5.05.2014

Proporsional



Proporsional

Minggu, 04 Mei 2014 | 00:32 WIB

Putu Setia
Menonton televisi bersama orang-orang desa tatkala hajatan selalu menarik. Komentar mereka bebas, dengan tawa yang menurut ukuran orang kota mungkin kurang sopan. Ini contohnya. Seorang calon legislator yang gagal masuk Senayan mengatakan dia memang tak mau mengeluarkan uang untuk pemilu legislatif lalu. Ada komentar dengan ketawa cekikikan: "Ya, pantas dong gagal, mana bisa mendapat suara kalau tak keluarkan uang. Tak usah protes." Yang lain: "Caleg bego, cari kerjaan tak mau keluar duit, mana bisa?"
Saya tak tahu pasti, siapa yang dituding. Di layar ada wajah Ahmad Yani dan Sutan Bhatoegana. Saya terlambat nonton. Tapi, apakah benar keduanya tak mau keluar uang? Saya coba mengadakan survei di kalangan penonton. Hasilnya: orang desa itu tak yakin mereka tak main duit. Pasti ikut main, tapi kalah besar. Setelah kalah, berkelit.
Yang saya herankan, ketika saya bertanya apakah pemilu legislatif 9 April lalu itu tergolong baik atau buruk, semuanya menjawab baik. Tak ada yang buruk. Masyarakat tenang, tak ada keributan, serangan fajar berubah menjadi serangan sore yang terbuka di depan umum, apakah itu pembagian uang, pengiriman pulsa telepon, ataupun bingkisan baju. "Sembako sudah kuno, kami bukan orang kelaparan," kata seseorang.
Jelas berbeda dengan pendapat beberapa politikus, termasuk pengamat politik, yang mengatakan bahwa pemilu kali ini adalah pemilu terburuk. Apalagi kalau kita membaca testimoni para caleg yang gagal ke Senayan. Semuanya sepakat: ini pemilu terburuk. Uang yang berkuasa. Terjadi jual-beli suara.
Sejauh mana jual-beli suara benar? Orang-orang desa mengakui itu. Letak soal pada sistem pemilu dengan proporsional terbuka. Terjadi persaingan antarcalon legislator pada partai-partai besar. Orang desa, ibu dan bapak petani yang tua, juga pemilih pemula, sangat ribet untuk memilih calon dengan nomor urut ketiga sampai kedua belas. Sudah hurufnya kecil, menuntun paku pencoblos ke nomor yang dikehendaki susah. Jadi, gampangnya mereka mencoblos gambar partai saja. Apalagi, caleg yang nomor urut besar sudah berkampanye: coblos partai saja supaya cepat.
Coblosan ini disebut "suara mengambang"-ini versi di desa. Peraturan KPU, suara ini adalah milik caleg dengan suara terbanyak. Tapi, ketika penghitungan suara, saksi-saksi bermain, ke mana "suara mengambang" itu dimasukkan. Nah, para petugas KPU bersama para saksi tiba-tiba fasih berbahasa Jawa: wani piro? Dengan kode jari tangan-ini kode di judi sabungan ayam-suara pun menyasar ke nomor yang dihendaki. "Kalau tak mau membayar saksi khusus dan membayar 'suara mengambang', jangan harap menang," kata seseorang. "Permainan" lebih canggih diulang saat rekapitulasi di kelurahan, juga di kecamatan.
Sistem proporsional terbuka diperkenalkan pada Pemilu 2009 dan dari sana rekayasa "penyelewengan" itu dikembangkan. Bagaimana kalau sistem ini dikembalikan ke proporsional tertutup dan kembali mengacu pada caleg nomor urut? Persoalannya, apakah partai siap membuat peringkat berdasarkan mutu caleg. Atau dibuat berdasarkan uji kelayakan terlebih dulu. Apa komentar orang desa? "Caleg harus kembali seperti dulu, berjuang untuk rakyat. Sekarang caleg itu mencari pekerjaan lewat suara rakyat, setelah menjabat kan tak pernah datang lagi. Makanya caleg harus membayar dulu."
Nah, Anda mau bilang pemilu ini baik atau buruk, silakan. Mungkin yang diperlukan sekarang bagaimana memilih presiden yang paham mengatasi masalah ini agar negara kita bisa lebih cerdas sedikit dalam berdemokrasi. Sistem dan undang-undang yang ada perlu direvisi.

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar