Dari: "hernowo mengikatmakna"
> Memecahkan Misteri Kitab Tanpa Aksara: India dan “Grand Overland Journey”-nya Agustinus Wibowo (3)
>
> Oleh Hernowo
>
>
>
>
>
> “Tao yang dapat dibicarakan, bukanlah Tao yang abadi
>
> Nama yang dapat diberikan, bukanlah nama yang sejati”
>
> —Tao-Te-Ching (Titik Nol, h. 258)
>
>
>
> Aku menemukan makna yang kedua buku Titik Nol di halaman 259: “Alkisah, ada seorang petualang yang pulang dari menjelajah ke Himalaya. Penduduk kampung mengelu-elukan kedatangannya, menyambutnya bagai pahlawan, minta diceritai segala detail tentang Himalaya itu. Tapi, mana mungkin mengungkap segala kemeriahan dan keajaiban perjalanan hanya dengan kata-kata?
>
>
>
> “Maka sang petualang menggambar gunung. Para penduduk begitu antusias, mereka menyalin semua gambar itu, menghafal gambar itu, menganggap diri mereka masing-masing sebagai ahli Himalaya.
>
>
>
> “Semua orang pandai berteori tentang cara pendakian, teknik menyeberang sungai, melintasi padang salju, mendaki tebing, menyisir jurang, menuruni lembah. Mereka bisa berdebat berbusa-busa tentang dunia Himalaya, padahal belum pernah sama sekali ke sana.
>
>
>
> “Mereka merasa tak perlu lagi bersusah payah ke Himalaya, toh mereka sudah tahu semua. Mereka menganggap diri mereka bahkan lebih tahu daripada si petualang sendiri. Mungkin lebih baik kalau si petualang tidak pernah menggambar gunung itu….”
>
>
>
> Betapa ajaibnya jalan dan perjalanan! Betapa dalamnya filosofi dari sebilah jalan. Jalan, bukan sesuatu untuk didiskusikan atau dibahas teori-teorinya. Jalan adalah untuk dijalani. Perjalanan adalah proses menyusuri jalan. Tak ada kata-kata apa pun yang sanggup menggantikan sebuah perjalanan. Bukan kitabnya yang penting, tetapi hakikat kehidupan yang ditemukan dari perjuangan perjalanan-lah…yang penting!
>
>
>
> Maafkan aku karena aku hanya mengutip apa yang ditulis Agustinus di halaman 259 Titik Nol. Sekali lagi, “Bukan kitabnya yang penting, tetapi hakikat kehidupan yang ditemukan dari perjuangan perjalanan-lah…yang penting.” (Aku hanya menambahkan satu imbuhan dan dua kata: “-lah”, serta “yang” dan “penting”). Permohonan maaf kedua perlu kusampaikan karena aku menganggap membaca merupakan pengembaraan atau “perjalanan”. Meskipun kata “perjalanan” aku beri tanda kutip, tetap saja bahwa itu bukan perjalanan yang sesungguhnya. (Ingat: “Jalan adalah untuk dijalani.”) Namun, lepas dari semua itu, Titik Nol telah memberikan pelajaran berharga bagiku. Aku jadi tahu bahwa “Kitab Tanpa Aksara” adalah kehidupan itu sendiri. Dan untuk mendapatkan hikmah dari kitab (sebuah kehidupan) tersebut, kita harus mengalami atau menjalani—sesuatu yang tidak dapat tergantikan oleh apa pun.
>
>
>
> Berteori itu baik, tetapi itu bukanlah sebuah kehidupan. Kadang-kadang ada sesuatu yang dilebih-lebihkan dalam teori. Kadang pula sebuah teori telah dicampuri dengan sedikit ketidakjujuran atau kebohongan. “Ada ‘Sesuatu’ yang tak bisa dijelaskan dengan beribu-ribu buku ataupun berjuta-juta aksara, tidak dapat dinalar dengan berlaksa bahasa.” Benar sekali! Tetapi, bukankah membaca juga sebuah kehidupan? Bukankah ketika kita membaca, kita juga sedang mengalami sesuatu? Di tengah kebingunganku, aku kemudian teringat S.I. Hayakawa ketika dia mengatakan hal penting ini:
>
>
>
> “Dalam makna yang sungguh-sungguh, sebenarnya orang yang membaca kepustakaan yang baik telah hidup lebih daripada orang-orang yang tak mau dan tak mampu membaca… Adalah tak benar bahwa kita hanya punya satu kehidupan yang kita jalani. Jika kita mampu membaca, kita dapat menjalani berapa pun banyak dan jenis kehidupan seperti yang kita inginkan.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar