@bende mataram@
Bagian 312
Ia tak merasakan suatu perubahan dalam dirinya. Sebaliknya apa sebab
Sangaji tidak demikian? Dalam hal ini sesungguhnya ada bedanya. Titisari
hanya menghafal dengan otak. Sedangkan Sangaji yang berotak bebal, lebih
menggunakan perasaannya. Karena menggunakan rasa, darahnya jadi bergolak.
Timbunan tenaga yang tersimpan dalam tubuhnya berputar-putar dan melanda
tiada henti bagaikan gunung berguguran. "Aji! Kemarin tubuhmu terguncang
pula sewaktu menekuni ukir-ukiran keris," kata Titisari sambil
mengerenyitkan kening. "Cobalah tekuni lagi. Kukira, ukiran keris ini
adalah suatu rahasia ilmu kepandaian yang tinggi luar biasa. Aku yakin,
mungkin pula merupakan sumber utama dari semua ilmu serba sakti dalam dunia
ini." Sangaji tertawa. Sewaktu hendak membuka mulut, Titisari berkata lagi,
"kenapa tertawa? Bukankah engkau berkata, bahwa barangsia-pa memiliki keris
ini akan menjadi orang luar biasa? Otaknya lantas jadi cerdas.
Gerak-geriknya gesit dan tak terkalahkan. Apalagi kalau bukan ilmu sakti.
Apakah engkau percaya, keris ini memiliki tenaga ajaib? Sekiranya begitu,
tidaklah nanti gurumu kena aniaya orang." Diingatkan kepada gurunya, hati
Sangaji tergetar. Tak terasa ia membuang muka ke bawah. Untuk herannya, ia
tak melihat seorangpun dalam benteng. "Hai! Ke mana mereka?" ia berseru
heran. Titisari melemparkan pandang ke bawah. Sebentar ia tercengang pula.
Kemudian ber-kata tegas, "Itulah kebetulan. Mereka adalah orang-orang
dewasa. Pengalamannya jauh lebih banyak daripada kita. Pastilah mereka bisa
menempatkan diri dalam setiap per-soalan. Kalau kau mau mendengarkan
perkataanku. Cobalah tekuni guratan keris itu—mumpung kita mempunyai
waktu." Sangaji berbimbang-bimbang. Tapi pandang mata Titisari luar biasa
tajam. Seperti tersihir, ia menundukkan kepala dan mulai menekuni
ukir-ukiran keris Kyai Tunggulmanik. SEPERTI TATKALA MENGIKUTI NADA SISI
GAGAK SETA DAN KEBO BANGAH ia mulai berlatih. Dan hasilnya sungguh
mengheran-kan. Dalam sekejap saja, ia sudah memahami. Demikianlah, ia terus
maju segurat demi segu-rat. Dalam tubuhnya lantas saja terjadi suatu
pergolakan hebat. Mula-mula panas, kemudian dingin dan akhirnya berat.
Warna wajahnya berubah pula. Dari putih menjadi pengap. Kemudian berubah
menjadi hitam, kuning, ungu dan hijau. Akhirnya berubah-ubah sampai dua
belas warna. Meskipun Titisari dapat menebak delapan bagian terjadinya
peristiwa itu, namun hatinya takut juga. Setelah melihat semangat
kekasihnya tetap perkasa dan bertenaga penuh sinar matanya tajam, ia
percaya tiada halangannya, la segera mengeluarkan sapu tangan hendak
mengusap keringat Sangaji yang membasahi leher dan jidatnya. Tetapi baru
saja sapu tangannya menyentuh keningnya, mendadak saja tangannya tergetar
seperti kena aliran listrik, la mencoba lagi dan tangannya terpental balik
sampai tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh tersungkur. Melihat Titisari
mundur terhuyung. Sangaji jadi heran bercampur bingung. Ia tak tahu mengapa
terjadi demikian. Dengan agak gemetar ia mengusap keringatnya sendiri
sambil mencoba menebak-nebak. Sesungguhnya, guratan yang terukir pada keris
Kyai Tunggulmanik adalah semacam ilmu sakti yang berpokok pada pengungkapan
tenaga jasmani seseorang. Seperti diketahui, setiap orang memiliki tenaga
tersembunyi yang sangat besar. Soal-nya tidaklah setiap orang mengeluarkan.
Misalnya, seseorang yang tiada bertenaga, tiba-tiba bisa meloncati dinding
pagar setinggi dua meter sewaktu menghadapi bahaya yang mengejutkan.
Seseorang yang lumpuh ber-tahun-tahun tiba-tiba sembuh tatkala melihat
sesuatu hal yang mengharukan dan meng-goncangkan perbendaharaan hatinya.
Apa yang menyebabkan demikian? Begini, manusia ini sesungguhnya terdiri
dari empat unsur. Yang pertama, badan kasar (wadah). Kedua, badan jasmani.
Ketiga, badan rokhani. Dan yang keempat: roh suci. Masing-masing memiliki
anasir badan yang berbeda. Badan dari badan kasar adalah sarwa
tumbuh-tum-buhan (sarinya tetanaman) yang berasal dari bumi. Kegiatannya
disebut: pancadria. Bahkan badan jasmani dari anasir air, bumi dan api.
Kegiatannya (baca: sifatnya) disebut: budi pekerti. Inilah yang membuat
manusia mempunyai sir) cipta—rasa—karsa dan budi. Bahan badan rokhani lain
pula. Berasal dari sari-sarinya rasa. Kegiatannya di sebut, angan-angan.
Kemudian yang tertinggi ialah, roh suci. Artinya, rasa belum tersentuh,
(murni). Karena bahan asalnya berbeda, maka ke-giatannya (sifatnya
kodratnya) berbeda-beda pula. Inilah yang menyebabkan senantiasa timbul
suatu pertentangan seru dalam tiap dada manusia. Sebaliknya apabila
angan—budi—pekerti dan pancadriya suatu kali bisa bersatu
(manunggal—seia-sekata) kekuatannya luar biasa. Seorang pujangga
mengumpamakan bagaikan gugurnya gunung. Tentu saja besar kecilnya tenaga
itu, tergantung pada tinggi rendahnya tenaga timbunan seseorang. Hal itu
sudah lama diketahui orang. Soalnya, sampai kini masih merupakan teka-teki
besar untuk mempersatukan ketiga unsur tenaga kodrat manusia. Apabila
benar-benar bisa menjadi satu, maka manusia itu sudah berhak menyebut diri
mencapai tri murti. Dan suatu kali apabila tataran jiwanya menghendaki
kesempurnaan, maka dengan mudah ia akan bisa bersatu dengan roh suci.
Tetapi sejarah manusia belum pernah bisa menceritakan tentang seseorang
yang sudah bisa bersatu dengan roh suci (baca hidup) seperti yang
diidam-idamkan oleh manusia itu sendiri, (manusia yang sudah sadar).
Sangaji memiliki tenaga sakti yang tertim-bun dalam dirinya, berkat
bersatunya getah sakti Dewadaru, ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu sakti
Bayu Sejati. Hebatnya tak terkata-kan. Karena itu andaikata seseorang
secara kebetulan bisa menekuni ilmu warisan sakti yang tertera pada keris
Kyai Tunggulmanik, hasilnya tidaklah seperti yang diperoleh oleh Sangaji.
Itulah sebabnya pula, keadaan diri Titisari tidaklah sehebat yang terjadi
dalam tubuh Sangaji. Waktu itu Sangaji telah melanjutkan pene-kunannya pada
tingkatan kelompok ukiran yang ketiga belas. Warna wajahnya kini
berubah-ubah cepat dari ungu ke hijau. Kadang hitam, merah, putih, kuning,
biru dan coklat. Pada saat wajahnya menyinarkan cahaya tua, tubuhnya
menggigil hebat seperti seorang terjepit dalam kerangkengan es. Sebaliknya
apabila warna wajahnya menyinarkan cahaya ringan, keringatnya membersit
bagai embun. Inilah suatu kejadian yang jarang terjadi dalam percaturan
manusia. Karena peristiwa itu menyatakan bahwa Sangaji kini sudah bisa
menggabungkan antara hawa dingin dan panas, keras dan lemas, kosong berisi.
Tetapi di samping itu, sesungguhnya Sangaji teran-cam suatu bahaya besar.
Apabila sedikit ter-campur suatu nafsu (pergolakan budi pekerti) tubuhnya
bisa pecah dan tulang-belulang hancur berentakan. Seperti diketahui, tenaga
sakti Sangaji yang tersekam dalam dirinya boleh dikatakan tiada
bandingannya, setelah berhasil menjadi satu berkat pukulan Bagas Wilatika.
Hanya saja dia belum memperoleh suatu ilmu atau suatu petunjuk yang tepat
untuk menyalurkan tena-ga sakti tersebut. Tunggulmanik, merupakan suatu
terusan yang tepat dan kokoh. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa
tenaga sakti yang ter-timbun dalam dirinya bagaikan bendungan air yang
mendadak sontak memperoleh jalan keluar. Pergolakannya tak terkatakan lagi.
Seumpama Sangaji tiada mempunyai keseim-bangan, la seperti kanak-kanak
memutar martil dengan cepat dan akhirnya memukul dirinya sendiri.
Keseimbangan itu ialah, tiadanya nafsu (kosong dari karsa). Sangaji
menekuni guratan ilmu sakti terse-but bukanlah terdorong oleh suatu angan
atau cita-cita hendak merajai dunia. Dia hanya terdorong oleh kehendak
Titisari belaka. Inilah yang menolong jiwanya. Sebaliknya apabila seseorang
menekuni ilmu sakti tersebut karena ingin menjagoi jagat atau karena dendam
kesumat hendak membalas, maka ia akan hancur berantakan sebelum berhasil.
Di kemudian hari tahulah Sangaji, mengapa mereka yang saling berebut hendak
memiliki pusaka Bende Mataram mati karena terlanggar nafsunya sendiri.
Kunci utama untuk bisa membaca guratan ilmu sakti tersebut adalah darah.
Memegang keris berarti bersentuhan dengan denyut darah. Makin hebat dia
bernafsu, makin peka pantangan itu. Dengan demikian, jelaslah sudah mengapa
Sangaji berhasil mewarisi ilmu sakti tersebut. Bukan karena dia lebih hebat
dari para ksatria yang saling berebut, tetapi semata-mata karena tiada
nafsu (baca ambisi) hendak memiliki suatu kelebihan setelah menekuni
guratan keris Kyai Tunggulmanik. Beberapa saat kemudian, semua cahaya yang
timbul pada wajahnya berangsur-angsur menjadi pudar. Dalam diri Sangaji
timbul semangat dan tenaga hebat yang dapat diatur sekehendaknya. Dia bisa
mengerahkan tenaga cepat dan berbareng menarik menurut ke-inginannya.
Malahan seluruh ruas tulang tubuhnya terasa nyaman dan nikmat luar biasa.
Seperti orang berjalan di suatu lapangan yang nyaman ia melanjutkan
menekuni ke-lompok ukiran keempat belas yang merupakan guratan terakhir.
Pada wajahnya tiada lagi terjadi suatu perubahan. Kecuali bertambah menjadi
terang segar dan berseri-seri. Matanya bersinar tajam bening pula dan
agung. Waktu telah tamat, Sangaji berhenti sejenak. Kemudian mengulangi
mulai yang pertama. Keadaannya tetap wajar seperti tak pernah terjadi
sesuatu. Setelah selesai, mendadak saja ia bangkit dan mencium keris pusaka
itu berulang kali sambil berlutut. Kemudian berkata penuh perasaan. "Aku
Sangaji dengan ini perkenankan menghaturkan rasa terima kasih tak
terhingga. Secara kebetulan aku melihat dan menekuni ilmu warisanmu. Bukan
terdorong oleh nafsu hendak mewarisi ilmumu,... tetapi... karena
semata-mata hendak menyenangkan hati kekasihku. Tapi betapa pun juga aku
sudah mereguk ilmu saktimu. Aku berjanji akan menggunakan ilmu sakti
warisanmu untuk kebajikan sesama hidup. Pimpinlah aku dan tunjukkan kepada
suatu cita-cita yang suci bersih, sehingga aku kelak takkan mencemarkan
nama besarmu."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar