Dari: "hernowo mengikatmakna"
> Misteri Gunung Dewa: “Pendongeng” Hebat Itu Bernama Agustinus Wibowo (2)
>
> Oleh Hernowo
>
>
>
>
>
> “Dari kursi plastik putih di samping ranjang, sembari mengipasi tubuh Mama yang terbaring miring, sayup-sayup kumulai ceritaku tentang negeri nirwana.”
>
> —Agustinus Wibowo, Titik Nol, h. 45
>
>
>
> Aku dibawa oleh buku Titik Nol ke Gunung Dewa. Orang Cina menyebutnya Shenshan. Orang Buddha Tibet menyebutnya Kang Rinpoche (Mustika Agung dari Tanah Salju), tempat bertakhtanya Buddha Sakyamuni. Bagi umat Hindu, di sinilah singgasana Sang Dewa Syiwa bersama istrinya, Parwati, putri dewa Pegunungan Himalaya. Nama lain yang umum adalah Kailash.
>
>
>
> Agustinus Wibowo mengisahkan kunjungannya ke Gunung Suci Kailash begitu menyentuh. Dia berhasil membawa suasana Gunung Suci itu dalam jarak yang sangat dekat kepada para pembacanya—khususnya kepadaku. Rasa-rasanya, aku sudah pernah tiba di sana dan merasakan suasananya. Apalagi Titik Nol menyertakan beberapa gambar yang indah dan bermakna. Aku yakin gambar berupa foto itu dipilih secara saksama dan cermat serta disusun untuk keperluan memperkuat detail kisah.
>
>
>
>
>
> Coba dengarkan dongengannya yang menarik ini: “Nirwana ini dingin. Nirwana ini tinggi di awang-awang. Nirwana ini sunyi, tersembunyi, mematikan. Di Atap Dunia, langit biru menangkup, lembah-lembah hijau menghias di tengah kepungan gunung-gunung yang berwujud barisan kurva bulat ditudungi salju. Sungai jernih bergemericik membelah padang” (halaman 45).
>
>
>
> Menurut Agustinus—yang bercerita dengan detail-detail yang sungguh mempesona—Gunung suci Kailash bagaikan sebuah piramida raksasa. Bentuknya nyaris kerucut sempurna. Menyembul dari balutan selimut awan. Ia menjulang di tengah barisan bukit gersang. Gunung itu serasa jadi primadona karena rupanya yang istimewa. Kesan magis dimiliki gunung itu gara-gara puncaknya ditudungi salju tebal laksana mahkota.
>
>
>
> Bagaimana Agustinus dapat berkisah seperti itu? Aku membaca pengakuannya bahwa dia punya buku kumal yang senantiasa dibawa di setiap perjalanannya—untuk mencatat (bahasaku: “mengikat”) hal-hal penting dan berharga. Aku yakin pula bahwa dia juga gemar membaca. Kegemaran membacanya telah memperkaya dirinya dengan banyak kata—ini sangat perlu agar diksinya menjadi lebih bertenaga. Perjalanannya juga tak sekadar perjalanan fisik. Aku merasakan sekali bahwa perjalanannya merupakan perjalanan batin.[]
>
>
> --
> --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar