@bende mataram@
Bagian 321
Belum lagi setengah jam, laskar Pangeran Bumi Gede mundur korat-karit.
Dalam pada itu Sanjaya yang mendampingi Kebo Bangah dan Pangeran Bumi Gede
tatkala lagi berangkat dari perkemahan, kian kecut hatinya. Dengan
gemetaran ia menye-linap ke dalam tumpukan laskar. Dasar hatinya licin dan
tak mau kalah dengan Sangaji, ia segera teringat kepada barisan kompeni.
Maka cepat-cepat ia menghubungi. Tak lama kemudian mulailah terdengar
tembakan senapan berturut-turut. Itulah hasil pembicaraannya dengan
komandan kompeni. Mendengar tembakan itu, para pendekar yang terkepung
terkesiap hatinya. Mereka tahu, peluru jauh lebih berbahaya daripada
senjata tusuk apa pun jua. Tapi mereka bukan manusia lumrah. Keberaniannya
sepuluh kali lipat. Sama sekali mereka tak mundur, bahkan terus merabu
musuh dengan cepat luar biasa. Keruan saja, laskar Pangeran Bumi Gede
kelabakan dalam kegelapan malam. Sebaliknya tidaklah demikian dengan
Titi-sari. Gadis ini yang memiliki ketajaman otak luar biasa. Cepat melesat
ke depan sambil berteriak kepada Sangaji. "Aji! Apakah engkau sudah
berhasil mem-buat benteng pertahanan?" "Bukan benteng. Hanya sebuah
kubangan," sahut pemuda yang berhati sederhana itu. "Bagus!" seru Titisari
girang. Lantas saja ia berteriak nyaring kepada para pendekar, "Kita mundur
ke kubangan batu!" Mendengar teriakan Titisari, mereka hanya mendengus
saja. Sedangkan peluru kompeni makin lama makin gencar. "Hai! Apakah kalian
mau mati konyol?" teriaknya lagi. Tapi tetap mereka berkepala batu.
Menyaksikan sikap mereka, Titisari jadi cemas. Mendadak saja teringatlah
dia kepada ayahnya. Pikirnya, kalau ayahnya bisa dibujuk mundur berlindung,
bukankah mereka akan mengikuti?" Ia terus menghampiri ayahnya, "Ayah! Aku
berjanji kepada Sangaji untuk melindungi gurunya. Tapi ternyata aku tak
berguna. Guru Sangaji masih saja kena panah." Tadi, tatkala Jaga Saradenta
terbebas dari serangan penggada pendekar Wongso CIdel, lambungnya tertancap
empat batang panah. Dalam kemurkaannya, pendekar tua itu tak mau sudah.
Dengan menggerung ia tetap menyerang dengan gagah. Namun lambat-laun,
lambungnya terasa nyeri bukan main. Mau tak mau tenaga jasmaninya jadi
kendor. Adipati Surengpati tahu menebak kehendak puterinya. Menuruti
keangkuhan hatinya, mestinya tak sudi ia mendengarkan. Tetapi medan
pertempuran memang berbahaya. Apabila dia pun sampai kena peluru nyasar,
bukankah berarti korban sia-sia belaka? Memikir demikian, terus ia
menghampiri si tua Jaga Saradenta. Dengan sekali sambar ia memapahnya. Si
tua berontak, karena tak sudi diperlakukan sebagai perempuan. Namun
menghadapi tenaga Adipati Surengpati betapa dapat dia banyak bertingkah.
Apalagi tenaganya mulai berkurang. Karena itu, akhirnya ia kena papah juga
dengan tak dapat berkutik. "Kita mundur ke kubang batu," kata Titisari
lega. Adipati Surengpati mundur cepat. Pada saat itu suatu berondongan
senapan bersuing melintasi kupingnya. "Berbahaya!" keluhnya. Dan terus ia
mendahului memasuki kubang batu. Ternyata benteng pertahanan yang disebut
kubang batu itu, sangat mengagumkan. Luasnya kurang lebih 100 meter
persegi. Dindingnya terbuat dari batu alam yang di-susun hampir setinggi
orang. Apabila seorang membungkuk setengah badan saja, meskipun
diberondongi senapan betapa rapat pun takkan mengenainya. Melihat kubang
perta-hanan itu, Adipati Surengpati yang selama hidupnya membanggakan
kepandaian dan kemampuannya sendiri, berdiri tercengang-cengang. Bertanya,
"Dari mana kau tahu di sini ada kubang pertahanan?" "Bakal menantumu yang
sebentar tadi menyusunnya," sahut Titisari berbesar hati. "Ah!" Adipati
Surengpati kian tercengang. Membuat kubang pertahanan seperti itu, tidaklah
sukar apabila dikerjakan di tengah matahari dalam aman tenteram. Tapi
kubang pertahanan ini dibangun dalam keadaan terjepit dan tergesa-gesa.
Lagi pula dalam malam pekat. Kecuali itu, bahannya dari batu alam yang
masing-masing mempunyai berat tak kurang dari seribu kati. Betapa tenaga
manusia mampu mengangkat dan menyusun batu-batu dengan seorang diri.
Titisari senang menyaksikan ayahnya berdiri terlongong-longong. Ia terus
melesat pergi dan berseru memanggil para pendekar. Katanya nyaring: "Ayahku
telah mendahului berlindung di belakang kubang pertahanan. Apakah kalian
perlu merasa malu?" Mendengar seru Titisari, mereka jadi
berbimbang-bimbang. Mau mereka memundurkan diri. Tapi Sangaji masih
berkelahi dengan gagah. Masakan akan membiarkan dia berkelahi seorang diri
rfielawan ratusan laskar Pangeran Bumi Gede? Titisari yang berontak encer,
dapat menebak kebimbangan mereka. Dengan mengendapkan diri ia menyusup maju
mendekati Sangaji, berseru: "Aji! Mundur! Semua sudah mundur!" "Kau
mundurlah! Malam ini adalah kesem-patan yang bagus membekuk musuh
keluar-gaku." "Tolol! Sekeliling dirimu adalah peluru melu-lu. Kau bisa
melawan orang, tapi bukan pelu-ru. Belum lagi kau bisa membekuk batang
lehernya Pangeran Bumi Gede. Peluru-peluru kompeni mungkin telah mengenai
dirimu. Apakah itu bukan mati sia-sia?" Dasar hati Sangaji takluk kepada
gadis itu. Maka begitu mendengar sarannya, terus ia menjejak tanah dan
melesat mundur sambil menyambar lengan Titisari. "Bagus!" seru murid-murid
Kyai Kasan Kesambi hampir berbareng. Mereka terus berbareng meloncat mundur
pula. Tatkala ia hampir sampai di kubangan batu, Sangaji telah mendarat
dengan manis sekali bagai seekor elang menggondol mangsanya. Ki Hajar
Karangpan, dan Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru telah pula tiba di
kubang pertahanan dengan berturut-turut. Mereka terus berlindung di
belakang tum-pukan batu dengan hati bertanya-tanya. Maklumlah, semenjak
siang hari mereka ber-ada di sekitar gundukan pegunungan itu. Dan sama
sekali tiada nampak kubang pertahanan demikian. Darimanakah kubang
pertahanan ini tiba? namun tak sempat mereka terus bertanya-tanya. Pada
saat itu seluruh pasukan kompeni dan sisa laskar Pangeran Bumi Gede
menembak dan melepaskan panah. Sangaji tak perlu mengkhawatirkan
kesela-matan pamannya dan mereka yang dihormati. Untuk sementara, mereka
terlindung dengan baik di belakang tumpukan batu. Melihat gurunya terluka,
cepat ia menghampiri. Kemudian dengan hati-hati mencabut sekalian panah
yang menancap di lambung. la kini bukan lagi si murid tolol satu dua tahun
yang lalu. Pengetahuannya sudah melebihi gurunya yang sudah berusia tua.
Dengan cekatan ia memijat urat nadi yang menghubungi urat lambung. Lantas
memben-dung mengalirnya darah. Waktu itu keadaan Jaga Saradenta agak mulai
payah, la mulai kehilangan banyak darah. Pandang matanya berkunang-kunang
dan napasnya tersengal-sengal. Mendadak saja ia merasa lambungnya nyeri.
Kemudian suatu hawa hangat luar biasa menyusupi tubuhnya. Ia heran.
Tubuhnya terguncang dan perlahan-lahan tenaga jasmaninya pulih kembali.
Apabila matanya kembali jernih, ia melihat tangan Sangaji sedang menekan
punggung dan lambungnya. "Eh—bagaimana bocah tolol ini bisa mem-punyai
tenaga jasmani begini kuat?" ia menebak-nebak. Dalam pada itu para pendekar
sudah meng-atur dirinya sendiri. Mereka berkelahi dari belakang tumpukan
batu. Ki Hajar Karang-pandan yang kehilangan muridnya, tak dapat lagi
menguasai diri. Dasar adatnya aneh dan berwatak angin-anginan. Tiba-tiba
saja ia melompat menyambar lawan dan kembali dengan merampas tiga buah
gendewa berikut tiga bungkus anak panah. "Hao! Sekarang bantulah aku
menuntut balas muridku Surapati yang mati seperti anjing!" serunya garang.
Ia mendahului melepaskan panah. Tak usah diceritakan lagi, bahwa tenaganya
hebat luar biasa. Panahnya bersuing menusuk lawan dan menembusi tiga empat
orang lagi. Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru adalah bekas-bekas
pejuang bangsa yang kenyang mengalami pasang surutnya perjuangan. Begitu
memperoleh gendewa dan panah, terus saja mereka bekerja. Dengan mengambil
tempat di sebelah utara dan timur, mereka melepaskan panah. Apabila
kehabisan panah, mereka tak kehilangan akal. Mereka mencari batu-batu dan
dilontarkan lewat tali gendewa bagaikan senjata bandil. Menghadapi keuletan
mereka, laskar Pa-ngeran Bumi Gede berteriak-teriak seperti kebakaran
jenggot. Betapa tidak? Seorang demi seorang mereka kena ditewaskan.
Sebaliknya mereka tak dapat berbuat apa-apa, karena kokohnya kubang
pertahanan. Tetapi mereka berjumlah banyak. Lagi pula terpimpin.
Demikianlah setelah korat karit, mereka segera tersusun kembali. Kemudian
melepaskan panah berobor beruntun-runtun. Udara cerah seperti penuh dengan
kembang api. Melihat pemandangan demikian, Ki Hajar Karangpandan kumat
penyakitnya. Terus saja ia melempar gendewanya ke tanah. Kemudian seperti
kera, ia jumpalitan menyambar panah-panah berobor itu. Segera ia
melem-parkan kepada kakak seperguruannya dan Ki Tunjungbiru. Katanya
nyaring, "Balas!" Tak usah diulangi, Panembahan Tirtomoyo dan Ki
Tunjungbiru dengan cepat membalas memanah. Mereka tak usah khawatir kena
bidik, karena benteng pertahanannya rapat kokoh. "Bentengmu benar-benar
hebat," Titisari memuji Sangaji. "Bagaimana kau membuat-nya tadi?" Sangaji
hanya tersenyum. Sebenarnya tak sengaja ia membuat serapi itu. Soalnya
tadi, hanya melakukan permintaan Titisari belaka untuk membongkari
batu-batu pegunungan. Kemudian teringat kepada susunan benteng di Jakarta.
Dengan acak-acakan ia mencoba meniru. Karena tenaga jasmaninya yang kuat
luar biasa bisa diatur dan dikendalikan seke-hendak hatinya, ia dapat
menimpukkan batu-batu itu dari kejauhan—berjajar meru-pakan pagar batu.
Inilah yang dinamakan serba kebetulan belaka. Karena hasilnya di luar
dugaan dirinya sendiri. "Apakah kita masih bisa bertahan?" ia men-coba
mengalihkan pembicaraan. "Hm," Titisari memiringkan kepalanya. "Lihat! Ayah
tak bergerak. Itu suatu tanda bahwa Ayah telah mempunyai suatu firasat yang
kurang baik." Sangaji menoleh ke arah Adipati Surengpati.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar