12.14.2019

@bende mataram@ Bagian 313

@bende mataram@
Bagian 313


Pada saat itu Titisari ikut berlutut di sam-pingnya dan berdoa setengah
berbisik, "Memang benar akulah yang mendorong Sangaji menekuni ilmu
warisanmu. Aku berjanji hendak ikut mewujudkan sumpahnya. Karena itu,
engkau harus menjadikan aku isterinya. Agar dengan demikian, aku senantiasa
dapat mendampingi dan memperingatkan apabila dia berkelakuan buruk dan
dapat pula meng-ingatkan sumpahnya kepadamu hendak ber-buat kebajikan. Aku
telah menghafal guratan ilmu warisanmu. Tetapi aku bersumpah takkan
mempelajari asal saja engkau menjadikan aku ini untuk memberi petunjuk
suatu cita suci bersih kepadanya. Dan lagi...engkau harus mengabulkan
permintaanku ialah, dia tidak boleh beristeri lain kecuali aku, agar aku
bisa memilikinya seluruhnya." Mendengar doa Titisari, Sangaji berkata,
"Apakah engkau mengira, aku bakal meng-ambil seorang isteri lain? Di dunia
ini hanya engkau?" "Dan Sonny de Hoop?" Mendengar nama itu, semangat
Sangaji seperti kabur. Wajahnya berubah pucat. Tak terasa ia menundukkan
kepala. "Titisari!" katanya berbisik. "Sungguh! Da-lam hatiku hanya ada
engkau. Tentang dia... bukankah bisa diselesaikan dengan cara lain?"
Titisari kegirangan sampai berjingkrak. Lantas saja berseru^ "Kau
berjanji?" Sangaji mengangguk. Selagi hendak ber-bicara, Titisari menangkap
tangannya sambil menyeret. "Gurumu dalam bahaya. Apakah engkau akan
membiarkan gurumu yang sudah tua itu mengalami nasib seperti Paman
Wirapati?" Diingatkan tentang gurunya, hati Sangaji tergetar. Kemarin
malam, ia mendengar gurunya menggugat tentang tingkah laku Sanjaya
memanggil Pringgasakti. Karena tekunnya ia menolong Titisari ia sampai
melupakan segalanya. Kini, gurunya tiada dalam benteng. Kemanakah dia?
Tanpa berbicara lagi ia menekan perge-langan tangan Titisari dan melesat
keluar. Di luar perhitungannya, tubuhnya terbang melintasi ruang tengah.
Baik Titisari maupun dia sendiri memekik kaget. Sesungguhnya, ilmu warisan
yang telah ditekuninya bersatu dengan tenaga sakti yang tersekap dalam
tubuh Sangaji. Ilmu itu sendiri, merupakan kunci penghubung mulai dari
angan-angan—budi—pekerti—pancadriya sampai menembus sarwa jasmaniah mulai
dari sungsum—tulang—darah—urat—daging —kulit dan rambut. Maka gerak-gerik
Sangaji adalah gerak hidup sendiri, la menjadi lincah, gesit, tangkas,
bertenaga luar biasa dan peka. Seseorang yang susah untuk mencapai ia bisa
melakukan dengan gampang. Gaya berat Titisari bukan soal lagi baginya.
Hanya saja dia belum bisa memperhitungkan kekuatannya sendiri. Biasanya dia
hanya melesat sewajar orang-orang sakti pada zaman itu. Tak tahunya baru
menjejak tanah—terpental tinggi dan terbang setinggi atap benteng.
Tahu-tahu ia turun dengan manisnya di depan ambang pintu dengan masih tetap
menggandeng Titisari. Yang sadar akan perubahan itu adalah Titisari. Dasar
ia masih kanak-kanak, maka ia ingin menguji. Serunya riang, "Paman Gagak
Seta bisa menumbangkan pohon dari kejauhan. Aku ingin melihat apakah engkau
bisa menumbangkan benteng ini." "Ilmu Kumayan Jati sudah lebur," potong
Sangaji. "Kau kini adalah pewaris ilmu sakti yang tiada bandingnya.
Bukankah engkau perlu membuktikan?" Sangaji mengeluh. Tapi karena semenjak
dahulu ia merasa takluk kepada kekasihnya, maka ia tak membantah. Hanya
berkata, "Benteng ini bukan milikku atau milikmu." "Juga bukan milik siapa
saja," tungkas Titisari. "Baik. Tetapi bagaimana dengan kedua pusaka sakti
yang keramat itu?" Tanpa berbicara lagi, Titisari segera meng-ambil kedua
pusaka sakti yang keramat itu. Setelah itu ia lari keluar mendampingi
Sangaji. Di halaman depan Sangaji mencoba menyalurkan tenaganya.
Benar-benar dia heran, karena dengan mendadak saja ia merasa seperti mampu
meremuk dunia. Terus ia me-lontarkan dengan tenaga tujuh bagian. Dan pada
saat itu, benteng tergoncang hebat. Kesudahannya dengan suara gemuruh
ben-teng yang sudah tua itu runtuh berantakan. Dindingnya hancur lebur
berpuing-puing dan tiang-tiangnya remuk berserakan. Titisari terperanjat
oleh rasa kagum dan giris. Sangaji sendiripun tak terkecuali. Pada saat
itu, sadarlah dia akan kekuatannya. Pikirnya, ilmu yang telah dicobanya itu
benar-benar luar biasa hebat. Kalau pukulanku tadi mengenai manusia, apakah
jadinya? Memikir demikian ia jadi ngeri sendiri. Karena terdorong oleh rasa
ingin mengetahui keadaan gurunya, cepat ia memutar tubuh dan sambil
menggandeng Titisari meninggalkan benteng. Makin lama jalannya makin cepat.
Akhirnya Titisari merasa seperti dibawa terbang seekor garuda. Waktu itu
matahari hampir tenggelam. Suasana alam aman damai. Sinar matahari memantul
malas pada batu dan pohon-pohon. Angin meniup lembut menyemarakkan rasa
hati yang mendambakan ketentraman. Sangaji berjalan tanpa tujuan tertentu.
Ia hanya menuruti gejolak hatinya belaka. Teringat bahwa Pangeran Bumi Gede
sedang memimpin pertempuran melawan tentara kerajaan, maka ia mengarah ke
Yogyakarta. Dia percaya, Sanjaya pasti berada di dekat ayah angkatnya. Itu
berarti pula, bahwa Pringgsakti berada pula di sana. Tiba-tiba di tengah
jalan jauh di sana, ia melihat beberapa orang menggeletak tak berkutik.
Cepat ia menghampiri dan segera mengenal siapa mereka. "Celaka!" Sangaji
mengeluh. "Bukankah mereka budak-budak sang Dewaresi? Hai! Yang di sana
kukira salah seorang pendekar undangan Pangeran Bumi Gede." Tak usah lama,
Titisari segera mengenalnya. Terus saja ia menduga. "Mereka ini mati karena
suatu pukulan ta-ngan. Coba periksa tubuhnya!" Sangaji meraba dada mereka.
Semuanya sudah dingin kaku. Terang, mereka sudah lama mati. Coba ia menarik
tangan Titisari sambil berkata, "Kita menyekap diri hampir satu malam satu
hari. Agaknya telah terjadi sesuatu yang luar biasa." Mereka meneruskan
perjalanan dengan ce-pat. Pohon-pohon seperti melayang balik. Se-telah
melintasi belokan, Sangaji melihat tujuh orang tergantung pada sebatang
pohon gundul. Setelah diamat-amati, ternyata laskar kerajaan. Dengan
demikian timbullah suatu dugaan lain, Titisari yang usilan segera
berteriak: "Inilah perbuatan laskar Bumi Gede! Jika demikian, siang tadi
telah terjadi suatu pertempuran di sini." "Apakah guru terlibat dalam
pertempuran ini?" Sangaji minta pertimbangan. Meskipun sudah bertanya,
namun karena mengkhawatirkan keselamatan gurunya ia tak menunggu jawaban
Titisari. la lari lagi sambil berlompat-lompatan. Kecepatannya sudah tak
terlukiskan lagi. Mahkota-mahkota pohon-po-honan seperti dilintasi dengan
mudah. Dengan demikian benarlah ramalan orang, bahwasanya barang siapa
dapat memiliki pusaka Bende Mataram dan Kyai Tunggulmanik akan bisa terbang
melintasi puncak-puncak pohon. Soalnya tenaga pantulannya luar biasa kuat,
sehingga loncatan kaki bagai loncatan seekor katak membawa berat tubuhnya.
Sepanjang jalan ia melihat mayat-mayat bergelimpangan. Sebagian besar
terdiri laskar-laskar Pangeran Bumi Gede. Tatkala hendak melewati belokan,
mendadak saja pendengaran Sangaji yang luar biasa tajam mendengar suara
orang tertawa Gagak Seta yang diselingi dengan makian nyaring: "Kebo edan!
Kau jangan usilan. Di sini masih ada aku!" Cepat ia lari mengarah ke suara
itu yang datangnya dari balik gundukan. Mendadak saja sebuah penggada
menyambut kedatang-annya dengan dibarengi bentakan: "Berhenti! Siapa?"
Sangaji tak menggubris. Tanpa menghenti-kan langkah ia membalikkan tangan
dan mengibas ke belakang. Maka terdengarlah suara jeritan ngeri dengan
disusul suara bergedebrukan. Sangaji tercengang. Ia berhenti berbareng
menoleh, la melihat seorang berpakaian gerombongan menggeletak di tanah
sambil menekap pundaknya. Ternyata penggada tadi terpental balik dan
tertancap di pundak orang itu, setelah kena kibasan tangan Sangaji. Keruan
saja, Sangaji menjadi tertegun-tegun. Tadi, tiada tahu maksudnya hendak
mencelakai orang, la hanya mengibas sekedar menangkis atau memencengkan
arah bidikan. Tak tahunya, tenaganya kini luar biasa kuat. Begitu tangannya
bergerak, penggada itu terpental balik dengan kecepatan luar biasa.
Cepat-cepat Sangaji menghampiri orang itu. Ternyata dia adalah Yuyu Rumpung
pendekar Banyumas penasihat sang Dewaresi yang dahulu merupakan momok
baginya. Gugup ia berkata, "Aku kesalahan melukaimu. Benar-benar tak
kusengaja. Aku sangat menyesal...." Terus ia mengulurkan tangan hendak
menolong mencabut penggada itu. Dengan Yuyu Rumpung, sesungguhnya Sangaji
tiada mempunyai dendam kesumat. Pendekar itu, dahulu merupakan momok besar
baginya. Tapi setelah memperoleh ilmu sakti Kumayan Jati ia tak perlu takut
lagi. Apalagi kini, ia sudah mewarisi ilmu sakti Bende Mataram. Lantas
timbullah anggapannya, bahwa orang semacam Yuyu Rumpung adalah bagai seekor
kelinci yang membutuhkan perlindungannya. Sekelumit dendam untuk menuntut
balas sama sekali tiada padanya. Pernyataan rasa sesalnya ter-bersit dari
hati nuraninya yang bersih. Sebaliknya betapa Yuyu Rumpung dapat mengerti
keadaan hati Sangaji. Begitu melihat Sangaji walaupun merasa jeri setelah
menyaksikan kemajuan bocah itu tatkala melawan Pringgasakti lantas saja
wajahnya menyeringai. Matanya melotot dan seluruh tubuhnya menggigil karena
marah. Sama sekali tak terduga ia mengerahkan segenap tenaganya. Kemudian
menghantam perut Sangaji yang sedang membungkuk hendak mencabut peng-gada
yang tertancap di pundaknya. Bluk! Karena jaraknya sangat dekat, lagi pula
sama sekali tak menduga buruk, Sangaji kena terhantam perutnya tanpa bisa
mengelak sedikitpun juga. la kaget. Berbareng dengan itu terdengarlah jerit
Yuyu Rumpung setinggi langit. Ternyata ia terpental tinggi di udara dan
punggungnya terbanting pada suatu pohon. Kakinya patah dan darah segar
menyembur dari mulutnya. Kiranya ilmu trisakti yang sudah bisa
mem-persatukan ilmu trisakti Sangaji bekerja secara otomatis, apabila
bertemu dengan tenaga dorong dari luar. Pada detik itu, terus bekerja
mengadakan perlawanan. Tentu saja "meskipun Yuyu Rumpung bukanlah seorang
pendekar murahan "ia tak tahan kena gempurannya Sebaliknya Sangaji merasa
tak enak hatinya melihat Yuyu Rumpung terluka parah.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar