Dari: "A.Syauqi Yahya"
> Mata Air
>
> Senin, 25 November 2013
>
> Kebudayaan dimulai dengan kaki yang bergerak di sawah dan tangan yang meraut joran. Dalam bahasa Indonesia asal katanya berkait erat dengan kerja pertanian: ada asosiasi yang dekat antara budaya dan budi daya. Dalam bahasa Eropa, culture juga berakar pada kata Latin colere, yang bisa berarti mengolah tanah atau air, menghuni, merawat, memperelok, atau memuja. Tapi kemudian para cerdik pandai berbicara tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang halus dan tinggi, seakan-akan sejarahnya bermula dan berakhir di balairung, galeri, dan ruang-ruang seminar.
> Barangkali ada sebuah transisi yang dilupakan. Riwayat manusia menunjukkan ladang dan laut bukan semata-mata sumber hidup, tapi juga tempat ia menyusun pengalamannya tentang waktu. Akal yang cerdik pun mengukur musim, dan sejak itu manusia yakin akan kemampuan dirinya. Pada saat yang sama manusia juga menghadapi gempa dan badai yang seakan-akan datang dari alam yang lain, dan ia gentar oleh misteri.
> Nilai-nilai tumbuh ketika manusia bergulat dengan itu semua. Kebudayaan pun lahir. Pada suatu tahap, nilai-nilai ituâ€"yang menyebabkan orang merasa malu atau bersalah ketika mengecoh orang lain atau membakar rumah yatimâ€"membuat sikap "berbudaya" berarti juga sikap yang "beradab". Setidaknya dalam bahasa Indonesia, "kebudayaan" dan "peradaban" bisa saling menggantikan.
> Agaknya demikian juga dalam bahasa-bahasa Eropa. Tapi kemudian datang sebuah masa ketika hal-hal yang dianggap "beradab", hal-hal yang mencerminkan civility, mengambil bentuk yang makin jauh dari tubuh, bumi, dan pergulatan hidup yang menumbuhkan nilai-nilai. Makin jauh, makin tak mendalam, meskipun makin meluas jangkauannya. Dan apa yang disebut "peradaban" akhirnya hanya ditandai perilaku yang tampak manis dan sopan dan halus di permukaan: perilaku yang mengikuti kepatutan sosial yang di mana-mana diakui.
> Kant melihat itu dengan masygul dan berkata, "Kita beradab, dan mungkin malah terlalu beradab." Kita menyangka kita telah mencapai tingkatan moralitas. Tapi sebenarnya yang kita perlihatkan hanya sejumlah pencitraan, simulacra, moralitas.
> Simulacra itu makin lama memegang peran sentral. Masyarakat diubah oleh kapitalisme. Hampir semua hal jadi komoditas yang bisa dipertukarkan karena semua hal sudah diterjemahkan dengan harga. Tak ada lagi sesuatu yang unik, istimewa, dan tak bisa diperbanyak atau ditirukan. Di toko-toko, orang memasarkan kata-kata ucapan cinta, atau berkabung, atau ucapan selamat pada kartu pos yang dicetak dalam jumlah ribuan: cara yang efisien untuk menggantikan ekspresi kita.
> Dengan kapitalisme pula, peradaban bergerak semakin meluas, menghimpun makin banyak benda dan milik. Ia merambah ke mana-manaâ€"bahkan jadi alasan kolonialisme, ketika orang-orang Eropa berangkat ke benua lain dengan semangat, atau dalih, untuk menjalankan mission civilisatrice.
> Dalam keadaan seperti itu, kebudayaan sering dibayangkan untuk bisa jadi sebuah kekuatan alternatif. Terry Eagleton menyebutnya sebagai "oasis nilai-nilai", tapi kiasannya tak tepat benar: menampakkan sesuatu yang tanpa daya dan tanpa gerak. Lebih tepat agaknya bila kebudayaan dianggap mata air nilai-nilai yang oleh peradaban dialihkan alirnya ke danau yang cemar.
> Sebab di atas segalanya kita bisa selalu mengingat kembali bagaimana semuanya bermula. Ada kaki yang bergerak di sawah dan tangan yang meraut joranâ€"dan kita tahu kaki dan tangan itu bukan otomaton yang hanya bisa mengulang-ulang. Semua menjadi berarti karena ada sesuatu yang baru dan berbeda muncul, sesuatu yang bukan alam tapi dari alam.
> Kita lihat patung Cokot yang mengubah sebatang ranting jadi sebuah patung Bali, seakan-akan ia bukan berasal dari sekerat sisa pohon. Kita juga simak imaji laut pada karesansui, taman karang Zen di Kuil Naga yang Damai di Kyoto: laut itu hidup karena gerak imajiner dari pasir.
> Keduanya tak ekspansif. Keduanya tak terpisah jauh dari pohon dan debu. Keduanya menyimpan apa yang diam dan dengan demikian mengingatkan: kapitalisme gemuruh di mana-mana, tapi tidak adakah yang tak bisa dipertukarkan?
>
> Goenawan Mohamad
>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar