>
> From: <syauqiyahya@gmail.com>
>
> http://m.kompasiana.com/post/bisnis/2012/07/31/swasembada-kedelai-dalam-teori-comparative-advantage/
>
> Swasembada Kedelai dalam Teori Comparative Advantage
>
> Oleh: Rizky Luxianto | 31 July 2012 | 11:20 WIB
>
> Masih terkait dengan naiknya harga kedelai dan mogok produksi tahu tempe pada tulisan saya sebelumnya (Dilema Kedelai, Tahu Tempe, dan Pemerintah). Kali ini saya akan membahas masalah Swasembada Kedelai yang katanya merupakan solusi mengatasi kenaikan harga yang ekstrim tersebut.
> Swasembada dapat diartikan mampu memenuhi kebutuhan dengan kemampuan sendiri. Menurut pendapat yang mengusulkan swasembada, dengan adanya swasembada, maka Indonesia memiliki kemandirian, sehingga tidak akan terpengaruh kondisi di luar, sehingga harga tetap murah, stabil, dan tidak kenaikan yang ekstrim seperti sekarang ini. Benarkah swasembada begitu menguntungkan?
> Sebelum membahas lebih jauh, akan saya singgung sedikit mengenai teori comparative advantage. Bahasa gampangnya, bayangkan ada dua orang tukang kayu. Tukang kayu pertama lebih ahli membuat meja. Meja buatannya sangat bagus, dan karena ahli dia mengerjakannya lebih cepat dari yang lain. Tapi kursi buatannya biasa saja. Tukang kayu kedua lebih ahli membuat kursi. Kursi buatannya kuat dan bagus. Proses pengerjaannya pun menjadi lebih cepat. Namun dalam hal membuat meja, meja buatannya standar, biasa-biasa saja.
> Kalau masing-masing tukang kayu itu berswasembada, maka yang dihasilkan tukang kayu 1 adalah meja bagus dan kursi biasa. Sementara tukang kayu 2 menghasilkan meja biasa dan kursi bagus. Untunglah setelah mendapat nasehat dari seorang konsultan, tukang kayu 1 membuat dua meja bagus, dan tukang kayu 2 membuat dua kursi bagus. Setelah selesai mereka saling tukar, dan akhirnya masing-masing mendapatkan 1 meja dan kursi yang sama-sama bagus. Bagaimana hasilnya? Lebih menguntungkan dari swasembada bukan? Ini masih belum masuk teori comparative advantage, tapi absolute advantage karena masing-masing tukang kayu memang memiliki keahlian masing-masing.
> Sekarang bagaimana jika tukang kayu 2 itu ternyata tidak punya keahlian khusus. Kursi buatannya biasa-biasa saja, kualitasnya sama dengan kursi buatan tukang kayu 1 yang ahli meja. Bahkan parahnya juga, tukang kayu 2 malah kurang bisa membuat meja, meja buatannya tidak begitu bagus. Jelas tukang kayu 2 tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tukang kayu 1.
> Hasilnya bila masing-masing melakukan swasembada, tukang kayu 1 menghasilkan meja bagus dan kursi biasa. Sementara tukang kayu 2 menghasilkan meja jelek dan kursi biasa. Nah disinilah masuk teori comparative advantage. Jika dibandingkan meja tukang kayu 2 jauh lebih jelek dari meja tukang kayu 1, sementara dalam hal kursi menghasilkan kualitas yang sama. Maka sebaiknya tukang kayu 2 fokus membuat kursi saja. Sementara tukang kayu 1 fokus membuat meja.
> Hasilnya kedua tukang kayu mendapat meja bagus dan kursi biasa. Nah terlihat di sini ada keuntungan dari comparative advantage ini dibandingkan swasembada. Sekarang tukang kayu 2 mendapat meja yang jauh lebih bagus. Tapi kan tukang kayu 1 kondisinya sama saja? Ya itu lah, dengan yang namanya perdagangan, maka bisa dinegosiasikan, advantage atau keuntungan tadi bagaimana pembagiannya. Misalnya tukang kayu 2 memberi kompensasi atas meja bagus yang didapat dengan menawarkan beberapa barang miliknya yang lain, atau misalnya memberi lebih banyak kursi, dsb.
> Lalu apakah jadinya mutlak tidak perlu adanya swasembada? Jadi kita harus memproduksi satu jenis barang saja? Tentu saja tidak hitam putih seperti itu. Maksudnya swasembada itu tidak perlu dipaksakan, pun jangan tidak memproduksi sedikitpun. Misalnya dalam kasus kedelai, jika memang kemampuan untuk memproduksi kedelai tidak terlalu bagus, maka tidak harus dipaksakan swasembada. Biarlah daerah yang saat ini memang cocok untuk kedelai tetap memproduksi kedelai, dan daerah lain yang lebih cocok, atau lebih menguntungkan untuk memproduksi yang lain biarlah tetap memproduksi selainnya. Sisa dari kebutuhan kedelai biarlah mengimpor dari negara lain yang memang lebih ahli dalam bercocok tanam kedelai.
> Mungkin ada pertanyaan, memangnya Indonesia benar-benar tidak cocok untuk kedelai? Apa bukan karena pemerintahnya yang kurang peduli sehingga teknik bercocok tanam yang baik tidak diperhatikan, mungkin penelitian tentang bibit yang baik juga tidak ada, dsb? Nah kalau itu saya kurang tahu, karena saya lulusan ekonomi, jadi hanya membahas aspek ekonominya. Mungkin kalau ada teman-teman yang lulusan pertanian bisa lebih detail membahasnya. Sekali lagi intinya, swasembada itu bukanlah hal yang mutlak harus dipaksakan.
> Dan satu lagi sudut pandang ekonomi yang menarik. Memangnya kalau sudah swasembada, lalu harga internasional misalnya naik dua kali lipat karena entah di Amerika ada badai atau gagal panen, harga domestik bisa tetap stabil? Emamngnya mau petani kedelai jual di sini dengan harga 5.000 sementara kalau diekspor bisa laku 10.000? Kalau di ekspor produsen tahu tempe pun teriak lagi, "Pemerintah itu ekspor dilarang dong, kasihan kita neh!". Pertanyaannya, apakah anda tidak kasihan petani? Ini kan istilahnya saatnya petani ketiban rejeki? Emang kalau petani sedang gagal panen produsen tahu tempe mau ngasih bantuan ganti rugi? Emang kalau pas petani panen raya, yang menyebabkan harga turun drastis ada produsen tahu tempe, atau bahkan konsumen yang teriak, "Woiiii, harganya kemurahan tuh, kasihan petani!".
> Jadi… Swasembada bisa menstabilkan harga? Dan membuatnya tetap murah?
>
Blognya alumni SMPN 1 Magelang; berbagi kenangan; berbagi rasa dan berbagi cerita.... OPEN to all of alumnus.
12.05.2013
Swa Sembada Kedelai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar