@bende mataram@
Bagian 319
Demikianlah, ia segera mencanangkan kabar berbahaya kepada gurunya. "Guru!"
katanya membujuk begitu di-damprat gurunya. "Aku pun bukan murid guru yang
baik. Meskipun orang tuaku memperoleh budi besar Pangeran Bumi Gede, tapi
aku adalah murid guru." "Hm... Bagus!" dengus Ki Hajar Karang-pandan.
Tatkala itu ia melihat berkelebatnya Sanjaya di antara cahaya obor yang
terang benderang. Bocah itu berada di samping Kebo Bangah. Terang sekali
maksudnya. Ia mengharapkan perlindungan pendekar besar itu. Menyaksikan
pekerti Sanjaya, Ki Hajar Karangpandan gusar bukan main. Tubuhnya sampai
menggigil. Dengan pandang beringas ia melototi Surapati yang menjadi
sasaran pelepas kegusaran hatinya. Selagi hendak membuka mulut, mendadak ia
mendengar suara Kebo Bangah melengking menusuk telinganya. Pendekar dari
daerah barat itu berdiri di atas gundukan tanah menebarkan pandang kepada
Adipati Surengpati. Katanya, "Saudara Surengpati! Sebentar kalau kita
terpaksa bertempur apakah kau memerlukan tenaga si bule Gagak Seta. Kalau
benar, itulah hebat!" Kebo Bangah memang seorang pendekar licik dan licin.
Jauh-jauh ia sudah memperhi-tungkan pertempuran yang bakal terjadi. Kalau
pertempuran itu nanti terjadi dan dia sudah berhasil merampas dua pusaka
warisan, Adipati Surengpati pasti tidak akan membiarkannya berlalu dengan
bebas. Dengan Adipati Surengpati, kekuatannya berimbang. Yang disegani,
kalau-kalau Gagak Seta ikut mengembut. Karena itu begitu tiba di pinggir
lapangan, segera ia mencari beradanya Gagak Seta. Pendekar berkulit bule,
ternyata tak menampakkan batang hidungnya. Ia kenal kecerdikan dan
kepandaian pendekar itu. Dan menduga, mungkin lagi bersembunyi di salah
suatu tempat yang terduga. Memikir demikian, dia mau mengikat Adipati
Surengpati dengan suatu perjanjian. Ia tahu Adipati Surengpati sangat
angkuh dan kukuh menjaga kehor-matan diri. Ternyata pancingannya berhasil.
Pada saat itu ia mendengar suara dingin Adipati Surengpati yang dikirimkan
lewat Aji Pameling. "Membekuk ular berkepala dua, masakan perlu bantuan
kucing belang segala." "Bagus!" ia menyambut pernyataan Adipati Surengpati
dengan tertawa lebar. "Saudara Surengpati! Bukan maksudku mengganggumu.
Cuma saja, ada suatu keinginanku. Puterimu mengantongi benda keramat. Aku
khawatir akan jatuh ke tangan bangsa asing. Karena itu aku mencoba ikut
melindungi. Benar tidak, saudara Surengpati. Hanya saja, kita golongan
ksatria. Betapa mungkin menghendaki benda tersebut dengan lewat musyawarah
atau perundingan yang bertele-tele." Adipati Surengpati lantas saja
berpikir. Ia mempertimbangkan kekuatan kedua belah pihak. Sekiranya Gagak
Seta tiada muncul, inilah sulit. Dia sendiri tak khawatir akan kena tangkap
musuh. Tetapi bagaimana dengan murid-murid Kyai Kasan Kesambi dan
pendekar-pendekar lainnya? Akhirnya dia memutuskan. "Hm... hidup atau mati
apa peduliku? Aku lahir dan mati bukankah seorang diri? Kalau aku berhasil
menyelamatkan puteriku, hatiku sudah puas..." Memperoleh keputusan
demikian, hatinya lega. Dengan mata berkilat-kilat ia menga-mat-amati
gerak-geriknya pasukan lawan yang sedang mengepung kian rapat. Kemudian
melirik kepada Sangaji bakal menantunya. Bocah itu nampak tenang dan gagah
luar biasa. Ki Hajar Karangpandan yang sedang uring-uringan, lain pula
sikapnya. Meskipun adatnya angin-anginan, tetapi otaknya cerdas. Segera ia
bisa menebak maksud Kebo Bangah. Tak peduli ia merasa bukan tandingnya, ia
terus mendamprat. "Eh! Pendekar Kebo Bangah! Kau memutar balik kenyataan
seakan-akan kita ini kumpulan manusia tak punya otak. Hm... apakah
kata-katamu yang terlepas dari mulutmu tadi, ucapan manusia ataukah
binatang?" Kebo Bangah menoleh. Melihat siapa yang berbicara, ia mendongak
ke langit sambil tertawa melalui hidungnya. Terhadap pende-kar demikian,
baginya belum ada harganya untuk dilayani. Maka ia memberi isyarat kepa-da
Pangeran Bumi Gede sambil berkata, "Kita tunggu apalagi?" Mendengar anjuran
Kebo Bangah, terus saja ia memerintahkan pasukannya bergerak. Sedang
pasukan kompeni menduduki tempat tertentu. Terang sekali, bahwa Pangeran
itu sangat percaya kepada kegagahan pendekar Kebo Bangah. Murid-murid Kyai
Kasan Kesambi segera bersiaga. Sebenarnya mereka tiada mempu-nyai
permusuhan dengan Pangeran Bumi Gede. Juga terhadap kompeni. Hanya saja,
guru mereka adalah seorang patriot yang dahulu melawan kompeni semasa
Perang Giyanti. Karena itu, mereka tak dilarang bermusuhan. Apalagi kalau
memang terpaksa. Sebaliknya juga tak dianjurkan. Kyai Kasam Kesambi sadar,
bahwa persenjataan pasukan kompeni amat membahayakan. Daripada mati tiada
sejarah, lebih baik menghindarkan diri untuk suatu kebajikan lain yang
lebih berarti. Kini, mereka tak dapat meloloskan diri. Sebagai ksatria
sejati, betapa hanya berpeluk tangan belaka. Itulah sebabnya, Gagak Handaka
segera memberi isyarat pendek kepada adik-adik seperguruannya. "Sekiranya
banyak di antara kita mati, salah seorang harus bisa meloloskan diri.
Dengan begitu, guru kita tak bergelisah menunggu kedatangan kita." Hebat
arti kata-kata ini. Artinya, Gagak Handaka bersedia untuk menyabungkan
nyawanya. Karena itu, betapa bisa adik-adik seperguruannya melihat kakaknya
yang tertua hendak mati seorang diri. Terus saja mereka mengambil tempatnya
masing-masing bergerak dalam garis ilmu Pancawara. Dalam pada itu serangan
mulai terjadi. Para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede de-ngan gegap
gempita mempelopori laskar bersenjata. Gerak-gerik mereka gesit dan
berbahaya. Panembahan Tirtomoyo harus menyongsong mereka dengan didampingi
Ki Tunjungbiru. Mereka berdua sadar, bahwa peristiwa yang dihadapi bukan
main-main lagi. Tetapi mereka berdua adalah bekas pejuang-pejuang
kemerdekaan. Karena itu hatinya sama sekali tiada gentar. Bahkan tak
disadarinya sendiri terbersit suatu kegairahan naluriah. Manyarsewu, Cocak
Hijau dan Abdulrasim yang mendahului pasukannya terus terlibat dalam
pertempuran. Mereka bertiga termasuk pendekar undangan Pangeran Bumi Gede
yang diandalkan, di samping Yuyu Rumpung. Lagi pula mereka memendam dendam
besar, karena kena digunduli Gagak Seta sewaktu menghampiri benteng.
Pukulan-pukulannya menggeledek, gerak-geriknya gesit. Melihat mereka
mengembut Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta tak mau
tinggal diam. Dengan menggerung ia melompat membantu. Si sembrono ini
menganggap semua pendekar di dunia ini seenteng gabus. Tak mengherankan
bahwa sebentar saja ia menumbuk batu. Tiba-tiba Manyarsewu merabu dari
samping dan menghantam tengkuknya. Ontung dia gesit. Dengan mengendapkan
diri dia bebas dari serangan itu. Terus saja ia mencabut penggadanya yang
termasyhur dan membabat dari bawah. Manyarsewu mundur kaget sambil memekik
pelahan. "Bangsat tua! Kau hebat juga...," kutuknya. Jaga Saradenta tertawa
perlahan. Menyahut, "Di Pekalongan dahulu, kita cuma saling memandang dan
memaki. Kini kita bisa bertemu. Ayo kita bertanding. Aku yang mati atau kau
yang bakal mampus." "Bagus! Mari kita mencari tempat yang sepi!" tantang
Manyarsewu. "Kentutmu! Di manakah ada tempat yang sepi. Di sini saja,
apakah halangannya?" Kedua orang itu lantas saja saling menye-rang dengan
dahsyatnya. Mereka tak menghi-raukan lagi pertempuran rekan-rekannya.
Tetapi dalam suatu pertempuran besar betapa mereka bisa menuruti kemauannya
sendiri. Belum lagi sepuluh jurus mereka terlibat dalam suatu penyerbuan
kacau balau. Terpaksa mereka terpisah dan saling merabu acak-acakan.
Titisari menyaksikan pertempuran itu. Di sana ia melihat ayahnya sudah
mengadu kepandaian melawan Kebo Bangah. Dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi
dengan gagah menghalau setiap serangan dari luar. Sangaji tetap tenang.
Pemuda itu seperti kebingungan. Ia sadar benar, bahwa pihaknya kena kepung.
Rupanya harapan sangat kecil untuk bisa membebaskan diri. Malahan, seumpama
bisa luput dari serbuan pasukan Pangeran Bumi Gede, kompeni sudah
meng-hadang di setiap penjuru dengan senapan bidiknya. Inilah berbahaya.
"Baiklah! Aku tangkap dahulu Pangeran Bumi Gede. Bukankah dia merupakan
barang tanggungan yang berharga untuk menghen-tikan serangan besar-besaran
ini?" Memperoleh pikiran demikian, segera ia hendak bergerak.
Sekonyong-konyong Titisari mencegat perjalanannya. Gadis itu berkata, "Kau
hendak menangkap Pangeran Bumi Gede? Betapa mungkin! Dia bukan seorang
pangeran goblok. Jauh-jauh dia sudah meng-ambil tempat di antara para
pengawalnya yang berjumlah puluhan orang." Titisari memang cerdas luar
biasa. Dia bisa menebak kata hatinya. Karena itu dia mele-ngak. Minta
pertimbangan. "Lantas? Apakah yang harus kulakukan?" "Kalau kau mampu,
bongkarlah semua batu pegunungan ini. Buatlah benteng pertahanan. Setelah
itu, perlahan-lahan kita mencari jalan keluar!" Kalau saja itu terjadi pada
siang hari dan dalam keadaan wajar, rasanya tenaganya sanggup melakukan
pekerjaan demikian. Tetapi seluruh lapangan penuh dengan musuh yang mulai
melepaskan senjata panah dan lembing. Dan di balik sana kompeni sudah
bersiaga memetik senapannya. Tetapi dia percaya benar kepada gadis itu.
Pastilah Titisari mempunyai alasan yang sudah diperhitungkan. Maka ia
mencoba menjelajahkan matanya mencari batu-batu yang dimaksudkan. Tak usah
lama, ia telah menemukan batu-batu alam yang mencongakkan diri dari
permukaan tanah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya obor yang memantulkan
cahaya cukup cerah. Maka ia berkata kepada Titisari. "Baiklah! Tolong awasi
guruku!" Setelah berkata demikian, dengan sekali jejak ia melesat bagai
bayangan.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar