@bende mataram@
Bagian 323
Tak sengaja ia mengarahkan pandangnya ke arah medan pertempuran. Sejenak
kemudian ia menghela napas panjang sekali. Wajahnya muram luar biasa.
Perlahan-lahan matahari mulai memperli-hatkan kewibawaannya benar. Cahaya
merah bersemu kuning tertebar memenuhi persada bumi dan udara. Burung di
kejauhan berter-bagan berkeliling. Dan angin meniup pohon dan semak belukar
seperti kemarin. "Anakku Sangaji!" kata Ki Hajar Karang-pandan lagi, "Ilmu
warisan Bende Mataram benar-benar sakti di luar dugaanku sendiri.
Kaugunakanlah sebaik-baiknya. Kulihat kau hanya main menggeserkan batu-batu
alam untuk menggebuk mereka. Bukankah te-nagamu bakal habis? Samudera raya
sekali-kali pernah surut airnya. Masakan kau tidak?" Sangaji tak pandai
berbicara, karena itu tak tahu menjawab ucapan Ki Hajar Karang-pandan.
Titisari yang berada tak jauh lantas menyahut, "Paman! Dengan berlindung di
belakang tumpukan batu, nyawa kita terlin-dung satu malam penuh bukan?"
"Bagus! Tapi aku ingin mati di tengah la-pangan terbuka daripada mampus
seperti katak dalam tempurung," jawab Ki Hajar Karangpandan cepat.
Mendengar jawaban Ki Hajar Karang-pandan, Titisari menaikkan alisnya.
Mendadak teringatlah dia kepada Kebo Bangah. Pendekar itu bukankah semalam
tiada menampakkan batang hidungnya. Barisan tabuhannya lenyap pula. Mengapa
tidak disuruhnya bekerja, selagi mereka berada dalam kesibukan? Tak
disadarinya sendiri, ia menoleh kepada ayahnya. Adipati Surengpati kala itu
berdiri tegak di belakang dinding batu. Wajahnya nampak beku kejang, la
sama sekali tak bergerak. Melihat dia, hati-hati Titisari menghampiri.
Berkata, "Ayah! Apakah kita bakal mati seper-ti katak dalam tempurung?"
Adipati Surengpati mendengus. Sejenak kemudian menjawab, "Masakan Kebo
Bangah bisa banyak berlagak di depan hidungku?" "Apakah kompeni dan laskar
Pangeran Bumi Gede kurang berbahaya daripada Paman Kebo Bangah?" "Ayahmu
ini semenjak kau belum lahir, telah bertempur beberapa kali melawan kompeni
dan pemberontak-pemberontak picisan seperti Pangeran Bumi Gede. Tapi selama
ini hanya ada beberapa orang yang kuhargai, termasuk Kebo Bangah. Kau belum
kenal dia, anakku. Dia berjuluk pendekar berbisa. Karena itu, hendaklah
selama hidupmu berjaga-jaga menghadapi kelicinannya." Titisari mengerutkan
keningnya. Ia kenal, watak ayahnya yang angkuh dan tak meman-dang mata
terhadap segala rintangan lawan. Semalam ia ikut bertempur mati-matian,
menghadapi serangan-serangan berbahaya. Dan siapa saja merasa bahwa lawan
terlalu banyak. Tapi mengapa ayahnya tak memi-kirkan untuk meninggalkan
kubang perta-hanan dalam malam gelap? Memperoleh pi-kiran demikian Titisari
mencoba, "Apakah itu-lah alasan Ayah mengapa Ayah tak mening-galkan kubang
pertahanan ini?" Adipati Surengpati tak menjawab, la hanya mendengus.
Kemudian mendongak sambil tertawa perlahan. Mendadak berkata meng-alihkan
pembicaraan, "Lihatlah, anakku! Mereka mulai bergerak mengepung kita
rapat-rapat. Sekiranya berhasil mendekati kubang ini, apakah yang harus
kaulakukan?" Titisari melepaskan penglihatannya, laskar Pangeran Bumi tjede
dan kompeni benar-benar mulai mengepung kubang pertahanan rapat-rapat. Mau
tak mau Titisari jadi gelisah. Makiumlah, mereka memiliki senjata bidik
dari jauh dan menempati gundukan tinggi. Sedangkan yang berada dalam kubang
pertahanan sama sekali tak mempunyai. Dan tiba-tiba saja gadis itu insyaf
apa sebab ayahnya tak mau meninggalkan kubang pertahanan. Terus saja ia
memeluk ayahnya erat-erat sambil berkata penuh keharuan. "Ayah! Kau tak mau
meninggalkan kubang batu ini karena aku, bukan?" Perlahan-lahan Adipati
Surengpati memeluk puterinya. Kemudian berkata, "Nah, berkata-lah kau ingin
meninggalkan kubang ini!" "Mengapa begitu?" Titisari melepaskan pelukannya.
"Bocah tolol itu agaknya mempunyai ilmu sakti tiada taranya. Tapi apakah
bisa melawan laskar begini banyaknya." "Apakah Ayah bermaksud meninggalkan
dia di sini dengan sekalian paman-pamannya?" "Bumi Gede dan Kebo Bangah
masakan mau mengalah sebelum dapat memiliki kedua pusaka yang diperebutkan.
Biarlah mereka merampas kedua pusaka itu. Selagi mereka bertempur
mati-matian, kita diam-diam me-ninggalkan kubang batu ini. Kita kembali ke
Karimun Jawa menekuni ilmu Witaradya. Jika kau bersungguh-sungguh masakan
muka kita akan hilang dalam percaturan masyarakat?" Mendengar ucapan
Adipati Surengpati, Titisari terkejut. Tak terasa ia mundur setengah
langkah. Teranglah, bahwa pola pikiran ayahnya senyawa dengan pendekar Kebo
Bangah. Ia tak rela, Sangaji akan menjagoi dunia di kemudian hari. Hal itu
bisa dimaklumi. Tiga empat puluh tahun lamanya ia bertekun mati-matian
menyelami ilmu saktinya. Masakan si bocah ingusan itu dalam sekejap saja
sudah memiliki ilmu sakti begitu tinggi. Dalam penilaiannya terhadap ilmu
sakti Sangaji, ia agak lain daripada Kebo Bangah. Kebo Bangah yang tak
pernah puas terhadap semua ilmu yang dimiliki, terang-terangan ingin
memiliki sumber ilmu sakti Sangaji. Sebaliknya dia yang berkepala besar,
tak sudi mengakui keunggulan ilmu sakti Sangaji daripada ilmu warisan
leluhurnya. Namun begitu, diam-diam ia terkejut menyaksikan kehebatannya.
Teringat akan ucapan Gagak Seta bahwa pendekar bule itu mungkin akan
menjadi murid Sangaji kelak, hatinya jadi keder. Kalau benar-benar
demikian, alangkah hebat! Ilmunya sendiri tak melebihi ilmu Kumayan Jati
pendekar Gagak Seta. Masakan dia pun di kemudian hari berada di bawah bocah
tolol itu? Inilah yang membuat dia mempunyai kepentingan sendiri. Diam-diam
ia mengharap, semoga bocah tolol itu mati dalam pertempuran. Apakah Kebo
Bangah atau Pangeran Bumi Gede yang membunuhnya, tidaklah penting. Dengan
demikian lenyaplah duri yang membahayakan kedudukannya di kemudian hari.
Cuma saja, Kebo Bangah harus dijaga benar agar ilmu sakti Sangaji jangan
sampai jatuh di tangannya. Sebaliknya kalau jatuh di tangan pangeran itu,
bukanlah soal. Biar pun dia memiliki laskar ribuan jumlahnya, bukanlah
suatu hal yang sukar untuk mencabut nyawanya. "Ayah," kata Titisari
berbimbang-bimbang. "Bukankah Sangaji bakal menantumu?" Adipati Surengpati
tertawa perlahan melalui hidungnya. Berkata agak keras, "Diam-diam-lah kau
di sampingku. Marilah kita saksikan saja apa yang bakal terjadi. Kau
kularang meninggalkan aku!" Mendengar perintah ayahnya, Titisari jadi
berduka. Kalau ayahnya berjaga-jaga ter-hadapnya, biar pun mempunyai seribu
kaki dan seribu tangan tidaklah akan bisa berkutik. Teringat akan
pengalamannya dahulu, maka ia mengambil sikap lunak. "Baiklah," katanya
ringan. "Apakah laskar Pangeran Bumi Gede bakal menyerang?" "Lihat sajalah!
Semalam mereka gagal. Tapi bukan tak dapat melakukan sesuatu pada siang
hari terang benderang," sahut Adipati Surengpati. Dan ramalannya sedikit
pun tak salah. Laskar Pangeran Bumi Gede terdiri dari manusia-manusia yang
dididik menjadi prajurit. Mereka bukanlah termasuk golongan pendekar. Dalam
malam hari pekat, mereka seperti kehilangan akal. Tapi di tengah sinar
matahari keadaan mereka jadi berlainan. Mereka kini memusatkan kekuatan.
Dan de-ngan dibarengi berondongan peluru kompeni, mereka menyerbu berbareng
dengan sorak-sorai. Diserbu demikian murid-murid Kyai Kasan Kesambi
keripuhan juga. Bagus Kempong adalah murid Kyai Kesambi yang memiliki
perhitungan-perhitungan cermat. Dengan ser-ta merta ia berkata kepada
saudara-sau-daranya. "Kita mundur ke barat. Di depan dan di belakang kita,
pengepungan sangat kuat. Anakku Sangaji! Mundur!" Mendengar teriak Bagus
Kempong, Gagak Handaka, segera memberi isyarat kepada adik-adik
seperguruannya agar mundur ke barat. Waktu itu, laskar terdepan sedang
meli-hat Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru,
Jaga Saradenta yang luka lambungnya tak mau menjadi penonton belaka, la
segera memungut peng-gadanya, kemudian melawan serbuan itu sebisa-bisanya.
Menyaksikan semuanya itu, Sangaji meng-kerutkan kening. Mendadak saja ia
melompat ke atas tumpukan batu dan berteriak nyaring. "Pangeran Bumi Gede!
Di sini aku Sangaji. Kau ingin memiliki pusaka Bende Mataram? Berurusanlah
dengan aku. Semua yang bera-da di sini tiada sangkut pautnya." Meskipun
Sangaji disebut seorang tolol, pemuda tolol, sebenarnya bukanlah dia tolol
benar. Semenjak lama tahulah dia, bahwa Pangeran Bumi Gede ingin memiliki
kedua pusaka tersebut. Hal itu lebih gamblang lagi, tatkala ia mendengarkan
percakapan Pa-ngeran Bumi Gede dan Sanjaya di dalam ben-teng. Tadi malam
dia pun mendengarkan tutur kata Surapati tatkala mengadu kepada Ki Hajar
Karangpandan, tentang maksud ke-datangan Pangeran Bumi Gede dengan mem-bawa
laskar dan kompeni. Kini ia melihat paman-paman, guru dan sekalian
orang-orang tua yang dihormati ikut menderita dan berkor-ban untuk
kepentingannya. Mereka semua dalam bahaya dan mungkin nyawanya takkan
tertolong. Masakan dia masih bersitegang mempertahankan dua benda keramat
terse-but? Dia adalah seorang pemuda yang mulia hati dan jujur. Hanya saja
terlalu sederhana, la menganggap semua orang berperasaan dan berpikiran
seperti dia. Pikirnya, kalau kedua benda itu diserahkan, bukankah Pangeran
Bumi Gede akan menghentikan serbuan? Waktu berteriak, ia menggunakan hampir
seluruh tenaga saktinya. Karena itu suaranya menggeledek memekakkan telinga
sampai bisa mengatasi kecamuknya serangan. Kuda-kuda yang diserbukan kaget
sampai berjingkrakan. Tapi mereka dalam waktu menyerbu. Mereka tak dapat
berhenti menyerang seperti yang dikehendaki. Maka dalam gugupnya, ia
mengangkat pagar batu dan ditimpukkan berhamburan. Hasilnya di luar dugaan
sendiri. Pasukan penyerbu itu hancur berderai dan mundur kalang-kabut. Dan
berbareng dengan itu ia mendengar Panem-bahan Tirtomoyo berkata, "Anakku!
Mundur! Ini bukan waktunya adu kepandaian. Manusia bisa diajak berbicara
tapi senjata buta dan tuli." Terhadap Panembahan Tirtomoyo ia me-naruh
hormat dan kasih. Tak dikehendaki sendiri, ia menoleh. Mendadak ia melihat
gurunya terlibat dalam suatu perkelahian seru. Seluruh badannya berlumuran
darah. Ia terkejut setengah mati.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar