12.16.2019

@bende mataram@ Bagian 315

@bende mataram@
Bagian 315


Pikirnya dalam hati, Ah! Mereka hanya bergurau saja. Pukulan dan daya
tahan ilmu Pancawara hebat tak tercela. Tetapi mengapa keganasannya begitu
menjadi beku? Sewaktu menerjang Adipati Surengpati, bukankah harus disertai
desakan melipat? Dengan begitu, Adipati Surengpati tak bisa lagi memamerkan
kegesitannya. Paman Gagak Handaka dan Paman Ranggajaya mestinya harus
melepaskan pukulan lurus. Dan Paman Bagus Kempong mencegat silang
melintang. Dengan begitu pukulan Paman Suryaningrat akan dapat memukul dada
dengan tepat. Ih! Adipati Surengpati pun kenapa mengobral tenaga yang tiada
gunanya? Dengan menekuk kaki dan melontarkan cengkeraman, bukan-kah sudah
cukup membubarkan garis perta-hanan ilmu Pancawara." Penglihatan Sangaji
adalah salah. Mereka sebenarnya bertarung dengan sungguh-sung-guh. Setiap
serangan dan pertahanan mereka terbersit dari suatu perhitungan dengan
per-taruhan nyawa. Soalnya, Sangaji kini sudah mengantongi ilmu tersakti di
dunia. Nilainya jauh lebih tinggi dari semua tipu muslihat ilmu Pancawara
dan Witaradya. Kelemahan-kelemahan yang dilihatnya, adalah reaksi ilmu
sakti yang dengan sekali melihat bisa mengeluarkan tipu-tipu jauh lebih
tinggi dan cepat secara otomatis. Sama halnya seperti burung garuda terbang
di angkasa menyaksikan pertarungan singa dan harimau di daratan. Dan burung
itu berpikir, Aneh! Kenapa tidak terbang di udara saja dan menyambar dari
atas? Dengan cara begitu bukankah akan menang dengan segera? Dengan
sendirinya garuda itu tak tahu, bahwa singa dan harimau adalah binatang
daratan. Betapa mungkin bisa terbang ke angkasa. Dalam pada itu mendadak
saja ia melihat Suryaningrat terhuyung-huyung. Murid Kyai Kasan Kesambi
yang termuda itu, ber-kunang-kunang matanya melayani kecepatan Adipati
Surengpati. Kepalanya pusing. Dunia seolah-olah jungkir balik. Melihat
Suryaningrat tak tahan menghadapi Adipati Surengpati, Gagak Handaka
menggeser ke samping melindungi adiknya seperguruan. Dengan gagah ia
mengambil sikap bertahan, sedangkan Ranggajaya dan Bagus Kempong tetap
menyerang dengan menyekat gerakan lawan. Adipati Surengpati, sebenarnya pun
gelisah bukan main, la bersangsi kepada tenaganya sendiri apakah mampu
merobohkan mereka. Dalam pada itu, matahari sudah lama tengge-lam. Malam
tiba dengan diam-diam. Pikirnya, apakah aku dapat meruntuhkan mereka
sebelum tengah malam? Dengan mengumpulkan tenaga ia menyerang bagaikan
badai. Tubuhnya kini nyaris tak terlihat oleh keremangan malam hari. Namun
Gagak Handaka dan adik-adiknya seperguruan termasuk tokoh kias utama. Pada
zaman itu, mereka ulet, tabah dan ter-latih. Gerak geriknya tenang bagaikan
per-mukaan danau. Selagi demikian, terdengar Kebo Bangah berseru, "Hai
saudara Adipati Surengpati! Bagaimana kau melayani anak murid si tua bangka
itu?" Adipati Surengpati tertawa angkuh. Menya-hut, "Si tua bangka memang
hebat. Dia masih bisa meninggalkan suatu ilmu kepandaian yang boleh juga."
"Kalau begitu biarlah kutolong!" Sehabis berkata demikian, pendekar berbisa
itu terus berjongkok. Sangaji terkejut, la tahu arti serangan berjongkok
itu. Sewaktu pende-kar itu melayani Gagak Seta, ia berkelahi sarn-bil
berjongkok. Kalau sampai ia melepaskan suatu serangan, habislah sudah garis
pertahanan paman-pamannya. Sebab waktu itu tenaga mereka terpusat pada
gerak-gerik Adipati Surengpati yang hebat luar biasa. Adipati Surengpati
benar-benar seorang pendekar yang angkuh bukan kepalang. Berbareng dengan
datangnya serangan bantuan dari Kebo Bangah, ia mengibaskan tangan sambil
berteriak, "Siapa kesudian menerima bantuanmu?" Setelah berkata demikian,
ia terpental ter-huyung. Kebo Bangah pun tak terkecuali. "Bagus!" katanya
parau. "Kau tak mau ku-bantu? Baik, aku akan membantu mereka." Waktu itu
kedudukan Adipati Surengpati sangat berbahaya. Dia habis menangkis, pukulan
Kebo Bangah yang dahsyat, sehingga terhuyung mundur. Kemudian murid-murid
Kyai Kasan Kesambi mengepung rapat dan sedang bergerak melepaskan pukulan
ber-bareng yang hebatnya tak bisa terlukiskan lagi. Sedang demikian, dengan
cara licik Kebo Bangah memukul dari arah punggung. Sudah barang tentu ia
tak dapat berputar untuk menangkis pukulan Kebo Bangah. Sangaji tahu
kesulitan itu. Dalam hal ini, ia repot mengadakan pemilihan. Kalau
mem-biarkan Adipati Surengpati celaka, bagaimana dengan Titisari. Kecuali
itu, Adipati Surengpati bakal mertuanya. Sebaliknya kalau melindungi
Adipati Surengpati berarti menggagalkan kesempatan paman-pamannya.
Sekonyong-konyong selagi ia berbimbang-bimbang terdengarlah suara tertawa.
Dialah Gagak Seta yang meloncat sambil berkata, "Kebo edan, jangan usil! Di
sini masih ada aku!" Pukulan Kebo Bangah ditangkisnya cepat. Dan sebentar
kemudian mereka berdua sudah bertempur hebat. Dengan masuknya Gagak Seta
dan Kebo Bangah ke gelanggang, corak pertempuran segera berubah. Pada saat
itu pun, Jaga Saradenta yang tak dapat mengendalikan nafsunya, terus
menyerang iblis Pringgasakti. Dengan sendirinya, Ki Hajar Karangpandan,
Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru seperti mempunyai kewajiban untuk
membantu. Pertempuran jadi kacau balau. Yang sibuk adalah Sangaji. Apa yang
harus dilakukan? Gagak Seta dan Kebo Bangah adalah seimbang. Juga nasib
paman-paman-nya. Meskipun belum tentu bisa bertahan sampai esok pagi, namun
waktunya masih cukup lama. Sebaliknya medan pertempuran antara Pringgasakti
dan Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo dan Ki
Tunjungbiru bercorak lain. Melihat pertempuran, hati Sangaji
mengkhawatirkan keselamatan gurunya. Pada saat itu pun Titisari sedang
mengasah otaknya. Seluruh perhatiannya tertumpah pada pertempuran antara
ayahnya dan paman-paman Sangaji. la tak menghendaki salah satu pihak menang
atau kalah. Sewaktu hendak minta pertimbangan Sangaji, mendadak pemuda itu
berkata, "Titisari! Apakah yang harus kulakukan?" Dasar Titisari seorang
gadis yang dapat berpikir cepat segera ia menjawab, "Kau ingat Yuyu Rumpung
tidak? Nah, apa arti keha-dirannya? Pasti Pangeran Bumi Gede dan pendekar
undangannya berada di sekitar sini. Kalau saja dia tak muncul semata-mata
untuk menunggu lelahnya harimau bertarung." Diingatkan tentang Pangeran
Bumi Gede mendidihlah darahnya. Pada waktu itu ibunya mendadak terbayang di
depan matanya, la kini merasa dirinya kuat. Karena itu apalagi yang harus
ditunggu-tunggu. Maka ia menoleh sambil menahan napas. Minta ketegasan,
"Lantas?" "Tolong dipisahkan dahulu pertempuran antara ayah dan
paman-pamanmu. Kau pasti sanggup mengatasi mereka. Aku sendiri akan
menolong gurumu dari bahaya." Seperti diketahui, semenjak dahulu dia merasa
takhluk kepada Titisari. Apabila pada saat itu, hatinya sedang sibuk dan
lagi berusaha mencari pertimbangan. Maka tahu-tahu ia sudah berada di tepi
gelanggang. Dengan membungkuk hormat dia berkata, "Paman-paman dan Gusti
Adipati Surengpati maaf!" Dengan melintang tangannya, tiba-tiba ilmu sakti
yang dimiliki Sangaji meletus bagaikan dinamit. Seketika itu juga, punahlah
semua tenaga yang sedang bertempur. Adipati Surengpati terpental mundur.
Begitu pula murid-murid Kyai Kasan Kesambi. Waktu itu alam telah terselimut
kabut malam hari. Karena itu mereka tak mengenal siapa dia. Masing-masing
merasa kena benturan tenaga lawan. Serentak mereka kedua belah pihak
bergerak hendak membalas. Namun tenaga bendungan itu sangat hebat. Jangan
lagi hendak melontarkan pukulan. Bergerak sedikit pun tak mampu. Sebagai
gantinya, tubuh mereka seperti kemasukan suatu arus tenaga bergelombang
yang tiada habis-habisnya. Mendadak saja mereka merasa jadi segar-bugar.
Terang sekali si penyerang sama sekali tiada mengandung maksud jahat.
Karena itu mereka bertambah heran. Seperti berjanji mereka berbareng
mengamat-amati seseorang yang berdiri tegak di tengah kalangan. "Siapa?"
bentak Adipati Surengpati dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi hampir
berbareng. Dengan membungkuk, Sangaji menjawab: "Aku si tolol Sangaji."
Mendengar jawaban Sangaji, Adipati yang selamanya menganggap dirinya
pendekar pa-ling jempolan di jagad jadi keheran-heranan. Hatinya sangsi.
Tetapi suara itu terang suara Sangaji. Maka perlahan-lahan ia menghampiri.
Beda adalah Gagak Handaka dan adik-adik seperguruannya. Begitu mendengar
suara Sangaji, serentak mereka merumun. Suryaningrat adalah murid Kyai
Kasan Kesambi yang paling perasa, la gampang terharu, apa-bila menghadapi
suatu peristiwa yang menggetarkan hatinya. Terus saja ia merang-kul Sangaji
dan menciumi kalang kabut. "Anakku! Benar-benarkah ini anakku Sangaji?"
Sangaji tak pandai berbicara. Lagi pula hatinya amat terharu bertemu dengan
paman-pamannya. Maka ia hanya memeluk pinggang pamannya sambil setengah
berlutut. "Kau hebat. Pukulanmu mengejutkan kami. Apakah engkau sudah
berhasil melatih ilmu ciptaan kakekmu?" kata Suryaningrat mene-gas. Belum
lagi Sangaji menjawab, Adipati Su-rengpati memperdengarkan tertawa
dinginnya. Mendengus, "Gurumu memang boleh juga. Tetapi bukanlah dewa yang
sanggup merubah Sangaji dalam waktu satu dua minggu." Murid-murid Kyai
Kasan Kesambi bisa berpikir cepat dan bertabiat jujur. Meskipun tajam
kata-kata Adipati Surengpati, tapi mengandung kebenaran. Memperoleh
pertim-bangan demikian, mereka jadi sibuk. "Apakah benar begitu?"
Suryaningrat mene-gas lagi. Sangaji berbimbang-bimbang. Sejenak ke-mudian
menjawab, "Semua ini adalah berkat ketekunan Guru." "Kenapa?" Sebenarnya
maksud Sangaji hendak mem-beber rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende
Mataram. Dengan sendirinya teringatlah dia kepada jasa gurunya. Bukankah
Wirapati yang berhasil menemukan kedua pusaka itu?


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar