@bende mataram@
Bagian 314
Titisari yang biasanya hanya menuruti kemauannya sendiri pun jadi tak
sampai hati. Dengan tetap mendampingi Sangaji ia berjalan mendekati.
"Kenapa kau memukul kakakku?" katanya lembut agak menyesal. Yuyu Rumpung
tak kuasa menjawab. Tenaganya punah. Dengan mata melotot ia mengawasi
Sangaji. Pada wajahnya terbayang rasa heran, kagum, gusar dan takut. Tak
lama kemudian kepalanya tertunduk.. Napasnya melayang. Dan tamatlah riwayat
Yuyu Rumpung "pendekar besar penasihat sang Dewaresi" di tengah alam yang
sunyi sepi. Pada saat itu suara Gagak Seta dan suara pertempuran terdengar
kian nyata. Sangaji tak sempat lagi mengurusi keadaan Yuyu Rumpung. Lagi
pula, pendekar itu sudah mati. Maka dengan menggandeng Titisari ia menda-ki
gundukan dengan cepat. Dan di balik gundukan nampaklah beberapa orang
sedang bertempur dengan serunya. Seorang bertubuh hitam lekam sedang
dikepung tujuh orang. Dia adalah Pringgasakti. Sedang yang mengepung: Jaga
Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru,
Surapati, Suryaningrat dan Bagus Kempong. "Ini tidak adil. Tidak adil!
Bagaimana penda-patmu?" teriak seorang yang bersuara seperti gembreng
pecah. Dialah Kebo Bangah paman sang Dewaresi. "Biarkan dulu! Mereka bukan
berkelahi dengan sungguh-sungguh. Masing-masing lagi memamerkan
kepandaiannya," kata Gagak Seta. Pringgasakti berkelahi dengan gagah, la
menyerang cepat. Tetapi lawan-lawannya bukan pula orang sembarangan. Hanya
saja mereka bukan dari satu perguruan sehingga cara berkelahi mereka lebih
bercorak perseorangan. Hanya Suryaningrat dan Bagus Kempong belaka yang
mempunyai corak berkelahi yang sama. Dengan demikian, sebenarnya tidaklah
kena ucapan Kebo Bangah bahwa Pringgasakti sedang dikerubut tujuh orang.
Sebaliknya penglihatan Gagak Seta lebih tepat. Meskipun demikian, ucapan
Kebo Bangah itu sedikit banyak telah menggugah hati Adipati Surengpati yang
nampak pula berdiri menonton dari luar gelanggang. Di samping-nya berdiri
dua orang lagi. Ternyata mereka adalah Gagak Handaka dan Ranggajaya...
Titisari tak begitu baik kesannya terhadap Pringgasakti. Karena itu ia tak
begitu memedulikan. Tetapi apabila Pringgasakti kena rangsak dan terancam
bahaya, betapa pun juga hatinya tak tega. Sangaji sebaliknya merasa
terheran-heran melihat cara mereka bertempur, la merasa cara berkelahi
mereka tak wajar. Banyak sekali terjadi kesalahan-kesalahan yang menyolok.
Misalnya, sewaktu merangsak bisa memukul dengan dibarengi nyodok miring.
Tetapi mereka tak melakukan demikian. Pringgasakti yang terkenal gagahpun,
mengapa tak melepaskan pukulan sambil melibat. Pemuda itu belum sadar,
bahwa ilmu yang dimiliki kini adalah ilmu sakti tertinggi di dunia.
Sehingga ilmu kepandaian mereka bukanlah bandingannya. Apa yang mereka tak
dapat melakukan, bagi Sangaji mudahnya seperti membalik tangan. Sebaliknya
apa yang terpikir oleh Sangaji mereka sama sekali tiada. Mendadak saja
selagi ia terheran-heran, berkelebatlah sesosok bayangan. Itulah Adi-pati
Surengpati yang terus saja memasuki gelanggang dan membagi gaplokan
kepadamereka. Berkata nyaring, "Benar tak adil! Masakan tujuh orang
mengepung muridku seorang. Saudara Kebo Bangah! Jikalau aku memberi ajaran
kepada mereka apakah aku kurang adil?" "Tentu saja tidak!" sahut Kebo
Bangah dengan tertawa riuh. "Kentutmu!" maki Gagak Seta. Mereka semua
adalah anak kemarin sore. Sedangkan Jangkrik Bongol ) binatang yang sudah
berbulu lebat. Kalau memang mau mengadu kepandaian carilah Kyai Kasan
Kesambi. Sekarang muridnya dikerubut manusia-manusia campur aduk. Bukankah
masih bisa dibicarakan?" Adipati Surengpati kenal watak Gagak Seta.
Meskipun agak angin-anginan, tetapi dia seorang ksatria sejati yang bisa
memaksa hatinya untuk mendengarkan. Maka ia ber-tanya. "Apa yang harus
dibicarakan?" "Bukankah murid-murid Kyai Kasan Kesambi berada di sini.
Muridmu pun ada pula. Kalau kau mau menguji kepandaian Kyai Kasan Kesambi,
bukankah kau bisa mengadu mereka dengan muridmu?" Mendengar keterangan
Gagak Seta, Adipati Surengpati meloncat ke luar gelanggang. Tetapi Ki Hajar
Karangpandan yang beradat berangasan dan mau menang sendiri, tak mau
mengerti. Cepat ia melesat dan membalas melontarkan pukulan. Di antara
mereka yang mengerubut, Ki Hajar Karangpandan termasuk seorang yang paling
tinggi ilmunya di samping Bagus Kempong. Sebaliknya Adipati Surengpati
menganggap terlalu enteng. Dia hanya mengi-baskan tangan. Tahu-tahu dadanya
terasa nyeri luar biasa. Sebat ia menutup diri, lalu tangan kirinya
menyambar lengan Ki Hajar Karangpandan. Ki Hajar Karangpandan kaget. Ia
melompat mundur. Meskipun demikian tak urung lengan bajunya terobek.
Tatkala itu juga Jaga Saradenta melesat pula menyerang pinggang. Dengan
gerakan manis, Adipati Surengpati menggeser ke samping. Kakinya digerakkan
dan Jaga Saradenta terpental jungkir balik mencium tanah. Melihat
keperkasaan ayahnya, Titisari ham-pir saja bersorak girang oleh bangga
hati. untung ia melihat wajah Sangaji yang nampak berkerut-kerut. Ia jadi
heran dan batal menya-takan kegirangan hatinya. Selagi hendak berkata,
terdengar suara Kebo Bangah tertawa terkekeh-kekeh. "Saudara Surengpati!
Mereka semua ini adalah sebangsa kantong nasi. Masakan kau begitu
bersungguh-sungguh?" Bukan main mendongkolnya hati Ki Hajar Karangpandan.
Selama hidupnya belum per-nah ia terkalahkan. Apalagi kena dihina demikian
rupa. Terus saja dia berteriak, "Menumpas muridnya, harus menyikat guru-nya
dahulu! Mari!" Semua yang tadi mengembut Pringgasakti bersiaga dengan
serentak. Tapi Adipati Su-rengpati tidak memberi kesempatan kepada mereka.
Dengan gesit ia menyambar ke kiri— ke kanan. Dan seperti tadi,
masing-masing menerima gaplokan. Melihat sepak terjang Adipati Surengpati,
Gagak Handaka yang berhati sabar tak dapat lagi mengendalikan diri. Ia tak
rela menyaksi-kan adik seperguruannya kena gaplokan di depan umum. Dengan
memberi isyarat kepada Ranggajaya ia melesat memasuki gelanggang. Dan
melihat kedatangan mereka. Adipati Surengpati tak berani lagi sembrono.
"Bagus! Kau dulu pernah memukul aku. Coba, aku ingin merasakan
kesanggupanmu lagi." Ditantang demikian, Gagak Handaka lantas mengedipi
Bagus Kempong dan Suryaningrat. Kemudian berkata Ki Hajar Karangpandan,
Panembahan Tirtomoyo, Jaga Saradenta dan Ki Tunjungbiru. "Berilah kami
kesempatan menjajal ke-perkasaan Beliau. Beliau menantang kami sebagai
murid-murid Kyai Kasan Kesambi. Sudah sepantasnya kami harus meladeni..."
Tetapi Jaga Saradenta yang biasa membawa adatnya sendiri, betapa mau
mengerti. Sahutnya, "Musuh kami adalah iblis itu! Kalian boleh berhantam
dengan Adipati Surengpati. Kami tak menghalang-halangi. Demikian pula,
tuan-tuan pun jangan menghalang-halangi kami." Gagak Handaka belum mengerti
persoalan Jaga Saradenta dengan iblis Pringgasakti. Karena itu ia tertegun
heran mendengarkan kekerasan hatinya. Selagi ia berbimbang-bimbang mendadak
Kebo Bangah memperdengarkan tertawanya. Pendekar itu berkata nyaring kepada
Adipati Surengpati, "Saudara Surengpati! Kita semua dahulu kalah seurat
dengan Kasan Kesambi. Inilah kesempatan yang baik untuk menjajal
kegagahannya. Kalau kau takut gertakanbangsa ) perempuan ini, biarlah aku
yang menjajal." Mendengar ucapan Kebo Bangah, hati Adipati Surengpati
seperti terbakar. Dasar hatinya mau menang sendiri, maka sedetik ia
berpikir cepat. Pengeroyok Pringgasakti ku-rang dua. Selintas pandang
tahulah dia, bahwa Pringgasakti tak perlu dikhawatirkan. Dia pasti bisa
memenangkan. Karena itu dengan mata tajam ia berkata kepada Gagak Handaka.
"Kalian tak usah mendengarkan obrolan kucing itu. Biarlah kucing-kucing tak
berharga itu belajar kenal dengan muridku." Bukan main mendongkolnya hati
Jaga Saradenta disebut seekor kucing. Tetapi Adipati Surengpati terlalu
gagah baginya. Seumpama hendak menuntut kehormatan, merasa diri tak mampu.
Maka ia hanya mema-ki-maki kalang kabut. Selagi begitu, Adipati Surengpati
mengibaskan lengannya. Jaga Saradenta terpental mundur sepuluh langkah dan
berdiri dengan sempoyongan. Pada detik itu juga, Gagak Handaka mem-beri
isyarat kepada adik-adik seperguruannya. Mereka lantas saja menempati suatu
ke-dudukan yang sudah terlatih. Sayang, jumlah mereka kurang satu.
Andaikata Wirapati pada saat itu berada di situ, kedudukannya kian kokoh.
Meskipun demikian, Adipati Surengpati nampak sungguh-sungguh. Dahulu dia
pernah merasakan hebatnya tenaga ilmu Pancawara. Kini jumlah mereka empat
orang. Pastilah tenaga mereka jadi dua kali lipat. "Saudara Kebo Bangah!
Betapa juga, Kyai Kasan Kesambi bukan orang sembarangan. Kau percaya
tidak?" katanya dengan tertawa. Mendadak saja, ia terus melompat dan
mengirimkan gempuran. Adipati Surengpati berkelahi dengan meng-gunakan ilmu
sakti Witaradya. Setiap geraknya disertai angin berdengungan. Murid-murid
Kasan Kesambi tak berani lengah sedi-kitpun. Mereka bergeser saling
bergantian dan melepaskan pukulan menggeledek. Adipati Surengpati pernah
merasakan beta-pa hebat pukulan ilmu Pancawara. Maka ia tak berani gegabah
menangkis atau memapaknya. Dengan suatu kelincahan luar biasa cepat, ia
mengelak dan membalas lontaran pukulan pendek. Gerak-geriknya hati-hati.
Jauh berbeda dengan sikap yang angkuh, sombong dan tinggi hati. "Aji! Hebat
tidak ayahku?" bisik Titisari bangga. Gadis itu diam-diam memperhatikan
ilmu kepandaian ayahnya. Dahulu dia mem-bandel sewaktu diajari ayahnya.
Kini setelah menekuni ilmu warisan Bende Mataram, barulah sadar bahwa ilmu
ayahnya termasuk suatu ilmu tinggi. Gerak-geriknya lincah. Dari kosong
menjadi berisi. Begitu sebaliknya dari berisi, tiba-tiba menjadi kosong. Di
samping itu cepatnya luar biasa. Tubuh ayahnya berkelebatan. Jubah abunya
berkibar-kibar bagai mega hitam datang bergulungan. Setiap kali berkelebat,
selalu meninggalkan suara dengungan. Bumi sekitarnya seolah-olah ikut
berderak-derak. Dalam pada itu mata Sangaji seperti ter-paku. Sesudah
menekuni sejenak, mendadak ia menghela napas.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar