2.17.2014

Mari bantu mereka !!!


Dari: "A.Syauqi Yahya"

> Tangis
>
> Sabtu, 15 Februari 2014 | 23:00 WIB
>
> Putu Setia
> Gunung Kelud meletus. Abunya menyebar hingga Purwokerto dan Sumedang, lebih dari 400 kilometer ke arah barat. Lima bandar udara lumpuh--Malang, Surabaya, Solo, Semarang, dan Yogyakarta. Luar biasa letusan itu.
> Apakah ini bencana? Orang mengatakan begitu. Ukurannya, lahan pertanian bisa rusak, baik oleh abu, pasir, awan panas, dan mungkin juga lahar. Rumah dan ternak ditinggal begitu saja karena penghuninya mengungsi. Presiden mengadakan rapat mendadak, mengkoordinasikan penanganan pasca-letusan. Orang-orang yang jauh dari Kelud bersimpati dan mungkin sudah mengirim sumbangan. Bukankah ini bencana?
> Penduduk di lereng Kelud, baik yang mengungsi maupun di desa yang masih aman dihuni, barangkali tak menyebut bencana. Tinggal di lereng gunung berapi punya risiko untuk mengungsi jika gunung itu "menunaikan tugasnya" untuk meletus. Kalau takut diempas gelombang, jangan berumah di pinggir pantai; kalau takut gunung meletus, jangan tinggal di lereng bukit. Penduduk Kelud tentu sadar tentang itu. Kini mereka mengungsi tanpa ada isak tangis karena mereka yakin alam sedang mengharmoniskan diri dan sebentar lagi letusan itu akan berhenti. Abu Kelud berubah menjadi pupuk alam yang menyuburkan tanah pertanian mereka. Warga punya pengalaman, Kelud bukan sekali ini meletus.
> Kitalah yang seharusnya menangis. Terutama para pengayom rakyat, apakah itu wali kota, bupati, gubernur, menteri, ataupun presiden. Jika pejabat ini kurang mampu memenuhi kewajiban untuk membantu hak-hak dasar para pengungsi Kelud, maka layak bersedih dan menangis. Warga Kelud sudah mematuhi tugasnya untuk mengungsi. Maka kini para pengayom rakyat yang melanjutkan tugas membantu warga di pengungsian.
> Pengungsi tak boleh menderita, lapar tanpa ada yang memberikan makanan, sakit tanpa ada yang mengobati. Itu harapan yang ideal. Jika masih ada rakyat yang menderita seperti itu--apalagi karena kekuasaan alam dan bukan karena malas bekerja, misalnya--maka yang mengayomi rakyat wajib menangis. Itulah tanda kepekaan seorang pemimpin. Pemimpin tanpa memperhatikan rakyat bukanlah pemimpin sejati.
> Teladan sudah diberikan oleh Ibu Rismaharini, Wali Kota Surabaya. Ketika menyaksikan seorang jompo tergolek lemah karena sakit dan keluarga yang mengurusinya tak berdaya, Ibu Risma menangis. Tentu tak cukup menangis, Ibu Risma menolong warganya itu. Dalam sebuah acara di televisi, Ibu Risma menyebutkan, menjadi pemimpin haruslah mengurusi seluruh warga di wilayah tanggung jawabnya. Warga menderita, wali kota menangis.
> Ada juga wali kota lain yang menangis, kebetulan pula wanita. Ia adalah Ibu Airin, Wali Kota Tangerang Selatan. Ia menangis setelah menjenguk suaminya yang ditahan oleh Komisi Pemberantasan Komisi. Kita tak tahu apa penyebab tangis itu. Yang diberitakan media massa setelah "insiden tangis" itu adalah cerita tak sedap, yakni ada sederet artis yang menerima aliran dana dari suami Airin. Apakah ada kaitan tangis dengan itu, adakah Ibu Airin merasa "dihina" kecantikannya, karena suaminya melirik artis cantik? Tak ada jawaban.
> Ibu Risma dan Ibu Airin sama-sama peka. Mungkin itulah kelebihan wanita. Tapi, yang membedakan, Risma yang hidup sederhana peka terhadap warganya yang menderita, sedangkan Airin peka pada derita suaminya yang bergelimang harta.
> Apakah Anda cukup peka dengan segala kekurangan yang dialami pengungsi Kelud--mungkin masih ada pengungsi Sinabung dan pengungsi banjir? Jika ya, Anda berbakat jadi pengayom rakyat. Jangan tunda berbuat baik, mari bantu mereka.
>
> --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar