12.16.2019

@bende mataram@ Bagian 316

@bende mataram@
Bagian 316


Karena kedua pusaka itu pulalah dia teraniaya dengan penasaran. Tak terasa
hati Sangaji jadi terharu. Mendadak saja ia berkata nyaring, "Paman! Berkat
restu Paman, aku berhasil mendapat obat - pemunah racunnya dan penyambung
tulang." Hampir tiga bulan penuh, mereka prihatin. Siang malam ingatan
mereka tak pernah ter-lepas dari nasib Wirapati. Mereka bersedia memasuki
samudra api atau lautan golok, asal saja bisa memperoleh obat pemunah
racun. Kini, mendadak Sangaji mengabarkan hal itu. Tentu saja mereka
gembira bukan kepalang. Gagak Handaka yang berwatak tenang dan sabar,
tergoncang pula perasaannya. Terus saja ia menukas, "... di mana sekarang
obat pemunah itu?" Sangaji menoleh ke arah Titisari. Waktu itu Titisari
sedang berkutat dengan Pringgasakti. Ternyata Pringgasakti adalah seorang
iblis sakti luar biasa. Dengan gagah ia melayani keroyokan Jaga
Saradenta—Ki Hajar Karang-pandan—Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru.
Tetapi musuh-musuhnya bukan pula merupakan panganan enteng. Meskipun tak
sampai kalah, tetapi untuk merebut kemenangan dengan mudah seumpama orang
bermimpi di tengah hari. "Abu! Ayahku berada di sini. Apakah engkau tak
mempunyai pikiran membicarakan buku sakti Witaradya yang harus
kaukembalikan?" teriak Titisari. Pringgasakti terkejut. Diingatkan akan
janjinya kepada gurunya, ia menggigil dengan sendirinya. Seperti diketahui,
ia harus melakukan tugas gurunya tiga hal. Pertama, mengembalikan buku
pusaka Witaradya menjadi utuh. Kedua, membunuh semua yang pernah membaca
dan mencukil ke dua belah matanya sendiri. Ketiga, memunahkan semua ilmunya
yang berasal dari Karimun Jawa. Sebaliknya, apabila dia tak sanggup
melakukan—maka tepukan ilmu beracun Cakrabirawa yang sudah mengeram satu
tahun dalam dirinya, akan mulai bekerja. Dia tahu arti bekerjanya ilmu itu.
Barangsiapa kena tepukan ilmu tersebut, tubuhnya merasa seperti tertu-suki
ribuan jarum. Setelah menderita siksaan jarum selama tiga hari, dagingnya
terbakar hangus. Kemudian rontok segumpal demi segumpal tinggal tulang
belulangnya belaka. Tak terasa ia menghela napas. Tugas keti-ga-tiganya
belum dapat terpenuhi. Sekarang gurunya berada di sampingnya. Meskipun tadi
bersikap membela dirinya tatkala kena kero-yokan, tetapi belum tentu
mengampuni kesalahannya. Hukuman apa lagi, kalau bukan mati. "Adikku!"
teriaknya prihatin. "Aku pun bakal mati. Karena itu, lebih baik aku mati
berbareng dengan musuh-musuhku." "Aku berada di sini. Masakan Ayah tak mau
mendengarkan kata-kataku." Pringgasakti tertawa melalui dada.
Seko-nyong-konyong ia bersiul tinggi dan merangsak lawan-lawannya. Jaga
Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru
jadi sibuk berbareng terkejut. Tadi mereka memperlambat
gem-puran-gempurannya begitu melihat munculnya Titisari. Pikiran mereka
lantas saja ingin mendengar kabarnya Sangaji. Selagi begitu mendadak
Pringgasakti menyerang hebat. Kalau saja bukan merupakan tokoh-tokoh yang
berpengalaman, pastilah mereka sudah kena dicelakai. "Abu! Masakan kau
menganggap aku seba-gai debu kabur belaka?" teriak Titisari nyaring.
"Adikku. Bukan begitu. Dalam hal ini aku lebih mengenal ayahmu daripada
engkau.". "Baiklah. Jika begitu, aku pun ingin menja-jal kepandaianmu."
"Mengapa begitu?" Pringgasakti terkejut. "Biar kau tahu, bahwa di dunia ini
tidak hanya ilmu sakti Witaradya saja yang menjagoi kolong langit." Setelah
berkata demikian, ia melesat mema-suk) gelanggang dan terus menggempur
dengan ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik. Pringgasakti kaget bukan
kepalang. Dasarnya ia enggan bertempur melawan Titisari—apalagi
terang-terangan di depan hidung Adipati Surengpati maka ia menjejak tanah
mundur jempalitan. Tatkala mendarat, ia tiba di samping kalangan Kebo
Bangah dan Gagak Seta. Titisari tak mau sudah, la kini bukan lagi Titisari
yang dahulu. Selain sudah mengan-tongi ilmu sakti Ratna Dumilah ajaran
Gagak Seta, ia hafal semua lekuk ukiran sakti Pusaka Bende Mataram.
Tenaganya bertambah pula oleh bantuan tenaga sakti Sangaji. Maka kini ia
bagaikan harimau memiliki sayap garuda. Dengan menjejak tanah ia mengejar
Pringgasakti dan terus melontarkan pukulan aneh luar biasa. Pringgasakti
kaget. Selama hidupnya, entah sudah berapa kali ia menghadapi musuh yang
memiliki ilmu kepandaian simpanan. Pada dasarnya hampir sama. Tapi kali ini
benar-benar aneh. Gerakannya jauh berbeda. Bahkan nampak bertentangan
dengan ilmu kepandaian lumrah. "Adikku! Kau memiliki ilmu kepandaian ini
darimana?" Pringgasakti berteriak minta ke-terangan. Titisari tertawa
melalui hidungnya. Dasar wataknya liar dan berkepala besar, maka tak sudi
ia meladeni. Katanya merendahkan, "Kau menganggap aku sebagai debu kabur.
Masakan kini engkau ada harganya untuk kulayani?" Pringgasakti tertegun.
Mukanya berubah hebat. Menangis tidak, tertawa pun tidak. Hatinya
terguncang penuh kebimbangan. Tak tahu ia, apa yang harus dilakukan.
Seko-nyong-konyong ia mendengar suara yang dikenalnya. "Seorang laki-laki
masakan beragu-ragu seperti perempuan. Lawan!" Itulah suara Adipati
Surengpati. la kaget berbareng heran. Suatu cahaya baik terbesit dalam
benaknya. Ia tahu gurunya gila kepada semua ilmu kepandaian yang aneh-aneh
dan asing baginya. Mungkin ilmu kepandaian Titisari menarik hatinya. Karena
itu, ia disuruh mencobanya. Sekilas ia berpikir, aku diperintahkan melawan
anaknya, tapi pasti bukan untuk melukai. Baikiah aku melihat gelagat...
Setelah memperoleh keputusan demikian, ia segera bersiaga dengan gagah.
Titisari mendongkol hatinya. Setelah menekuni ilmu sakti pusaka Bende
Mataram, tak setahunya sendiri pendengarannya jadi tajam luar biasa.
Meskipun perintah ayahnya dilepaskan dengan Aji Pameling suatu ilmu
penyusup pendengaran manusia tetapi berkat ilmu saktinya, ia bisa menangkap
kata-katanya dengan terang. Pikirnya, Ayah memang keranjingan ilmu
kepandaian. Biarlah kuperlihatkan barang tiga empat jurus, kalau aku tak
mampu masakan Sangaji tak dapat menumbangkan dengan satu kali pukul.
Titisari bukan seorang gadis tolol, la tahu apa arti suatu ilmu kepandaian.
Sekali terlihat oleh lawan, berarti mengurangi kewibawaannya. Sebab lawan
akan dapat mempelajari dan men-ciptakan ilmu perlawanannya. Karena itu, ia
tak segera memperlihatkan ilmu warisan Pangeran Semono. Dengan gesit ia
menyerang dengan ilmu sakti Ratna Dumilah ciptaan Gagak Seta. Ia kini sudah
memiliki tenaga sejajar dengan tenaga almarhum sang Dewaresi—karena itu
gerak-geriknya cekatan dan berpengaruh. Pringgasakti melayani dengan
hati-hati dan sungguh-sungguh. Pertama, ia asing meng-hadapi tipu-tipu
pukulan dan pertahanan ilmu sakti Ratna Dumiiah. Kedua, ia tak berani
melukai Titisari. Dengan demikian, kedudukannya menjadi lemah. "Anakku
Titisari!" tiba-tiba terdengar suatu suara nyaring. Itulah Jaga Saradenta.
"Kau berada di sini. Di manakah anakku Sangaji? Bawalah ke mari. Iblis ini
adalah musuhku. Kau jangan ikut campur. Meskipun aku mati, aku mati wajar."
Meskipun belum pernah bergaul rapat, tetapi Titisari kenal watak Jaga
Saradenta dari mulut Sangaji. la pernah menyaksikan pula dalam benteng
dengan selintasan. Sebagai seorang gadis yang cerdik, cukuplah sudah untuk
dapat membaca keseluruhannya. Maka ia khawatir mendengar teriakan itu.
Gugup ia menyahut, "Sangaji berada di sini. Tentang perkelahianku ini, tak
usah Paman cemas. Betapa pun juga, tak berani ia melukai daku." Setelah
berkata demikian, ia merubah tata berkelahinya. Tiba-tiba suatu kesiur
angin berdengung di tengah arena, la merabu dengan tipu-tipu ilmu warisan
Bende Mataram. Sayang tenaganya tidaklah sekuat Sangaji. Meskipun demikian,
hebatnya tak terkatakan. Pringgasakti benar-benar terdesak mundur, la
mencoba bertahan mati-matian. Dengan sekonyong-konyong, pipinya kena gampar
pulang-balik tanpa bisa membalas. Cepat ia mundur jumpalitan sambil
berteriak tinggi. "Bagus! Kau bermurah hati kepadaku. Kalau tidak, masakan
nyawaku masih melesat dalam dadaku." Titisari tertawa dingin, la menjejak
tanah dan dengan gesit memotong gerak mundurnya. Dua kali lagi, ia berhasil
menghantam pundak dan leher Pringgasakti. "Hm," terdengar Adipati
Surengpati mendengus. "Bertahan dengan Witaradya. Dan lepaskan pukulan
dengan sungguh-sungguh. Masakan kau banci?" Mendengar teguran gurunya, hati
Pring-gasakti terkesiap. Terus ia bertahan dengan ilmu sakti Witaradya.
Kemudian melepaskan gempuran menggeledek. Titisari kaget, tetapi tak
menjadi gugup. Dengan manis sekali ia menjejak tanah dan meloncat tinggi di
udara. Tetapi Pringgasakti tak memberi kesempatan untuk turun ke tanah.
Memang kehebatan ilmu sakti Witaradya terletak pada rangkaian serangannya
yang tak pernah putus. Musuh sama sekali tak dapat bernapas. Maka begitu
melihat Titisari meloncat ke udara, dengan gesit ia memburu dan melepaskan
pukulan lagi. Hebatnya tak terkatakan. Semua yang melihat menahan napas.
Titisari pun agak terkesiap. Sekonyong-ko-nyong di luar kesadarannya
sendiri, kakinya menjejak gelombang angin pukulan Pring-gasakti. Dengan
meminjam tenaga pukulan itu, ia melesat tinggi lagi dan turun sepuluh
langkah jauhnya. Tatkala Pringgasakti melesat menubruk, ia meloncat tinggi
sekali lagi. Dan seperti panah terlepas dari gendewa ia terbang dan turun
di tanah dengan manis sekali. "Saudara Surengpati! Anakmu mempunyai bakat
hebat," terdengar suara seperti gem-breng pecah. Siapa lagi kalau bukan
Kebo Bangah. Dia yang sedang bertempur dengan Gagak Seta, tertarik hatinya
melihat ilmu kepandaian Titisari. Seperti berjanji, Gagak Seta pun mundur
berjumpalitan. Kemudian menonton di luar gelanggang. "Inilah berkat
kepandaian saudara Gagak Seta," sahut Adipati Surengpati. "Ha, apakah dia
mempunyai ilmu begini? Kalau begitu, aku merasa takluk," teriak Kebo
Bangah. Terang sekali ia hendak mengejek Gagak Seta.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar