@bende mataram@
Bagian 311
Sebentar kalau aku bertempur, janganlah kalian turut campur." "... kau
bilang apa?" Ki Hajar Karangpandan bingung. Jaga Saradenta tertawa
perlahan. Ia meludah ke tanah, kemudian menjawab, "Sebentar kalian akan
melihat sendiri. Apa perlu minta keteranganku segala?" Mereka yang
mendengar ujar Jaga Sara-denta jadi sibuk menebak-nebak. Terhadap Sanjaya,
Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru tidak begitu yakin. Ki Hajar
Karangpandanpun sebenarnya demikian. Hanya saja, sebagai guru ia
mengharapkan muridnya menjadi seorang kesatria yang lurus hati. Karuan saja
begitu mendengar ucapan Jaga Saradenta ia jadi perasa. Sedangkan Panembahan
Tirtomoya dan Ki Tunjungbiru sudah dapat menebak delapan bagian. "Kau
bilang, sebentar akan bertempur. Kau hendak bertempur dengan siapa?" Ki
Hajar Karangpandan minta keterangan. "Muridmu memang hebat!" Jaga Saradenta
mengejek. "Sebentar lagi dia bakal dengan Pringgasakti. Ke mana kepala
Pangeran Bumi Gede disembunyikan, hanya iblis yang tahu." "Bagaimana kau
tahu?" "Aku sudah bertempur melawan jahanam itu!" "Dan kau lari ngacir?"
"Bukannya aku lari. Aku sengaja hendak bertempur di depan hidungmu. Kalau
iblis itu sampai bisa memampuskan aku, bukankah hatimu jadi puas?" Jaga
Saradenta menyahut cepat. Hatinya panas seperti terbakar. Waktu itu Sangaji
sudah memperoleh kesegarannya kembali, setelah mengisi perut. Kesehatannya
sudah pulih kembali. Luka dalamnya sudah sembuh. Tinggal beristirahat satu
malam itu saja. Ternyata dia hanya mem-butuhkan waktu lima hari. Hanya
saja, dia harus menolong memulihkan tenaga Titisari yang tersedot. Kalau
tiada halangan, dalam waktu dua hari saja pulihlah seperti sediakala.
Dengan demikian, benarlah perhitungan Gagak Seta, bahwa mereka berdua harus
menyekap diri selama tujuh hari tujuh malam. Pembicaraan antara Jaga
Saradenta dan Ki Hajar Karangpandan didengarnya belaka. Ia kenal tenaga
sakti Pringgasakti. Kalau sampai bertempur seorang melawan seorang Jaga
Saradenta bukan tandingnya. Sebaliknya ia kenal pula watak gurunya yang
keras kepala dan mau menang sendiri. Itulah sebabnya ia jadi gelisah. Tak
terasa ia menoleh kepada Titisari. Gadis itu tiba-tiba menggigil. Dengan
lunglai ia jatuh di atas pangkuannya. Tahulah dia, bahwa Titisari sudah
kehabisan tenaga benar-benar. Inilah saat-saat yang dikhawatirkan Gagak
Seta. Seseorang yang kehilangan tenaga jasmaninya demikian banyak akan
berada dalam jurang maut. Nyawanya seumpama pelita yang nyaris kehabisan
minyak. "Titisari! Kau jangan khawatir! Aku berada di sampingmu," bisik
Sangaji gugup. "Kau mau apa?" Titisari menyahut lemah. "Tenagaku sudah
pulih kembali. Rasanya aku mampu menolongmu." Sepercik sinar menyala dalam
mata Titisari. Hatinya girang bukan kepalang mendengar berita itu. Dengan
demikian tak sia-sialah pengorbanannya. Hanya saja ia masih sangsi. Waktu
itu dia berpikir, Pringgasakti akan datang ke mari. Betapa Jaga Saradenta
mau mengerti. Kalau sampai bertempur meskipun Jaga Saradenta memiliki jiwa
rangkap lima masakan mampu menandingi... Dan ia sadar akan arti peristiwa
ini. Sangaji mungkin bisa mengendalikan diri, karena harus menolong
memulihkan tenaganya. Tetapi hatinya pasti bergolak hebat. Apalagi kalau
sampai gurunya mati di depan hidungnya. Inilah hebat. Pergolakan hatinya
akan menggerakkan tenaga jasmaninya. Kalau sampai terbendung, bukankah akan
merusak kesehatannya kembali yang belum begitu segar bugar? Memikir
demikian ia jadi gelisah. Lantas saja ia berkata, "Aji! Biarlah aku begini.
Tak usahlah kau memikirkan aku." "Hai! Kau bilang apa?" Sangaji terkejut.
Dan rasa kehormatannya tersinggung sekaligus. "Kalau kau sampai tak
tertolong... bu... bukankah engkau akan... ma... ma..." "Mati untukmu
adalah bahagia. Kau peryaya tidak?" potong Titisari. "Kau jangan berkata
yang bukan-bukan!" Titisari tersenyum. Sejenak kemudian berkata, "Baiklah.
Tapi kau harus berjanji dan bersumpah." "Kau menghendaki apa? Bilanglah!
Meskipun aku kau suruh memasuki lautan api... akan kulakukan demi..." "Tak
usah berbuat demikian," potong Titisari lagi. "Kau hanya kusuruh bersumpah:
jangan memedulikan segala. Pendek kata apa pun yang bakal terjadi kau tak
boleh bergerak dan tak boleh memedulikan. Sekali kurasa getaran jalan
darahmu, aku akan menarik tanganku." Mendengar ujar Titisari, tubuh Sangaji
menggigil. Ia tahu apa artinya, kalau tangan Titisari sampai terlepas dari
genggamannya. Hal itu berarti, bahwa nyawa Titisari akan terenggut
sekaligus. Secara tak langsung, dialah yang merenggut nyawanya. Tak
disadari sendiri ia meruntuhkan pandang ke bawah sana. Ia melihat betapa
gurunya masih saja berdiri uring-uringan. Waktu Panembahan Tirtomoyo
mencoba meredakan pergolakan hatinya dengan memperkenalkannya kepada Bagus
Kempong dan Suryaningrat sebagai saudara seperguruan Wirapati, ia hanya
mengangguk. Berkata meledak, "Aku sudah menjenguk rekan Wirapati. Aku
bertemu pula dengan gurumu. Sebentar lagi aku akan bertempur melawan iblis
Pringgasakti. Meskipun dahulu, gurumu pernah bertempur pula dengan iblis
itu tapi kali ini tiada sangkut-pautnya. Berdirilah kalian di pinggir
gelanggang. Ini adalah urusan balas dendam! Hanya saja kalau tubuhku hancur
lebur di sini dan kalian bisa bertemu dengan muridku, sampaikan pesanku
ini, bahwasanya aku merasa bangga dan berbesar hati terhadapnya. Aku jauh
lebih beruntung dari pada Ki Hajar Karangpandan yang mempunyai murid
seorang Pangeran." Perkataan itu mempunyai dua tujuan. Yang pertama,
terbersit dari hatinya yang suci bersih, karena terdorong oleh rasa rindu
kepa-da muridnya. Yang kedua, menikam Ki Hajar Karangpandan dengan tak
langsung. Baik Sangaji maupun Ki Hajar Karangpandan tergetar hatinya
mendengar ucapan Jaga Saradenta. Hanya saja, kesannya berlainan. Hatinya
Sangaji jadi terharu. Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan benar-benar tertikam
ulu hatinya. Dasar wataknya angin-anginan dan berwatak ksatria terus saja
ia melompat menghampiri Jaga Saradenta sambil berkata. "Kita pernah
bertempur melawan iblis itu. Masakan kali ini aku akan menjadi penonton
belaka? Aku tahu, kau tak sudi memperoleh bantuanku. Tapi akupun tak sudi
membantumu nanti. Kalau aku bertempur aku mempunyai alasanku sendiri." "Aku
takut bakal ditertawakan orang?" "Tidak! Tapi karena iblis itu merenggut
anak sahabatku. Dia memungut seorang murid tanpa memberitahukanku. Bukankah
hal itu berarti tak memandang mata padaku?" Dalam pada itu hati Sangaji
jadi gelisah. Selama Jaga Saradenta menurunkan ilmu-ilmu kepandaiannya, tak
pernah orang tua itu memperhatikan sikap manis kepadanya. Mendadak saja
kali ini bersikap luar biasa terhadapnya. Ternyata guru yang sok
uring-uringan itu, begitu besar rasa cinta kasihnya kepadanya. Hati siapa
takkan terharu. "Temuilah dia! Jangan pedulikan aku!" bisik Titisari.
Pemuda itu terkejut. Gugup ia berkata, "Aku tak bisa meninggalkan engkau."
"Kau mau berjanji tidak dengan syarat-syarat yang kukemukakan tadi?"
Sangaji menghela napas. Sejenak kemudian memutuskan, "Nyawaku berada dalam
genggamanmu. Coba sekiranya kau tak sudi berkorban-bukankah aku sudah
mati?" Titisari tertawa kecil. Menyahut pedih, "kau benar-benar tolol.
Siapa kesudian berdagang untung rugi denganmu. Aku bekerja bukan untuk
siapa saja. Aku bekerja untukku semata. Karena aku cinta padamu... aku
bekerja... Inilah pengucapan hatiku. Betapa mungkin aku menggenggam
nyawamu?" Bukan main terharunya pemuda itu. Dasar ia tak pandai berbicara,
mulutnya terasa kian mengunci rapat. Dengan menundukkan kepala ia berkata
penuh perasaan. "Baiklah... akupun akan bekerja pula untuk kepenting-anku
sendiri." Setelah berkata demikian, terus saja ia merobek lengan bajunya.
Kedua telinganya kemudian disumpal rapat-rapat. Titisari tak menyanggahnya.
Ia bahkan tersenyum manis. Katanya perlahan penuh perasaan, "Kesehatanmu
telah pulih. Meskipun belum seperti sedia kala, tetapi tenaga jasmanimu
melebihi raksasa." "Kau berkata apa?" Sangaji mendekatkan telinganya.
Barulah Titisari sadar, bahwa telinga keka-sihnya telah tersumpal. Maka ia
tersenyum sambil memanggut. Katanya, "Sekarang kita mulai." Meskipun tiada
terang, tapi Sangaji menduga ucapannya. Lantas saja ia bekerja. Hasilnya
sungguh mengherankan. Suatu tenaga luar biasa bergolak hebat dalam dirinya
tiada hentinya. Tangannya sampai terguncang-guncang. Karena itu, ia
mengkha-watirkan keadaan Titisari. Tapi tatkala hendak minta keterangannya,
wajah Titisari nampak tenang-tenang saja. Dengan demikian, rasa khawatirnya
tiada beralasan lagi. Keesokan harinya semuanya telah kembali seperti
sediakala. Sangaji telah memperoleh tenaganya kembali. Titisari pun
demikian. Lukanya sembuh dengan ajaib. Bahkan berkat tenaga murni Sangaji,
tenaga jasmaninya bertambah dua kali lipat. Jika dibandingkan dengan tenaga
jasmani sang Dewaresi tidak usah kalah. Terus saja teringatlah dia kepada
guratan keris Kyai Tunggulmanik. Segera ia menekuni dan memahami. Dasar
otaknya encer, sebentar saja semua guratan keris Kyai Tunggulmanik sudah
berpindah ke dalam benaknya. Dan sewaktu Sangaji lagi sibuk mempelajari
rahasia guratan keris Kyai Tunggulmanik, dia sudah memindahkan corat-coret
Bende Mataram ke dalam ingatannya. Otak Sangaji tidaklah seencer ingatan
Titisari. Meskipun demikian, dia bukanlah seorang pemuda yang tolol.
Apabila tolol, tidak-lah mungkin ia sanggup menerima ajaran Wirapati, Jaga
Saradenta, Ki Tunjungbiru, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi. Kira-kira
menjelang tengah hari, mendadak saja terjadilah suatu perubahan hebat pada
wajahnya. Titisari terkejut bukan main. Gugup ia bertanya, "Aji! Kau
kenapa?" Waktu itu, Sangaji tidak lagi menyumpali telinganya seperti
semalam—sehingga dengan demikian ia mendengar pertanyaan Titisari yang
berkesan gugup. Cepat ia menjawab, dengan kepala berteka-teki. "Kenapa?"
"Mukamu berubah menjadi merah. Kau baik-baik saja bukan?" "Aku... aku
merasa sehat. Hanya sedikit ter-guncang." Titisari heran. Tadi ia telah
memahami semua guratan keris Kyai Tunggulmanik.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar