@bende mataram@
Bagian 334
Terus ia mengerahkan segenap tenaganya. Pada waktu itu, dengan gemas
Keyongbuntet menyerang dahsyat. Maklumlah, dia merasa direndahkan. Tetapi
hebat akibatnya. Kedua lengannya terdengar gemeretak. Tahu-tahu remuk tak
berwujud lagi. Tubuhnya terpental menghantam adik seperguruannya Maesasura.
Dan kedua-duanya terbang melayang jauh melintasi paseban. Kaki mereka
menghantam pohon dan patah menjadi empat. Kemudian jatuh bergedebrukan di
tanah tanpa berkutik lagi. Selama hidupnya, Sangaji belum pernah berlaku
kejam terhadap lawan-lawannya rresKi betapa kejampun. Kalau ia mengerahkan
.segenap tenaganya tujuannya hendak menolak hawa beracun lawan. Kemudian
akan menggempurnya, selintasan untuk menghajar adatnya yang bengis dan
keji, agar tak semena-mena lagi menganiaya seorang gadis tak berdosa. Di
luar dugaannya, ternyata tenaga jasmaninya luar biasa hebat. Benar dia
pernah mencobanya tatkala menyusun kubu pertahanan, tetapi semenjak keluar
benteng baru kali itulah dia menggunakan sepenuhnya untuk menghadapi lawan.
Dan begitu melihat penderitaan lawan, hatinya yang mulia jadi iba. Segera
ia hendak melompat menghampiri. Mendadak dari dalam paseban terdengarlah
suara seperti gembreng pecah. "Nah kau lihat sendiri hai tua bangka! Dia
mengaku sebagai anak cucu muridmu. Nyatanya dia jauh lebih hebat dari ilmu
kepandaianmu sendiri. Kau sekarang mau bilang apa?" Itulah suara pendekar
Kebo Bangah. Ia ternyata sudah berdiri berjajar dengan Kyai Kasan Kesambi
di paseban dalam. Melihat mereka berdua, Sangaji berdiri tertegun. Pada
pagi hari tadi, Kebo Bangah sampai di padepokan Gunung Damar. Terus saja ia
minta bertemu dengan Kyai Kasan Kesambi. Niatnya sudah tetap, hendak
menculik Wirapati sebagai alat penukar kedua pusaka sakti Bende Mataram
yang berada dalam tangan Sangaji. Tetapi ia licin. Sebagai seorang pendekar
kawakan, dia tahu menilai ilmu kepandaian Kyai Kasan Kesambi. Terhadap
orang tua itu, dia tak berani berlaku semberono. Karena itu diam-diam ia
hendak melakukan akal licik, la menantang orang tua itu bertukar pikiran
mengenai ilmu kepandaian di suatu tempat yang agak jauh dari padepokan.
Sementara itu, ia berharap anak buahnya dan pasukan Pangeran Bumi Gede
menggerebek pade-pokan Gunung Damar pada siang hari dan terus menculik
Wirapati. Tetapi akal liciknya ini tak gampang-gampang dapat dilaksanakan.
Kyai Kasan Kesambi ternyata bukan lagi hidup sebagai seorang pendekar, la
sudah menjadi seorang pendeta sampai kebulu-bulunya. Terhadap segala tetek
bengek mengenai urusan keduniawian sudah tak sudi menghiraukan lagi. Maka
cepat-cepat ia berganti arah. Terus saja ia membicarakan tentang ragam ilmu
kepandaian di dunia ini, dengan tak berkepu-tusan. Sekali-kali ia sengaja
memberi peluang kepada Kebo Bangah untuk minta pendapatnya, pertimbangannya
dan petunjuk-petunjuknya, la memang seorang pendekar yang gila terhadap
macam ilmu kepandaian di dunia ini. Pengetahuannya luas dan banyak akalnya
pula. Itulah sebabnya meskipun lamban lambat-laun ia berhasil menarik
perhatian Kyai Kasan Kesambi. Akhirnya minta agar Kyai Kasan Kesambi sudi
melihat dan menilai ilmu kepandaiannya yang sudah ditekuni selama dua puluh
tahun. Dahulu dia pernah kalah seurat melawan ilmu kepandaian Kyai Kasan
Kesambi. Sekarang ia berbalik hendak menebus kekalahannya itu. Dan untuk
memperli-hatkan ilmu saktinya itu, dia minta suatu tempat yang memencil.
Kyai Kasan Kesambi meluluskan. Dan demikianlah, maka mereka berdua
meninggalkan padepokan Gunung Damar menjelang tengah hari. Meskipun Kyai
Kasan Kesambi kenal kelicinan Kebo Bangah, tapi ia tak menduga buruk. Dia
hanya bersikap hati-hati dan berwaspada. Kebo Bangah sendiri bisa membawa
diri. Dia bukan goblok pula. Setelah meninggalkan padepokan Gunung Damar
cukup jauh, ia segera mengeluarkan semua kepandaiannya. Ia tak berani
mengurangi sejuruspun. Sebab main akal di depan Kyai Kasan Kesambi tidaklah
guna. Segera kecurangannya akan ketahuan. Tua bangka ini bukan main tajam
matanya. Kalau sampai terbangkit rasa curiganya, urusan penculikan ini bisa
gagal. Dia bersikap se-olah-olah tak sudi mengetahui urusan dunia. Tapi
mengapa menerima lima orang murid? Diam-diam Kebo Bangah menimbang-nimbang
dalam hati. Biarlah kucobanya. Kalau kuserang dia tak mau menangkis, itulah
namanya mencari mampusnya sendiri. Setelah berpikir demikian, mendadak saja
dia terus menyerang Kyai Kasan Kesambi dengan segenap tenaganya. Untung,
jauh-jauh Kyai Kasan Kesambi sudah bersikap hati-hati dan berwaspada.
Melihat mata orang, segera ia bersiaga. Begitu serangan Kebo Bangah tiba,
ia memapakinya. Hebat akibatnya. Kedua-duanya mental dua langkah. Hanya
saja Kyai Kasan Kesambi tetap berdiri tegak, sedang Kebo Bangah perlu
berjungkir balik untuk memunahkan tenaga sendiri yang terkirim balik. Di
sini ternyatalah, bahwa Kyai Kasan Kesambi betapapun juga menang tangguh.
Dia tadi belum siap benar. Sebaliknya Kebo Bangah melakukan penyerangan
dengan sadar. Meskipun demikian dia tak tergoyahkan. "Bagus! Kau tua
bangka. Akhirnya ketahuan juga. Kau cuma bilang di mulut. Buktinya kau
masih menyayangi nyawamu yang sudah bangkotan!" seru Kebo Bangah dengan
tertawa riuh. Kyai Kasan Kesambi bersikap tenang-tenang. Dia hanya
tersenyum menghadapi kekasaran Kebo Bangah. Ia tahu, lawannya bukan
pendekar sembarangan. Dua puluh tahun yang lalu dia pernah mengadu
kepandaian sampai berhari-hari lamanya. Untuk menghadapi dia, jauh-jauh ia
sudah bersiaga. Ia tahu, ilmu kebanggaan Kebo Bangah bernama Kala Lodra.
Untuk menghadapi ilmu Kala Lodra yang tangguh, ia sudah mempunyai
jurus-jurus pemunahnya. Yakni Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti
dengan dasar tenaga Pancawara yang dahsyat. Ilmu ciptaannya itu sebenarnya
dimaksudkan untuk menghadapi pendekar Kebo Bangah dan Adipati Surengpati.
Kedua pendekar itu bengis, licin dan serba pandai. Kemudian secara
kebetulan Sangaji mewarisinya. Meskipun belum sempurna, ia menduga pendekar
Kebo Bangah sudah pernah melihatnya. Kalau tidak, masakan dia sampai naik
padepokan Gunung Damar dan menantang mengadu ilmu kepandaian, pikirnya.
"Kebo Bangah! Makin bertambah umur, rasanya makin runyam jalan pikiranku.
Ciptaanku itu luar biasa jelek. Entah ada gunanya atau tidak untuk
kautekuni," kata Kyai Kasan Kesambi dengan sabar. Terhadap Kyai Kasan
Kesambi, Kebo Bangah tak perlu putar lidah, terus saja tertawa
terbahak-bahak sambil menyahut, "Hai— apakah benar itu ciptaanmu? Aku belum
pernah mencoba." Sehabis berkata demikian, langsung ia menyerang lagi
dengan ilmu Kala Lodra yang sudah disempurnakan. Kedua orang itu dahulu
pernah mengadu ilmu kepandaian sampai sepuluh hari lamanya. Kini mereka
bertempur lagi setelah saling menekuni ilmunya masing-masing selama dua
puluh tahun lebih. Masing-masing memperoleh kemajuannya sendiri. Karena itu
tidaklah gampang-gampang dapat diputuskan siapakah yang lebih unggul dalam
satu dua hari saja. Dan apabila dua harimau sedang bertarung, tidakkan
selesai sebelum salah satu mati atau setidak-tidaknya terluka parah.
Untung, Kebo Bangah tidak bermaksud untuk mengadu kepandaian dengan
sungguh-sungguh. Begitu matahari sudah merangkak-rangkak mendekati petang
hari, ia melompat ke luar gelanggang. Ia menduga, anak buahnya dan pasukan
Pangeran Bumi Gede sudah berhasil menculik Wirapati. Dasar ia banyak akal
dan licin, maka wajahnya sama sekali tak memperlihatkan suatu perubahan.
Bahkan dengan tertawa berkakakan ia berkata, "Kau tua bangka, makin tua
makin hebat! Namun, kalau jurusmu itu benar-benar hasil ciptaanmu, mengapa
anak cucu muridmu lebih hebat dari kau sendiri." Kyai Kasan Kesambi tak mau
terjebak. Segera menyahut, "Apa kubilang tadi. Bukankah ilmuku tiada
gunanya untuk kautekuni?" Kebo Bangah tercengang. Ia memang berbicara
dengan sebenarnya. Semalam ia kena pukul Sangaji. Teringat akan tenaga
Sangaji yang hebat, bulu kuduknya meng-geridik. Tadi agaknya, Kyai Kasan
Kesambi tak begitu menaruh perhatian. Dengan kenyataan itu teranglah, bahwa
tenaga sakti Sangaji benar-benar diperolehnya bukan dari ajaran ilmu Gunung
Damar. Teringat akan kedua pusaka sakti warisan, hatinya mendadak
terguncang hebat. "Tua bangka! Aku berkata dengan sebenarnya. Aku tahu,
jurusmu hebat. Aku tahu pula kau belum menggunakan ilmu saktimu Pancawara.
Kalau sudah... hm... aku Kebo Bangah betapa bisa bertahan lebih lama lagi."
Sekali lagi Kebo Bangah berkata dengan setulus hati. Tapi dasar ia terkenal
licin dan banyak akal, maka Kyai Kasn Kesambi hanya tersenyum belaka.
Menyahut, "Kau mengenal ilmu Pancawara, itulah bagus." "Betapa tidak? Aku
pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sewaktu muridmu yang tertua
mengadu tenaga dengan Adipati Surengpati. Bukan main tangguhnya ilmu itu,
sampai Adipati Surengpati jadi prihatin." Mendengar keterangan Kebo Bangah,
dalam hati Kyai Kasan Kesambi terperanjat. Meskipun dia seorang pertapa
yang sudah sampai pada tataran bebas dan tiada terikat oleh semua bentuk
masalah dunia, namun karena hubungan dengan muridnya bagai darah daging
sendiri, tak urung ia cemas mendengar kabar tentang adu tenaga sakti antara
Gagak Handaka melawan Adipati Surengpati. Dengan menguasai diri ia mencoba
minta penjelasan. "Hm... Pancawara betapa bisa dimainkan oleh seorang untuk
menghadapi Adipati Surengpati." "Kalau begitu, benar-benar hebat ilmu
saktimu Pancawara," sahut Kebo bangah tak kalah cerdik. Sebagai seorang
licin tahulah dia, bahwa hati Kyai Kasan Kesambi kena terguncang oleh
kata-katanya. Teringat kepada rencana kepergiannya ke padepokan Gunung
Damar, tak mau dia lama-lama terlibat persoalan dengan orang tua itu.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar