang memutarbalikkan "kemapanan" -- bahkan walau hanya berlangsung sesaat.

Saya harus menandai kata "kemapanan", selain "kekuasaan". Sampai batas tertentu, tawa bukan hanya dibenci oleh kekuasaan tapi juga oleh kemapanan. Kemapanan adalah situasi tertib, suasana yang ajeg dan pasti, tatanan yang tidak menyediakan tempat bagi hal-hal yang berpotensi mengguncang. Tak terkecuali orang-orang yang mapan dengan "kebenaran".

Mereka yang memeluk-teguh "kebenaran" seringkali tak bisa menerima kebenaran yang diyakininya dipersoalkan. Mereka cenderung tidak percaya ada "kebenaran yang lain", ada versi lain yang juga patut untuk didengar, setidaknya dibiarkan dan diberi tempat. Bagi mereka yang sudah mapan dengan kebenaran tertentu, mereka bisa bereaksi sangat keras terhadap hal-hal yang dianggapnya tak sesuai dengan kebenaran yang diyakininya.

Mereka inilah yang disebut Milan Kundera, dengan mengambil neologisme ciptaan Rebelais, sebagai "kaum agelaste", "kaum yang anti-tawa". Mereka tidak bisa tertawa, tak punya selera humor, karena tidak bisa menerima ambiguitas, kemenduaan/keberbagaian makna. Semua mesti jelas, mesti terang benderang, tak ada abu-abu. 

Umberto Eco, dalam novel berjudul The Name of the Rose memperkenalkan frase "insane passion for the truth", orang-orang yang tergila-gila dengan kebenaran", mereka yang terobsesi dengan kebenaran.

Novel itu berkisah tentang rangkaian pembunuhan yang terjadi di sebuah biara ordo Benediktan pada abad 14. Pembunuhan itu ternyata terjadi pada siapa pun yang nekat membaca buku terlarang berjudul Poetica karya Aristoteles. Buku itu sudah dilumuri racun mematikan sehingga siapa pun yang nekat membacanya akan tewas dalam waktu cepat. Poetica dianggap berbahaya karena memberi tempat terhormat pada komedi, pada tawa, pada lelucon. Buku itu dianggap bisa merongrong kebenaran tunggal gereja.
Salah satu kalimat terpenting dari novel Eco itu berbunyi: "Agaknya misi yang harus diemban oleh mereka yang mencintai kemanusiaan adalah untuk membuat manusia menertawakan kebenaran, membuat kebenaran tertawa, karena itulah satu-satunya cara untuk membebaskan kita dari nafsu yang tergila-gila pada kebenaran."

Atas nama kebenaran ideologi, berbagai kamp konsentrasi dibangun dan ribuan yang didakwa pengkhianat dieksekusi. Obsesi dan tergila-gila akan kebenaran agama yang membuat (misalnya) Israel keukeuh merebut dan mempertahankan Yerusalem dengan berbagai cara , Andre Behring Breivik menembak 77 orang di Oslo, dan/atau gedung WTC dihancurkan oleh pesawat yang dikendalikan oleh para jihadis.
Selama orang-orang masih berani membuat lelucon, plesetan, satire, atau parodi, dunia sebenarnya belum benar-benar sumpek. Masih ada ruang yang bisa dijelajahi, masih tersedia relung-relung yang bisa dihayati dengan santai dan rileks. Inilah "printilan" demokrasi yang mesti dijaga dan dirawat dengan baik karena itu sangat esensial untuk -- dengan mengutip seorang guru besar Amerika di bidang retorika, Robert Hariman-- "membangun keberlanjutan budaya rakyat yang demokratis".

Tidak heran jika di banyak negara, acara-acara parodi/satire politik itu eksis di televisi, misalnya "The Daily Show with Jon Stewart". Untuk menertawakan para politisi yang sering bertengkar dan berdebat di acara Indonesi Lawyer Club (tayang di salah satu TV paling politis di Indonesia), muncullah acara "Indonesia Lawak Klub".

Maka begitu menggelikan rasanya ketika mendengar Menkominfo hendak menuntut situs parodi berita posronda.net karena "menertawakan" kebijakan-kebijakan Menkominfo. Ya, berita parodi berjudul "Cegah MERS, Kemenkominfo Akan Batasi Kuota Internet" jelas adalah upaya menertawan kebijakan-kebijakan yang diambil Menkominfo yang dianggap "asal tebang" dan "asal blokir" (kasus terakhir pemblokiran situs Vimeo).

Tentu saja tulisan "Cegah MERS, Kemenkominfo Akan Batasi Kuota Internet" adalah tulisan – seperti yang di-twit-kan oleh akun @menkominfo – sebagai "kabar tidak benar". Tapi "kebenaran" tertentu dalam setiap parodi. 

Simak, misalnya, tulisan berjudul "Barisan Cerita Lama". Tulisan itu dibuka oleh sebuah paragraf yang cerdas: "Segerombolan anak muda yang menamakan diri mereka Barisan Cerita Lama (BCL) mengusulkan agar  Pemerintah RI menghapus beberapa nama dari catatan kependudukan Republik Indonesia. Nama-nama tersebut antara lain: Widji Thukul, Munir, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, Hendriawan Sie dan ratusan nama lain."

Tentu saja tidak ada organisasi bernama BCL dan tidak ada juga yang pernah benar-benar menuntut agar pemerintah menghapuskan nama-nama yang disebutkan. Tapi siapa, sih, yang bisa menyangkal "kebenaran" penting ini: sampai sekarang tidak pernah ada upaya serius untuk menyeret ke pengadilan orang-orang yang bertanggungjawab atas terbunuhnya Munir dan menghilangnya Widji Thukul.

Salah jika menganggap parodi  sebagai dusta. Parodi justru hanya bisa dilakukan setelah memahami kenyataan yang sebenarnya. Tanpa memahami apa yang benar, orang tak bisa memplesetkannya. Tindakan memplesetkan hanya bisa dilakukan jika kita tahu benar apa yang hendak diplesetkan. Dan ketidakbenaran berita itu diakui secara terbuka dalam disclaimer situs posronda.net. Ketidakbenaran itu, secara puitis, bahkan diakui dalam tagline situs yang terpampang besar-besar: "I believe it because it's unreasonable."

Keberhasilan suatu dusta justru diukur oleh keberhasilannya menyembunyikan apa yang sebenarnya. Suatu dusta disebut gagal jika berhasil terbongkar. Itulah sebabnya siapapun yang pernah berdusta tidak akan pernah menyampaikan suatu disclaimer: "Aku, tuh, bohong, loh."

Inilah bedanya antara dusta dan metafora (juga parodi). Dusta disebut berhasil jika yang ingin disembunyikan itu tak pernah bisa diendus. Sementara metafora (juga parodi) disebut berhasil justru ketika pesan yang ingin disampaikan berhasil dicium oleh pembaca. 

Aih, betapa membanggakannya punya Menkominfo yang demikian cerdas dan rajin piknik, ya? #AkuGakBohongLoh #MariTertawa.


--
~~~~~~~~~~~~~
FB & Twitter: unclegoop

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar