12.17.2019

@bende mataram@ Bagian 317

@bende mataram@
Bagian 317


Tetapi Gagak Seta seorang pendekar yang tajam mulut pula. Dengan nyaring
ia menukas. "Kentutmu! Aku pun akan angkat tangan, kalau kau mampu
mempunyai ilmu demikian." "Apanya sih yang hebat?" Kebo Bangah jadi panas
hati. Waktu itu, pertempuran dimulai lagi. Kedua belah pihak saling
menyerang dan bertahan. Pringgasakti menggunakan jurus-jurus ilmu sakti
Witaradya yang belum lengkap. Titisari pun bertahan dan melawan dengan
beberapa jurus ilmu sakti yang dimiliki dicampur dengan ilmu sakti Ratna
Dumilah. Hasilnya tidak menggembirakan. Meskipun tiada kalah, tapi untuk
menang masih harus memakan waktu berlarut-larut. Dalam pada itu Sangaji dan
paman-pamannya menonton pula di pinggiran. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi
heran menyaksikan tipu-tipu ilmu sakti Titisari. Mereka mengira, itulah
ilmu warisan Adipati Surengpati. Karena itu dengan sebenarnya, mereka
memuji kegagahan Adipati Surengpati yang merupakan lawan gurunya. Tetapi
apabila mereka melihat Sangaji yang nampak bersungguh-sungguh, timbullah
rasa sangsinya. Pikir mereka, Sangaji adalah kawan Titisari. Mustahil dia
belum mengenal ilmu kepandaiannya. Sekonyong-konyong terdengar Kebo Bangah
berkata nyaring. "Saudara Surengpati! Sepuluh tahun lagi, kita semua ini
bukan lawan puterimu yang berarti. Bukankah ketekunan kita ini jadi tiada
gunanya?" Adipati Surengpati tak menjawab, la hanya mendengus. Pandang
matanya tak beralih dari gerak-gerik puterinya yang benar-benar
mengherankan hatinya. Ilmu sakti Witaradya yang dibangga-banggakan ternyata
jadi tak berdaya menghadapi ilmu sakti Titisari. Timbullah niatnya hendak
mengetahui macam ilmu kepandaian apakah yang dimiliki. "Saudara Kebo
Bangah! Anakku ini sedikit banyak pernah menerima warisan kesaktian dari
saudara Gagak Seta. Apakah yang diper-lihatkan itu ilmu warisan saudara
Gagak Seta?" katanya mencoba. Kebo Bangah tertawa mendongak. Menyahut,
"Masakan si kentut busuk itu mem-punyai ilmu simpanan begitu hebat? Tapi
pa-ling baik, kalau kita coba sendiri." Gagak Seta hendak menukas. Mendadak
saja di luar dugaan. Kebo Bangah membuk-tikan ucapannya, la berjongkok dan
terus melepaskan serangan maut mengarah pung-gung Titisari. Waktu itu
Titisari tengah dilibat Pringgasakti. la sibuk bukan main. Seluruh
perhatiannya tertumpah kepada cara memu-nahkan tenaga lawan yang hebat luar
biasa. Memang ilmu sakti Witaradya sebenarnya bukan ilmu murahan. Hanya
sayang, Pring-gasakti lagi mewarisi separonya. Walaupun demikian, hebatnya
tak terkatakan. Kalau tidak, masakan Adipati Surengpati disegani
pendekar-pendekar sakti pada zaman itu seperti Kyai Kasan Kesambi, Kebo
Bangah dan Gagak Seta. Selagi begitu, mendadak punggungnya di-serang Kebo
Bangah dengan ilmu Kala Lodra yang kuat luar biasa. Dahulu tatkala berada
di utara makam Imogiri, ia pernah menyaksikan betapa hebat ilmu gempuran
itu. Baru alam saja, hancur berkeping-keping. Tetapi untuk menangkis, ia
tak sempat. Serangan Pringgasakti yang dilontarkan terus-menerus tak
mengenal berhenti tak bisa ditinggalkan. Mengharap bantuan Sangaji,
tidaklah mungkin lagi. Jarak serangan itu terlalu dekat. Sedang Sangaji
berada di luar garis, karena itu ia hanya menutup mata, menyerah pada
nasib. Pada saat itu, terdengar suara bergelora. "Jahanam! Kenapa memukul
dari belakang?" Ternyata dia Pringgasakti. la tengah diserang Titisari,
tapi tak sampai hati membiarkan Titisari terbinasa kena pukulan Kebo
Bangah. Tanpa berpikir panjang lagi, ia harus melesat dan menghadang
pukulan Kebo Bangah dengan menggulingkan diri. Keruan saja, tubuhnya
terpental di udara seperti bola keranjang. Dan jatuh terbanting di tanah
dengan napas kempas-kempis. Pringgasakti terkenal sebagai iblis yang sudah
membunuh manusia tak terhitung lagi banyaknya. Tapi pada babak akhir
kehidupannya, ternyata dia sanggup berkorban kepada seorang gadis yang
biasa menjadi mangsanya. Bagaimana bisa terjadi begitu, hanya Tuhan dan
Malaikat sendiri yang tahu. Peristiwa itu terjadi dengan sangat cepat.
Adipati Surengpati menoleh kepada Kebo Bangah dan berkata, "Bagus.
Benar-benar engkau seorang pendekar terhebat pada zaman ini." Terang
sekali, Adipati Surengpati mengejek Kebo Bangah. Tapi pendekar itu seperti
tak mempunyai telinga. Berulang kali ia menghela napas sambil menyesali
diri sendiri. "Sayang... sayang...! Sungguh sayang! Kenapa muridmu berlagak
pahlawan segala sampai dia harus mengorbankan nyawa, bukankah itu suatu
pengorbanan sia-sia belaka?" la menyesal bukan main karena gagalnya
serangan itu. Sebab dengan demikian, ilmu sakti yang diperlihatkan Titisari
masih asing baginya. Memang tujuannya menyerang Titisari ialah, untuk
memunahkan gadis itu dari percaturan dunia. Sebagai seorang pendekar yang
dapat berpikir jauh, tahulah dia bahwa ilmu sakti yang diperlihatkan
Titisari merupakan duri berbahaya baginya. Seumpama seekor naga belum
terlanjur jadi besar, ia hendak membunuhnya dahulu. Di luar dugaan, seorang
lain menjadi korbannya. Dia bisa berpikir cepat. Menghadapi kenya-taan
demikian, Adipati Surengpati pasti takkan tinggal diam. Titisari, Sangaji
dan lain-lainnya, masakan akan tinggal diam? Sebelum terlanjur, ia harus
bertindak cepat. Maka dengan tertawa nyaring melompatlah ia keluar
gelanggang dan sebentar saja lenyap dari penglihatan. Gagak Seta bukanlah
seorang pendekar picisan. Kalau mau, ia bisa mengejar dan melibat. Tapi
dalam hal ini, bukanlah urusannya. Lagi pula dia seorang pendekar besar
yang harus bisa membedakan urusan pribadi dan urusan mengadu kepandaian.
Karena itu, tanpa berbicara sepatah kata pun ia meninggalkan gelanggang
pula dengan diam-diam. "Guru! Tunggu!" Sangaji dan Titisari berseru hampir
berbareng. "Hm" dengusnya. "Kalian memanggil aku guru, tapi pada hakekatnya
kalian kini bukan muridku lagi. Malahan dalam satu dua bulan ini, aku akan
menjadi muridmu pula. "Kau bocah tolol! Kesehatanmu sudah pulih. Aku
senang." Gagak Seta bertabiat aneh. Seumpama seekor naga sekali-kali ia
hanya menam-pakkan ekornya, tapi kepalanya tidak. Begitu pula sebaliknya.
Karena itu, kalau dia mau pergi, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa
menghalang-halangi. Adipati Surengpati memperdengarkan dengus hidungnya.
Perlahan-lahan ia mengham-piri Pringgasakti. Hati-hati ia memapah
murid-nya. Ternyata Pringgasakti sudah bermandi-kan darah segar. Rupanya,
dia takkan bisa hidup lagi. Biar bagaimana, Adipati Surengpati berduka.
Meskipun murid murtad, tetapi murid itu pernah berkumpul untuk beberapa
tahun lamanya di Karimunjawa. Dan kini di luar dugaan siapa pun juga, *
berkorban untuk kepentingannya. Seumpama dia tak mematahkan serangan Kebo
Bangah, pastilah Titisari tiada lagi di dunia. Dia jadi terharu. Tak
dikehendaki sendiri, mendadak saja ia menangis menggerung-gerung.
Pringgasakti pingsan kena pukulan Kebo Bangah. Tapi karena kena getaran
tangis gurunya, ia tersadar. Perlahan-lahan ia mem-buka matanya. Apabila
merasa, bahwa dia berada dalam rangkulan gurunya, rasa baha-gianya tak
terperikan besarnya, la jadi melupakan penderitaan dirinya. Dengan
menguatkan diri, ia merorita dan menjatuhkan diri ke tanah. Kemudian dengan
senyum manis ia mengamat-amati gurunya. Di luar dugaan, mendadak tangan
kanannya menghantam lengan kirinya sehingga menjadi patah. Setelah itu
tangan kanannya menghantam batu. Batu itu terbelah menjadi empat. Tangannya
remuk pula. Tulang ruasnya patah berentakan. Menyaksikan perbuatannya,
Adipati Surengpati tercengang-cengang. Sangaji, Titisari dan murid-murid
Kyai Kasan Kesambi tak terkecuali. Bahkan Ki Hajar Karangpandan yang
terkenal berwatak edan-edanan, tertegun. "Eh mengapa kau...," tegur Adipati
Sureng-pati kaget. "Guru," potong Pringgasakti dengan suara puas. "Sewaktu
di dekat Desa Gebang, aku pernah menerima tugas guru. Pertama, mengumpulkan
kitab sakti Witaradya yang pernah kami curi. Kedua, membunuh siapa saja
yang pernah membaca. Kemudian men-cukil gundu mataku. Ketiga, mengembalikan
semua ilmu kepandaian yang pernah kuwarisi dari Pulau Karimun Jawa. Karena
yang perta-ma dan yang kedua tak dapat kupenuhi, maka dengan sangat
menyesal aku hanya bisa melakukan yang penghabisan. Kini ilmu Karimun Jawa
ajaran guru telah kukemba-likan." Mendengar kata-kata Pringgasakti, Adipati
Surengpati tertawa riuh. Raut mukanya terang benderang. Pandang mata
berseri-seri. Dan setitik air mata mengembang di kelopak matanya. Suatu
tanda hatinya puas luar biasa. Terus saja dia berkata, "Bagus! Bagus!
Itulah ucapan muridku yang sejati. Seorang jantan yang tak takut mati.
Tentang dua yang lain tak usahlah kaupenuhi. Hari ini pula, engkau kuterima
menjadi muridku. Murid Adipati Surengpati Karimun Jawa ..." ***


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar