12.02.2013

Strategi END PAGES: Ketemu Lagi dengan Malcolm Gladwell (3)


Dari: "hernowo mengikatmakna"

> Strategi END PAGES: Ketemu Lagi dengan Malcolm Gladwell (3)
>
> Oleh Hernowo
>
>  
>
>  
>
> "Lima puluh persen menulis yang baik itu ada pada membaca."
>
> —Ignatius Haryanto
>
>  
>
> Saya bukan Malcolm Gladwell. Namun, saya ingin seperti dia dalam menulis. Ketika saya meloncat dalam membaca buku David and Goliath dari halaman depan ke halaman-halaman akhir (end pages), saya menemukan sebuah kegiatan membaca yang luar biasa. Gladwell mengisi halaman-halaman akhir bukunya dengan "Ucapan Terima Kasih", "Catatan", dan "Tentang Penulis". Dalam "Ucapan Terima Kasih", dia menyampaikan hal penting ini: "Terima kasih kepada para pengecek FAKTA saya, Jane Kim dan Carey Dunne, dan konsultan teologi saya, Jim Loepp Thiessen dari Gathering Church di Kitchener, Ontario." Sengaja kata "fakta" saya tulis dengan huruf kapital untuk menekankan betapa menulis buku—sebagaimana dicontohkan oleh Gladwell—ternyata berbasis fakta dan fakta tersebut tidak boleh disampaikan sembarangan. Berusahalah untuk tidak memanipulasi data yang berasal dari fakta. Baru kali ini saya tahu ada pengecek fakta.
>
>  
>
> Pengecek fakta itu belum seberapa. Yang membuat saya tercengan adalah buku-buku yang dibaca oleh Gladwell. Gladwell tidak sekadar mendata buku yang dibaca. Dalam "Catatan", dia menjelaskan tentang apa saja yang diperoleh dari buku-buku yang dibacanya dan apa saja kutipan-kutipan yang dirujuk. Dia menuliskan semua itu dengan rinci dan rapi. Ketika menuliskan buku-buku apa saja yang dibaca dalam menyampaikan kembali kisah Daud dan Goliat, Gladwell menulis: "Kepustakaan ilmiah mengenai pertarungan antara Daud dan Goliat cukup banyak." Saya hitung ada sekitar sembilan atau sepuluh tulisan yang dia baca. Salah satu tulisan yang dibaca Gladwell berasal dari Moshe Dayan. Dayan menulis sebuah esai mengenai Daud dan Goliat berjudul "Spirit of the Fighters". Esai ini dimuat di Courageous Actions—Twenty Years of Independence 11 (1968): 50-52. Beberapa rujukan penting (dalam bentuk kutipan) juga ditunjukkan oleh Gladwell dalam "Catatan". Sungguh, saya belajar banyak darinya.
>
>  
>
> Teresa DeBrito
>
>  
>
> Oleh karena itulah di awal tulisan ini saya menulis, "Saya bukan Malcolm Gladwell." Saya mengutip kata-kata jurnalis Ignatius Haryanto tanpa rujukan. Saya percaya seratus persen dengan omongan Ignatius Haryanto ini. Omongan Mas Hary—demikian dia saya biasa menyapanya—tersebut saya dengar ketika saya dan dia diminta menjadi narasumber untuk pelatihan menulis karya ilmiah para guru. Saya bertemu dengan Mas Hary di Badan Pengembangan Bahasa di Jalan Daksinapati, Rawamangun, Jakarta. Ketika para narasumber mengobrol tentang pentingnya membaca dalam menulis, Mas Hary menyampaikan apa yang kemudian saya kutip. Seberapa jauh kebenaran akan fakta tersebut, saya tidak tahu. Meskipun—tidak seperti Malcolm Gladwell—saya tidak mencari referensi untuk itu, saya percaya bahwa 50% menulis yang baik itu memang ada pada membaca. Membaca (buku yang baik) akan membuat kualitas pikiran meningkat secara otomatis. Kualitas pikiran, secara otomatis, pada akhirnya akan menghasilkan materi tulisan yang baik dan—itu tadi—tidak akan disampaikan secara sembarangan.
>
>  
>
> Lantas apa yang dapat saya petik kali ini dalam membaca buku David and Goliathterutama ketika saya mencermati kisah Teresa DeBrito (seorang guru) yang diulas oleh Gladwell di Bab Kedua di Bagian Pertama? Tidak banyak karena saya telanjur terkesan dengan "Catatan" yang berisi buku-buku yang dibacanya. Kalau saya harus menyebut satu saja materi yang mengesankan saya ketika membaca kisah Teresa DeBrito adalah ketika Gladwell menulis tentang pentingnya guru yang berkualitas—sebagaimana ini juga disampaikan oleh Anies Baswedan ("Bukan kurikulum yang penting melainkan kualitas gurulah yang menentukan apakah pengajaran itu berhasil atau tidak."). Nah, senada dengan Anies, Gladwell menulis di halaman 285 seperti berikut ini:
>
>  
>
> "Jadi apa yang seharusnya kita lakukan? Seharusnya kita memecat guru-guru payah. Atau melatih mereka agar kemampuan mereka meningkat. Atau membayar guru-guru terbaik lebih besar, dan membuat mereka mengajar lebih banyak anak. Atau meningkatkan profil profesi guru agar makin banyak orang yang tepat menjadi guru. Yang seharusnya TIDAK kita lakukan untuk menanggapi terlalu banyaknya guru payah dan terlalu sedikitnya guru hebat adalah menambah jumlah guru. Namun, itulah yang dilakukan di banyak negara industri akhir-akhir ini, di tengah obsesi terhadap pengecilan ukuran kelas. Layak ditunjukkan juga bahwa biaya memperkecil ukuran kelas itu PALING TINGGI dibanding solusi lain. Menambah jumlah guru dan membangun ruang kelas itu menghabiskan banyak biaya, sehingga uang yang tersisa untuk menggaji guru tinggal sedikit. Alhasil, gaji guru, disbanding gaji profesi lain, terus menurun selama lima puluh tahun terakhir."[]
>
>
> --
> --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar