@bende mataram@
Bagian 330
Dengan dibarengi suara ilmu sakti—guntur sajuta ia melayang-layang secepat
kilat. Itulah sebabnya, sebentar saja kedua orang sakti itu telah lenyap
dari penglihatan orang. Sampai matahari condong ke barat, mereka terus
berlari-lari kencang. Mula-mula Ki Hajar Karangpandan dapat mengimbangi.
Tetapi lambat laun tenaganya mulai mengempes. Maklumlah, umurnya kini
bukanlah seumur tiga belas tahun yang lalu. Meskipun ilmu saktinya kian
tinggi, tetapi daya tahan tenaga jasmaninya tidaklah sesegar masa muda.
Diam-diam Sangaji memikirkan cara penge-jaran itu. Kalau harus
berlari-larian terus-menerus jangan-jangan tenaganya akan kurang sewaktu
menghadapi hal-hal yang penting. Dia sendiri tak usah khawatir. Tetapi
bagaimana halnya Ki Hajar Karangpandan? Karena itu dia berkata kepada Ki
Hajar Karangpandan minta pertimbangan. "Paman! Bagaimana kalau kita membeli
dua ekor kuda di depan sana?" Sesungguhnya Ki Hajar Karangpanpun mempunyai
pikiran demikian, hanya saja tak enak untuk dinyatakan maka segera
menyahut, "Anakku Sangaji! Untuk tawar-menawar membeli dua ekor terlalu
membuang-buang waktu. Mari kita mencari jalan lain." Tak lama kemudian,
secara kebetulan mereka melihat satu pasukan kompeni sedang meronda. Tanpa
berbicara lagi Ki Hajar Karangpandan terus melompat maju dan sekali
menjambret dua penunggang kuda di antara mereka kena diangkatnya dan
dilemparkan ke tanah. Berbareng dengan itu ia berteriak, "Anakku Sangaji!
Naik!" Sangaji berbimbang-bimbang terhadap kompeni dia tak mempunyai
permusuhan. Karena itu perbuatan Ki Hajar Karangpandan dianggapnya sebagai
suatu perbuatan kurang pantas. Pakartinya tak ubahnya sebagai seorang
penyamun. Tetapi Ki Hajar Karangpandan lantas saja sudah berteriak nyaring.
"Untuk suatu urusan besar janganlah engkau disibukkan
pertimbangan-pertimbangan te-tek-bengek. Disini bukan tempat pesantren atau
surau, tempat berkhotbah dan menimbang-nimbang baik-buruknya suatu pakarti.
Ayo... kau tunggu apa lagi?" Sambil berbicara Ki Hajar Karangpandan merabu
lainnya. Mereka boleh bersenjata senapan, tapi kena dirabu Ki Hajar
Karangpandan yang dapat bergerak cepat, mereka semua mati kutu. Belum lagi
tangannya berkesempatan menarik pelatuk, tahu-tahu tubuhnya telah
terpelanting jatuh dari atas pelananya. Setelah menjatuhkan mereka, Ki
Hajar Karnagpandan melompat menunggang kudanya. Sangajipun tanpa
disadarinya sendiri naik pula ke punggung kuda. Belum lagi menarik kendali,
mendadak ia diserang beramai-ramai. Secara wajar tangannya mengibas
mempertahankan diri. Celakalah mereka yang kena tenaga saktinya. Tiba-tiba
saja mereka terpental beberapa puluh meter dan jatuh bergedebrukan ke
tanah. Seorang sersan yang bangun tertatih-tatih memaki-maki kalang kabut
dan berteriak, "Hai! Kamu bandit-bandit dari mana?" Sangaji tak mau
melibatkan diri terlalu lama. Bersama Ki Hajar Karangpandan ia keprak
kudanya kencang-kencang menuju ke barat. Keruan saja sersan itu
berteriak-teriak seperti babi terjepit. Tak lama kemudian daerah pegunungan
Gunung Damar sudah nampak di depan hidungnya. Sekonyong-konyong dua sosok
bayangan berkelebat di depannya. Tahu-tahu dua orang berdiri merintang di
tengah jalan. Itulah dua orang pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Tak
jauh dari mereka beberapa prajurit yang mengenakan pakaian serba putih
berbaris di seberang menyeberang jalan. Sangaji lantas saja teringat kepada
anak buah sang Dewaresi. "Minggir!" bentak Ki Hajar Karangpandan. Terus ia
mengayunkan cemetinya ke pinggang orang sambil mengeprak kudanya. Salah
seorang dari mereka menangkis sabetan itu dengan tongkatnya. Dan yang lain
segera menyerbu masuk. Karena kaget, kuda Ki Hajar Karangpandan berjingkrak
berdiri tegak. Pada saat itu barisan serba putih melompat berbareng dengan
gesit. Melihat gerakan mereka, Ki Hajar Karangpandan tertawa
terbahak-bahak. Berkata lantang kepada Sangaji, "Anakku Sangaji! Kau boleh
terus melanjutkan perjalanan. Biarlah kawanan cacing ini aku bereskan
sendiri." Melihat mereka bertujuan hendak merintangi bala bantuan yang
mungkin datang ke Gunung Damar, terang sekali maksud mereka amat keji.
Benar-benar padepokan Gunung Damar dalam keadaan bahaya. Sangaji mengenal
ilmu sakti Ki Hajar Karangpandan. Gntuk melayani mereka meskipun tidak
gampang-gampang menang, tetapi tak bakal kena dikalahkan. Oleh pertimbangan
demikian, ia melecut kudanya. Dengan gagah ia menerjang dan terus terbang
sekencang-kencangnya. Tetapi dua pendekar undangan Pangeran Bumi Gede
bukanlah pula pendekar murahan. Sekonyong-konyong mereka melesat melompat
dan menyabetkan senjatanya. Sangaji membungkuk miring. Ia papaki senjata
mereka dengan satu kibasan. Cepat luar biasa ia merampasnya dan menimpukkan
kembali. Seketika itu juga terdengarlah suatu jerit melengking. Mereka kena
senjatanya sendiri. Kedua kaki mereka patah dengan berbareng dan roboh
terjengkang di atas tanah. Sebenarnya Sangaji tiada bermaksud hendak
melukai mereka. Hanya khawatir kalau Ki Hajar Karangpandan terlalu banyak
menghadapi lawan, maka sebelum meninggalkannya ia membantu merobohkan dua
lawan yang paling kuat. Dengan demikian, keadaan Ki Hajar Karangpandan tak
perlu dikhawatirkan lagi. Gunung Damar terletak di Karesidenan Kedu. Gunung
itu merupakan dinding penyekat jalan Purworejo - Magelang. Letaknya di
sebelah barat jalan besar, diapit dua buah sungai. Kali Jali dan Kali
Bogowonto. Sangaji datang dari arah timur. Sampai di desa Karangjati ia
singgah di warung. Selain hendak mengisi perut, ia bermaksud menenangkan
pikirannya pula. Tapi selagi ia makan, kudanya meringkik hebat. Tahu-tahu
per rut kudanya kena robek sebilah belati mengkilat. Sesosok bayangan
berkelebat lewat. Terang sekali, musuh sudah mengenal dirinya dan dengan
sengaja membunuh kudanya. Bukan main mendongkolnya Sangaji. Sekali melompat
ia berhasil mencengkeram orang itu. Terus saja ia banting ke tanah dengan
hati gusar. Karena tiada berkuda lagi, terpaksalah ia melanjutkan
perjalanan. Untunglah, Gunung Damar tidak terlalu jauh lagi. Soalnya kini,
ia harus bersikap waspada dan berhati-hati. Oleh pengalamannya tadi,
nyatalah bahwa padepokan Gunung Damar sudah terkepung rapat. Namun
diam-diam ia heran, karena bayangan pasukan besar-besaran tidak nampak.
Apakah Pangeran Bumi Gede hanya mengirimkan beberapa puluh pendekar
undangannya belaka? Di depannya terbentang Kali Bogowonto. Dan baru saja ia
menyeberangi, sekonyong-konyong melompatlah beberapa orang dari gerombolan
alang-alang. Terang sekali mereka hendak mencegat perjalanannya. Dengan
mengumpulkan semangat ia melompat. Tak ubah sebatang panah, tubuhnya
berkelebat melewati mereka. Orang itu mengucak-ucak matanya. Mereka merasa
heran. Apakah salah melihat? Tadi seperti melihat manusia menyeberangi
kali. Kini mendadak lenyap entah ke mana. DI SEBERANG JALAN, penjagaan kian
menjadi keras. Sangaji segera menggunakan ilmu saktinya. Dengan matanya
yang tajam ia menjelajahkan matanya. Dan beberapa kali kakinya menjejak
tanah, terbang melewati gerombolan manusia yang bersembunyi di bawah pohon,
di balik batu-batu atau mendekam di bawah rumput dan alang-alang. Setelah
memasuki lereng pegunungan, tak berani lagi Sangaji berjalan di atas tanah.
Terus saja ia melompat ke pohon dan kalau perlu bersembunyi di dalam
mahkota daunnya, la bersikap sangat berhati-hati dan berwaspada.
Saban-saban ia melompat dari dahan ke dahan sambil memperhatikan keadaan
seberang menyeberang. Ia sadar, bahwa musuhnya sangat licin, pandai dan
tangguh. Tak lama kemudian, ia telah melihat suatu pertempuran berkelompok.
Dengan selintasan saja tahulah dia, bahwa cantrik-cantrik Gunung Damar
mencoba menahan serbuan gelap itu. Tentu saja mereka bukan tandingnya anak
buah Kebo Bangah dan para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Sebentar
saja mereka kena terpukul mundur. Rantai pertahanan mereka kacau-balau dan
akhirnya berantakan. Tanpa mengeluarkan bunyi sedikitpun, Sangaji mendarat
di seberang gerumbul. Kemudian melompat ke atas genting. Mengendap-endap ia
melangkah maju. Waktu tiba di sebuah lorong penyambung, ia mendengar suara
napas tertahan-tahan. Suara napas itu datang dari balik pintu kamar. Itulah
kamar gurunya Wirapati. Dan teringat nasib gurunya yang malang, hatinya
terharu bukan main. Kalau menuruti kata hatinya ingin dia terus memasuki
kamar untuk memeluk gurunya yang dihormati dan dicintai. Tapi mengingat
kelicinan Kebo Bangah dan Pangeran Bumi Gede yang banyak tata muslihatnya
ia tak berani bergerak dengan gegabah. Sekonyong-konyong ia melihat
berkelebatnya seseorang. Terus saja ia meloncat sambil menyambar. Orang itu
tak dapat berkutik. Bahkan melepaskan suara-nyapun tak sempat, karena
Sangaji membungkam mulutnya. Pemuda itu kini memiliki ketajaman panca
indera luar biasa. Begitu melihat berkelebatnya manusia, segera ia mengenal
siapa dia. Itulah Wirasimin, cantrik kesayangan gurunya Wirapati. "Pak
Wira! Bagaimana?" Sangaji minta keterangan dengan berbisik seraya
mengurangi dekapannya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar