From: A.Syauqi Yahya
Politik Kurawa PDI Perjuangan
Go Teng Shin
17 Mar 2014 | 05:16
Sumber: Deklarasi Pencapresan Penuh Wajah Muram
Kurawa menolak mengembalikan Hastinapura setelah Pandawa memenuhi perjanjian membuang diri selama 12 tahun di hutan. Dalam analogi yang sama, PDI Perjuangan menolak mendukung Prabowo Subianto sebagai Presiden setelah Ketuanya Megawati Soekarnoputri menanda-tangani Perjanjian Batutulis.
Apabila dikilas-balik ke hasil Pemilu legislatif tahun 2009, PDI-P hanya mendapatkan suara 14%. Dalam kondisi tidak memenuhi electoral threshold, miskin dukungan dana sebagai partai oposisi dan terkenal tidak luwes dalam melobby dan berkoalisi; siapa yang mau bertaruh atas capres dari PDI-P ? Tapi Megawati masih berkeinginan untuk nyapres, dan untuk mempertahankan posisi sebagai partai besar, PDI-P harus punya capres. Mutlak bagi partai untuk bertahan di atas, atau di masa depan akan merosot menjadi partai gurem yang ditinggalkan pemilih dan pengikutnya.
Sedangkan Prabowo, meskipun Gerindra hanya memperolah 4,5%, namun tidak berada pada posisi segenting Megawati. Prabowo bisa saja tidak capres, dan menghimpun tenaga dan sumber daya untuk Pemilu berikutnya. Soal dana, siapa yang meragukan Prabowo dan Hasyim...? Saat itu pernah ada yang membisikkan, bahwa sumur minyak Prabowo di Kazahkstan dan Azerbaijan sedang menyemprot deras. Jika ada yang meragukan kekayaan Prabowo Subianto, tanya saja Rizal Mallarangeng yang sibuk mengangkat soal kuda Arab dan aset-aset Prabowo saat kampanye 2009.
Katanya ada rally panjang petinggi-petinggi PDI-P melobby Prabowo agar bersedia jadi cawapres Mega. Sebenarnya tidak perlu bagi Prabowo untuk menurunkan levelnya menjadi cawapres, juga tidak perlu menghamburkan dana pribadi mengkampanyekan orang lain sebagai capres. Dengan beredarnya perjanjian Batutulis, semua menjadi jelas, mengapa waktu itu Prabowo mau.
Orang-orang PDI-P boleh berkelit, bahwa perjanjian Batutulis itu conditional, baru berlaku apabila Mega-Prabowo menang. Tapi ambil saja copy perjanjian itu dan bawa ke pengacara, konsultan hukum, ahli hukum yang netral, tanyakan apakah point 7 tentang dukungan pencapresan Prabowo pada Pemilu 2014 itu conditional atau unconditional. Tentunya mereka ini tidak akan berani lakukan, karena akan melempar aib ke muka sendiri.
Mengapa pada hari deklarasi Jokowi itu Megawati dan banyak petinggi PDI-P tidak hadir...? Bukankah ini peristiwa bahagia ? Pencapresan kader mereka yang paling gemilang, yang dikatakan akan mengunci kemenangan PDI-P, mengembalikan posisi PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu...? Apabila ini deklarasi di Amerika Serikat misalnya, sudah pasti hujan balon merah dan bertabur confetti. Tapi mengapa tidak ada senyum dan tawa ? Mengapa mata Puan sembab, mengapaTjahjo Kumolo dan Hasto tampak tidak gembira...? Apakah karena dalam hati semua pemimpin PDI-P ini menyadari bahwa mereka sedang melakukan keputusan kurang terpuji dan memalukan...?
Mengenai Jokowi.
Pencalonan Jokowi sebagai Gubernur dikisahkan oleh beberapa Kompasioner di sini seperti perayaan ulang tahun kejutan. Jokowi yang tanpa ambisi dipanggil tiba-tiba, lalu terkejut mendengar hendak dicagubkan. Padahal, apabila kita menyambungkan semua kolase berita di media, setidaknya ada tiga pihak : Jusuf Kalla, Prabowo Subianto dan Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyatakan melobby Megawati soal pencaguban Jokowi, dan mestinya benar, karena tidak pernah ada bantahan. Banyaknya pihak yang melobby ini membuktikan alotnya menundukkan Megawati, dan bahwa semua proses ini tak mungkin diam-diam dan tidak diketahui Jokowi.
Luhut Pandjaitan misalnya, adalah rekan bisnis Jokowi sejak masih di Solo. Jokowi juga berinvestasi di group Toba Bara milik Luhut Pandjaitan. Apakah mungkin Jokowi tidak tahu bahwa Luhut Pandjaitan merekomendasikannya ke Megawati...?
Terlepas siapa yang berhasil meyakinkan Megawati, yang jelas ada peran Prabowo di sini. Dan peran tersebut semestinya sangat penting, karena Ahok dibawa oleh Prabowo. Selama pilgub DKI, Prabowo aktif berkampanye, bahkan ikut mengucurkan dana.
Tampaknya tidak ada perjanjian tertulis mengenai dukungan Prabowo kepada Jokowi itu seperti di Batutulis. Tapi apabila dipikirkan secara logika, apakah Prabowo mau mendukung seseorang yang berpotensi jadi pesaingnya di Pilpres 2014 tanpa janji terucap dari Jokowi dan PDI-P ? Komitmen Jokowi untuk 5 tahun di Jakarta itu bahkan dinyatakan langsung dalam janji kampanye ke publik, yang seharusnya lebih kuat dari perjanjian tertutup. Dan komitmen untuk amanah 5 tahun ini penting, untuk menjawab tudingan dan fakta bahwa dua kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur ini track recordnya adalah kutu loncat dan meninggalkan posisi lama untuk mengejar jabatan yang lebih tinggi.
Silakan saja PDI-P dan pendukung Jokowi beralasan bahwa pindahnya Jokowi ke jabatan lebih tinggi bukan tidak amanah, melainkan mengambil tanggung-jawab lebih besar yang termasuk Jakarta juga. Ini hanya berlaku kalau Jokowi diminta langsung jadi Presiden tanpa perlu proses pemilu, jadi tidak ada yang diresikokan.
Tapi di sini Jokowi belum tentu Presiden. Menurut ulasan di Kompas, Jokowi mempertaruhkan karirnya. Apabila sudah mengundurkan diri dari jabatan Gubernur dan gagal pilpres, Jokowi tidak jadi apa-apa. Ini adalah gambling. Jokowi meninggalkan rakyat DKI untuk bertualang, untuk mengejar jabatan. Ini yang namanya oportunis. Ambisi berlebihan. Tidak amanah. Tidak pegang janji, kapan diperlukan tinggal diingkari.
Sayang sekali setelah memelihara idealisme menjadi oposisi melalui paceklik dana, jabatan, kekuasaan yang sedemikian panjang; akhirnya PDI-P terpuruk menjadi partai oportunis. Megawati, akhirnya harus menyerah pada kelompok cape-miskin di dalam partainya dan tekanan kuat dari invisible hands, memilih jalan Kurawa dan khianat. Mencapreskan kader yang hanya populer, tidak punya track record kepemimpinan kuat dan tidak punya posisi di partai untuk mengamankan dukungan internal.
Dalam politik, khianat itu biasa. Kesalahan partai Gerindra tampaknya adalah karena berpolitik dengan naif. Kesalahan Prabowo Subianto adalah terlalu mudah mempercayai orang, lalu mendukungnya sepenuh hati. Sifat ini tampaknya harus dikoreksi, terbukti hari ini ditusuk dari belakang oleh Jokowi dan Megawati.
Jadi dimana Megawati pada saat deklarasi Jokowi ? Yang senang menghujat pasti akan beralasan, Megawati bete karena dia sendiri yang ingin nyapres, dan penunjukan Jokowi ini terpaksa. Orang-orang yang sama ini pula yang sering mendengungkan bahwa Jokowi adalah kartu truf Megawati, skak-mat, full-house, jaminan menang. Dua alasan yang bertabrakan, dipakai seenaknya oleh pengidola Jokowi yang tidak rasional.
Jika khianat itu biasa dan sifat alami bagi Megawati, harusnya pada tanggal 14 Maret 2014 itu dirinya tertawa bahagia disamping Jokowi. Banyak yang memuji-muji, Megawati negarawan sejati, politikopreneur, pandhita. Tapi tidak. Bisa jadi Megawati malu, demikian pula petinggi PDI-P yang dikabarkan terlibat proses Batutulis yaitu Pramono Anung dan Sabam Sirait. Yang ada Tjahjo Kumolo, yang sebelumnya selalu menyangkal Perjanjian Batutulis itu ada.
Apabila Jokowi akhirnya menang, mungkin Megawati jadi dinobatkan negarawan sejati. Tapi apabila dalam pertaruhan pileg ini, efek Jokowi ternyata tidak membawa hasil Pileg 2009 yang 14% naik menjadi electoral threshold, apalagi 27% yang ditargetkan Puan; apa masih ada nilainya orang percaya elektabilitas Jokowi...? Apapun yang didengungkan oleh pendukungnya, target 20% itu tidak mudah. SBY sedemikian populer pada tahun 2004, Demokrat hanya mendapat 6%. Tahun 2009 SBY adalah incumbent dengan dukungan besar dan dana berlimpah, Demokrat hanya 20%. Sementara survei abal-abal dan pesanan telah menempatkan ekspektasi begitu tinggi. Jokowi tidak dicapreskan, PDI-P bisa 25%. Jokowi dicapreskan bisa 55%-60%.
Apabila PDI-P tidak mencapai ambang batas dan efek Jokowi hanya 1 digit, maka akan menjadi lonceng kematian pencapresan Jokowi. Jokowi ternyata bukan capres setengah dewa seperti yang dikatakan lembaga survei. Yang punya dana akan mundur. Yang diajak koalisi juga was-was diperlakukan seperti Prabowo dan Gerindra. PDI-P dalam sejarahnya melobby, lambannya seperti lambangnya : kerbau. Apalagi TK yang populer sudah tiada. Saat itulah PDI-P dan Megawati terperosok dalam. Koalisi gurem. Dana cekak. Akhirnya tetap pecundang. Jokowi pulang kampung ke Solo. Megawati akan pudar. PDI-P menjadi partai kecil seiring hilangnya kharisma Megawati.
Masih jauh lebih baik posisi Prabowo. Andaikan gagal jadi Presiden, gagal nyapres sekalipun di 2014 ini, setidaknya kredibilitas politik dan komitmennya tetap tiada cacat. Prabowo masih relatif muda dan punya daya, dan di masa depan apapun mungkin terjadi.
GTS69
Jakarta, 16 Maret 2014
Dibaca : 5 kali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar