@bende mataram@
Bagian 328
Benar-benar Sangaji bagai seseorang yang kehilangan dirinya sendiri. Ia
tegak seperti batu. Pandang matanya terlongong-longong. Masih ia menyusul
kepergiannya Titisari beberapa langkah. Kemudian berdiri tegak seperti
tersekat danau lumpur setinggi lehernya. Sedang ia dalam keadaan demikian,
tiba-tiba lengannya terasa teraba. Ia menoleh dan melihat gurunya Jaga
Saradenta berdiri tertatih-tatih di dekatnya. Kata guru yang sok
uring-uringan itu, "Anakku Sangaji! Engkau lahir sebagai laki-laki dan
kelak mati sebagai laki-laki pula. Dan sebagai seorang laki-laki aku
menghendaki engkau hidup sebagai laki-laki tulen. Nah, bagaimana? Apakah
engkau masih seorang laki-laki?" Pemuda itu masih berdiri
terlongong-longong. Kemudian mencoba mengatasi perasaannya. "Aku... aku
hendak mengunjungi guru dahulu ke Gunung Damar!" "Bagus! Itulah baru
muridku," seru Jaga Saradenta bergembira. "Tiga belas tahun yang lalu,
bukankah perasaanku seperti keadaanmu sekarang? Kutinggalkan istri dan
kampung halamanku. Untuk apa dan untuk siapa? Ontuk ini... yang bersemayam
dalam dada... yang mengingatkanku setiap detik bahwa aku dilahirkan dan
akan mati sebagai laki-laki." Hebat kata-kata guru yang sok uring-uringan
itu, meskipun andaikata terdengar Adipati Surengpati akan ditertawakan
sebagai suatu elan kosong melompong. Sebaliknya yang berada dalam kubang
batu itu adalah golongan pahlawan-pahlawan muda yang masih mengutamakan
sifat-sifat kejantanan sebagai elan hidupnya. Karena itu, mereka bersikap
diam dan bersungguh-sungguh. Bahkan pendeta edan-edanan Ki Hajar
Karangpandan turut tergetar hatinya. Terus saja menimbrung. "Jaga
Saradenta! Terimalah hormatku! Meskipun kepergianmu ke daerah barat ada
sangkut-pautnya dengan diriku, tapi kepergianmu dahulu jauh lebih jantan
daripadaku. Kau pergi sebagai laki-laki. Sebaliknya aku bekerja untuk
ketamakanku." Mendengar pengakuan Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru
tertawa perlahan. "Eh— semenjak kapan kau berubah adat? Kalau kutahu begini
adatmu, sudah dulu-dulu aku kawin. Kukira kau mau menang saja dalam segala
hal. Tak tahunya, engkau berani pula melihat kenyataan. Bagus! Mulai saat
ini, kuhabisi saja pertaruhan kita dahulu. Aku mengaku kalah. Dan kau boleh
kawin sembarang waktu." "Hidungmu!" dengus Ki Hajar Karangpandan. "Siapa
kesudian menjadi isteri pendeta bangkotan begini? Dan sekiranya terjadi,
isteriku harus seorang wanita Sunda yang berpantat besar." "Bagus! Akupun
akan mencari puteri Jawa yang paling besar pantatnya," sahut Ki Tunjungbiru
cepat. Seperti diketahui, mereka dahulu berkutat sampai lima hari perkara
pantat. Masing-masing tak mau mengalah dan mati-matian mempertahankan
kehormatan wanita sukunya. Karena tiada yang kalah dan menang, akhirnya
mereka mempertaruhkan kehormatannya yang terakhir. Yakni mempertandingkan
diri siapa yang paling betah tak kawin. Hasilnya setali tiga uang. Sampai
umurnya melampaui setengah abad, masih saja mereka tak sudi kawin. Mereka
berdua lantas saja tertawa geli. Akhirnya tertawa terbahak-bahak seperti
orang gendeng. Panembahan Tirtomoyo dan Jaga Saradenta yang mengenal
sejarah mereka, ikut tertawa melebar. Bahkan Sangaji sendiri yang sedang
pepat, mendadak bisa tersenyum. Tak setahunya sendiri selembar kepepatan
hatinya sirna dari lubuk dadanya. Demikianlah, mereka lantas saja
berkemas-kemas. Sangaji memanggil Willem. Gurunya Jaga Saradenta yang
terluka lantas saja dinaikkan di atas punggung kuda jempolan itu. Dia
sendiri bersama-sama paman gurunya, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru
dan Panembahan Tirtomojo berjalan mengiringkan. Surapati dan Pringgasakti
waktu itu telah dikebumikan. Medan pertempuran lantas saja berganti kesan.
Orang-orang desa belum berani mencongakkan diri. Karena itu, mayat-mayat
prajurit yang jauh dari sanak keluarganya, bergelimpangan tiada terurus.
Menjelang tengah hari pancaindera Sangaji yang tajam luar biasa menangkap
sesuatu yang mencurigakan. Kira-kira seratus langkah di barat daya ia
mendengar suatu pernapasan pepat di antara semak tetumbuhan. Pernapasan itu
menyenak-nyenak. Terang adalah napas seseorang yang menderita luka parah.
"Paman! Apakah Paman mendengar sesuatu yang kurang beres?" Ia minta
keyakinan kepada paman-paman gurunya. Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus
Kempong bukanlah sebangsa pendekar murahan. Suryaningrat sendiri meskipun
yang terlemah adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Ilmunya sejajar dengan Ki
Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo dan Jaga
Saradenta. Meskipun demikian, mereka semua tak dapat ditandingkan dengan
ilmu sakti Sangaji. Bahkan Gagak Seta, Adipati Surengpati dan Kebo Bangah
diam-diam mengakui keunggulannya. Karena itu, pancaindera mereka kalah jauh
tajamnya. "Berkatalah! Kau mendengar apa?" kata Gagak Handaka. "Aku
mendengar suara napas yang..." Mendadak saja ia meloncat sambil berseru
mengajak, "Paman! Mari!" Tanpa menunggu paman-pamannya lagi, Sangaji terus
saja menghampiri gerumbul. Ia seperti mengenal tata pernapasan yang menusuk
pendengarannya. Benar juga. Tatkala ia menyibakkan gerumbul, dilihatnya
suatu tebing sungai yang agak curam. Cepat ia melayang turun sambil
menggebu alang-alang yang menutupi penglihatan. Berbareng dengan turunnya
ke tanah, ia melihat seorang meringkuk tiada berkutik seolah-olah telah
mati. Hatinya memukul, karena segera ia mengenalnya. Itulah Fatimah gadis
angin-anginan yang menolongnya dahulu. Dengan gemetaran ia mendekati. Cepat
ia mengangkatnya dan diperiksanya dengan hati-hati. Di bawah cuaca
terang-benderang ia melihat mata Fatimah terpejam rapat. Wajahnya pucat
bagaikan kertas. Napasnya terdengar menyenak lembut dan berjalan amat
perlahan. Dari kenyataan itu terbuktilah betapa tajam panca indera Sangaji.
Terkejut dan pilu rasa hati Sangaji begitu melihat keadaan Fatimah. Dengan
pipinya ia mencoba memeriksa suhu tubuh gadis itu. Syukur, masih terasa
hangat. Dan ia agak bergirang hati, mendengar denyut jantung dan nadinya
masih berjalan wajar. "Paman... bagaimana?" Ia mendongak ke atas dan terus
mendaki tebing dengan hati-hati. Fatimah kemudian diletakkan di atas
rerumputan. Tanpa menunggu pertimbangan lagi, terus saja ia mengirimkan
tenaga saktinya. Mereka yang berada di situ adalah serombongan
pendekar-pendekar berpengalaman. Tanpa berbicara mereka lantas bekerja.
Ranggajaya dan Bagus Kempong segera memeriksa keadaan tubuh gadis itu, yang
ternyata menderita luka berat. Sedangkan Gagak Handaka menjaga peredaran
darah. Hanya Suryaningrat seorang yang sibuk tak keruan. Maklumlah, di
antara mereka dialah yang mempunyai hubungan rapat dengan Fatimah. Seperti
diketahui, Fatimah adalah muridnya, atas perintah Kyai Kasan Kesambi untuk
meniliknya pada waktu-waktu tertentu. Dan dalam hal ini ia tak tahu, apa
yang harus dilakukan. Dengan sekena-kenanya, ia mencoba membangunkan
Fatimah. Ternyata kedua kaki dan tangan muridnya tetap terkulai seolah-olah
kehilangan tulang sendi. Menyaksikan demikian, wajahnya jadi pucat.
Hampir-hampir saja ia menangis. Lain halnya dengan Panembahan Tirtomoyo dan
Ki Tunjungbiru. Dan sekilas pandang, tahulah mereka apa yang harus
dilakukan. Seperti berjanji, mereka mengeluarkan obat simpanannya.
Panembahan Tirtomoyo mengeluarkan obat bubuk hasil ramuannya sendiri.
Sedangkan Ki Tunjungbiru segera meminumkan madu lebah Tunjungbiru yang
termasyhur khasiatnya. Ki Hajar Karangpandan lain pula yang dilakukan.
Pendeta itu meskipun terkenal berwatak edan-edanan, tetapi besar
kewas-padaannya dan pengalamannya. Terus saja ia lari berputaran memeriksa
sekitar lapangan. "Ih! Nampaknya lengan dan kakinya patah," kata Jaga
Saradenta dari atas punggung si Willem. "Siapakah yang berbuat sekeji ini?"
Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus Kempong bukanlah tidak mengetahui
keadaan Fatimah. Hanya saja mereka merasa diri tak sanggup melakukan
penyambungan tulang. Untung di situ terdapat Ki Tunjungbiru dan Panembahan
Tirtomoyo. Kedua pendekar itu lantas saja bekerja. Mumpung Fatimah dalam
keadaan belum sadar kembali, segera mereka menyambung tulang lengan dan
kaki yang terpatahkan. Kemudian dibebatnya rapi setelah diborehi sebungkus
ramuan obat tulang. Berkat pertolongan mereka semua, Fatimah cepat dapat
disadarkan kembali. Gadis itu menjerit kesaktian. Dan tubuhnya menggigil
menahan sakit. Sangaji segera memijit urat-urat nadi tertentu untuk
mengurangi rasa nyeri. Melihat pernapasan Fatimah kembali lancar ia
bersyukur bukan main. "Fatimah!" panggilnya. Fatimah seperti mendengar
panggilan itu. Kelopak matanya bergerak-gerak. Mendadak menyenakan mata
seperti terkejut. Pandangnya penuh curiga dan ketakutan. "Kau siapa?"
jeritnya. "Aku bocah tolol Sangaji!" Gundu mata Fatimah berputaran
seolah-olah tak mempercayai penglihatan dan pen-dengarannya sendiri.
Tiba-tiba ia tersadar. Mau ia bergerak hendak bangkit, tetapi suatu
ke-nyerian luar biasa menusuk jantungnya. Ia menjerit dan mengeluh dalam.
Kemudian merintih perlahan. Melihat keadaan Fatimah, Suryaningrat tak kuasa
lagi menahan hatinya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar