@bende mataram@
Bagian 318
ILMU SAKTI TIADA TANDINGNYA Selama hidupnya entah sudah berapa kali
Pringgasakti melakukan kejahatan terkutuk. Tetapi pada babak terakhir masa
hidupnya, ia sadar akan kesesatannya. Karena itu, betapa girang hatinya
mendengar keputusan gurunya, tidaklah dapat digambarkan lagi. Dengan rasa
haru meluap-luap, ia merangkak dan memaksa diri menciumi kaki Adipati
Surengpati. Kemudian berdiri tertatih-tatih dan membungkuk bersembah. Pada
saat itu tenaganya punah. Ia jatuh terguling di tanah dan napasnya terbang
entah ke mana. Semua yang menyaksikan peristiwa itu tertegun-tegun.
Pelbagai perasaan merumun dalam perbendaharaan hati. Hebat semua yang telah
terjadi itu. Mengagetkan dan mengharukan. Jaga Saradenta yang senang
membawa adatnya sendiri, sekonyong-konyong menghampiri dan membungkuk
hormat kepada jenazah Pringgasakti. Berkata setengah parau, "Ang-katan kami
menyebutmu sebagai iblis. Ratusan bahkan ribuan nyawa telah kaubinasakan.
Tunanganku dahulu mati pula kau hisap darahnya. Karena itu aku berdendam
kepadamu. Dalam dunia ini, tak sudi aku hidup bersamamu. Tapi pada detik
kepergianmu, engkau tahu berkorban. Hebat sungguh artinya sampai semua
lakumu yang jahat jadi samar-samar. Baiklah—dengan ini kuhapuskan semua
dendam. Pergilah dengan tenteram!" Ki Hajar Karangpandan emoh ketinggalan
pula. Katanya, "Denganmu aku tak pernah bermusuhan. Tapi kau menculik
muridku. Inilah namanya suatu penghinaan semena-mena. Karena kau tahu
berkorban, semua kesalahanmu dapat kumaafkan. Kalau kau tak sudi menerima,
baiklah kita tarung tiap malam dalam mimpi. Bikinlah aku si tua bangka ini
mengigau setiap malam." Ki Hajar Karangpandan memang seorang pendeta
edan-edanan dan beradat angin-anginan. Kalau ia lagi mendongkol, dalam
kesungguhannya terselip suatu ucapan menggelikan yang tak disadari sendiri.
Seperti diketahui, di depan rekan-rekannya ia membawa sikap seorang pendeta
besar mengampuni Sanjaya dengan catatan agar memangkas kepala Pangeran Bumi
Gede. Tak tahunya, pemuda itu malah membawa suatu malapetaka, la mengadu
kepada Pringgasakti. Dan terjadilah pertempuran itu. "Murid pilihanmu
memang bagus!" kata Panembahan Tirtomoyo menyesali. Meskipun demikian,
orang tua itu membantu kesukaran adik seperguruannya menghadapi iblis
Pring-gasakti. Ki Tunjungbiru adalah seorang ksatria besar. Ia tak peduli
karena tiada mempunyai permusuhan dengan Pringgasakti, ia berkelahi dengan
sungguh-sungguh, sebagai suatu elan perjuangan melawan semua bentuk
kejahatan. Karena itu begitu melihat cara mati Pringgasakti hatinya jadi
bimbang. Sama sekali tak pernah diduganya, bahwa seorang iblis sejahat
Pringgasakti sudi mengorbankan nyawa untuk seorang gadis belaka. Itulah
sebabnya pula, setelah tertegun-tegun sejenak tanpa ragu-ragu terus
membungkuk hormat dengan berdiam diri. la menganggap iblis itu sebagai
seorang ksatria juga. Menyaksikan sikap mereka, hati Adipati Surengpati
agak terhibur. Meskipun dia seorang pendekar yang tak memedulikan tata
pergaulan manusia, namun berkepala besar. Kehormatan diri berada di atas
segalagalanya. Katanya dalam hati, "Mereka tahu menghormati muridku. Karena
itu tak perlu aku mewakili dia menghajar mereka." Perlahan-lahan ia
meninggalkan jenazah Pringgasakti untuk menghampiri puteri kesa-yangannya.
Terus saja ia berbicara tak berkeputusan. Sangaji pun tak terkecuali.
Paman-pamannya, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo dan Ki
Tunjungbiru merumuni dan menghujani berbagai per-tanyaan. Untuk melayani
mereka, dia duduk di atas gundukan tanah. Sayang ia tak pandai berbicara.
Sekali pun demikian riwayat perja-lanannya menarik perhatian mereka.
Terle-bih-lebih mengenai petualangan Bagas Wila-tikta dan kawan-kawannya,
obat pemunah racun dan rahasia guratan keris pusaka Kyai Tunggulmanik.
Waktu itu, rembulan muncul remang-remang di atas langit. Seluruh persada
bumi menceritakan pengalamannya masing-masing. Di sana, tubuh Pringgasakti
terbaring tiada teman. Di sudut lain Sangaji berkerumun dengan sekalian
paman-paman dan orang- orang tua yang dihormatinya. Sedangkan Adipati
Su-rengpati berjalan perlahan-lahan di samping puterinya bagaikan dua dara
bertemu di peta-manan indah jauh dari kesibukan manusia. Tak terasa malam
telah merangkak mema-suki fajar hari. Mereka masih saja sibuk berbicara dan
berbicara. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi dalam pada itu telah meneri-ma
obat pemunah racun dan penyambung tulang. Hati mereka jadi ringan. Karena
itu, rasanya mereka sanggup berbicara satu tahun penuh. Sedangkan Ki
Tunjungbiru dengan tekun mendengarkan ceramah Sangaji tentang sebab
musababnya persatuannya ilmu sakti Bayu Sejati—Kumayan Jati dan getah
Dewadaru. Maklumlah, dia mempunyai kepentingan dalam hal itu. Dalam dirinya
mengalir ilmu sakti Bayu Sejati yang dahulu diwariskan kepada pemuda itu.
Selagi mereka tenggelam dalam kepenting-annya masing-masing
sekonyong-konyong bulan hilang dari penglihatan. Awan tebal datang
berarak-arak. Agaknya hujan besar bakal tiba. Kemudian terdengarlah suara
berisik. Di kejauhan muncul ratusan obor yang menyala dengan tiba-tiba dan
dengan serentak pula. Terang sekali, nyala itu terjadi oleh suatu aba-aba.
Melihat pemandangan itu, Adipati Su-rengpati memperdengarkan suara
tertawanya yang menggeridikkan bulu tengkuk. Dingin beku penuh ancaman.
Tahulah Titisari, bahwa ayahnya telah mencium suatu kejadian yang kurang
beres.- Cepat ia mendaki gundukan tinggi dan segera menebarkan matanya.
Betapa herannya, ia melihat barisan kuda datang berarak-arak mengepung
tempatnya berada. Selagi demikian, sesosok bayangan lari cepat memasuki
lapangan sambil berte-riak-teriak. Dialah Surapati murid Ki Hajar
Karangpandan. Dengan nyaring ia berseru, "Guru! Kita kena kepung! Lekas
lari!" "Hm. Mengapa lari?" desis Ki Hajar Karang-pandan. "Kompeni Belanda
dengan laskar Pangeran Bumi Gede!" sahut Surapati gugup. "Pendekar Kebo
Bangah datang. Dia membicarakan tentang pusaka Kyai Tunggulmanik. Kemudian
dengan dalih menggempur laskar kerajaan, Pangeran Bumi Gede membawa pasukan
kompeni ke mari." "Dan mengapa kau begini baik hati sudi menawarkan hal ini
kepadaku? Minggat!" ben-tak Ki Hajar Karangpandan. Seperti diketahui,
Surapati ikut menyusul Sanjaya. Sebagai adik seperguruan, ia bisa keluar
masuk perkemahan laskar Bumi Gede dengan bebas. Di sana ia bertemu dengan
Sanjaya dan Pringgasakti yang telah meng-adukan nasibnya. Sewaktu
Pringgasakti me-ninggalkan perkemahan, ia bersama Sanjaya mengintip dari
kejauhan. Setelah menyaksikan tewasnya Pringgasakti cepat kedua pemuda itu
pulang ke perkemahan. Di perkemahan mereka melihat Kebo Bangah menceritakan
pengalamannya dan penglihatannya. "Rejeki paduka memang besar," katanya
sambil tertawa. "Kedua muda mudi yang paduka cari mendadak saja muncul
dengan mendadak." Tatkala di beteng, pendekar itu ikut sibuk mencari
beradanya Sangaji dan Titisari yang berhasil merampas pusaka Kyai
Tunggul-manik dan Bende Mataram dari tangan Bagas Wilatikta. Sebagai
seorang pendekar kawakan, tahulah dia arti pusaka tersebut. Ia
mengha-rapkan akan memperoleh suatu warisan ilmu kepandaian luar biasa.
Ternyata dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan gerak-gerik Titisari
yang aneh dan asing baginya. Tiba-tiba ia melihat pinggang Titisari.
Matanya yang tajam melebihi penglihatan manusia biasa, segera melihat benda
yang lagi diperebutkan sekalian orang gagah di seluruh nusantara. Begitu
melihat benda itu, timbullah nafsu jahatnya. Titisari terus diserang.
Pikirnya, kalau kena dia akan segera merebut pusaka tersebut untuk
dikangkangi sendiri. Di luar dugaan Pringgasakti yang dianggap ada pada
pihak-nya, mendadak menolong Titisari dengan mengorbankan nyawanya. Dasar
ia cerdik dan licin, maka sebelum para pendekar naik darah, terus kabur
mengarah ke perkemahan Pangeran Bumi Gede. Pangeran yang gila pusaka
warisan itu, biarlah kubujuk agar mengerahkan laskarnya. Dalam kesibukan
nanti masakan aku tak dapat merampas pusaka itu, pikirnya. Karena itu dia
lantas menganjurkan Pangeran Bumi Gede mengerahkan laskarnya. Dalam pada
itu Sanjaya yang melihat kemati-an Pringgasakti, gelisah bukan kepalang.
Hatinya jadi ciut, mengingat pembalasan Ki Hajar Karangpandan yang bisa
terjadi sewaktu-waktu. Maka ia ikut membantu menguatkan anjuran Kebo
Bangah. "Ayah!" katanya, "Mereka terlalu kuat. Baiknya ayah minta tenaga
pasukan kompeni. Siang tadi, kita habis bertempur melawan laskar kerajaan.
Dengan dalih mengadakan pembersihan, bukankah merupakan suatu alasan yang
bagus?" Pangeran Bumi Gede percaya benar kepada kecerdikan anak angkatnya.
Lagi pula sudah lima belas tahun, ia mengiler untuk dapat memiliki kedua
pusaka Bende Mataram. Maka dengan mengandalkan pengaruhnya, ia berhasil
membawa serta dua pasukan kompeni mengepung kedudukan para pendekar.
Pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede terus bergerak dengan cepat.
Mereka menduduki gundukan tinggi. Dan budak-budak Kebo Bangah tak mau pula
ke-tinggalan. Barisan tabuhan piaraan majikan-nya lantas saja dilepaskan.
Menyaksikan semuanya itu, Surapati gelisah luar biasa. Betapa pun juga, ia
adalah murid Ki Hajar Karangpandan. Meskipun dia mempunyai angan-angan
besar hendak menjadi salah seorang kepercayaan Pangeran Bumi Gede sebagai
pembalas budi, namun ia tak sampai hati membiarkan gurunya mati penasaran.
Maka selagi pasukan Pangeran Bumi Gede bergerak mengepung lapangan, dengan
diam-diam ia menyusup mendahului.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar