12.01.2019

@bende mataram@ Bagian 296

@bende mataram@
Bagian 296


la melirik kepada Sangaji. Pemuda itu tiada menaruh perhatian terhadap
mereka. Ia lagi tenggelam dalam semadinya. Karena itu, tak berani ia
mengganggu. Ia mengarahkan matanya ke bawah lagi. Tiba-tiba ia hampir
berteriak terkejut. "Celaka!" Fatimah membabat kepala Surapati dari atas.
Tetapi Surapati bisa mengelak dengan cepat, sehingga senjata Fatimah
kehilangan sasaran. Dan belum lagi gadis itu berhasil menarik lengannya,
Surapati telah membalas menyerang dengan memukul sikunya. Tak ampun lagi,
senjatanya jatuh bergelontangan di atas tanah. "Kau tahu sekarang, betapa
hebat ilmu warisan Ki Hajar Karangpandan?" seru Surapati dengan takabur.
Kemudian ia menyabetkan pedangnya sambil berteriak nyaring. "Awas!" Fatimah
melihat bahaya mengancam. Ia mengendapkan diri sambil meloncat mundur. Dan
pada saat itu, cundrik Gusti Ayu Retna-ningsih menangkis dari samping.
"Bagus! Kau mempunyai tenaga juga!" kata Surapati sambil tertawa, la tahu,
gadis itu kalah tenaga daripadanya. Tatkala pedangnya kena sampok, tangan
gadis bangsawan itu ter-getar miring. "Surapati, maafkan!" sahut Gusti Ayu
Retnaningsih. "...mungkin kau bisa menawan aku. Tetapi kau berkata bisa
mengalahkan kakakku seperguan Sangaji? Itulah suatu obrolan yang
menyakitkan hati." "Hm—apa sih kehebatan murid Wirapati itu? Di Jakarta dia
pernah kurobohkan dalam tujuh gebrakan." "Jika demikian, kau hebat! Tapi,
kukira melawan kekasihnya saja kau tak mampu." "Siapa dia?" "Dia bernama
Titisari. Puteri Adipati Karimun Jawa, Surengpati." "Cuh!" Surapati meludah
ke tanah. "Jangan kau kira hatiku mengkeret kau gertak dengan nama
Surengpati. Apa sih hebatnya bangsat Surengpati? Coba, suruhlah dia ke
mari. Ingin kulihat tampangnya!" Panas hati Gusti Ayu Retnaningsih
mende-ngar suara Surapati. Dan Fatimah yang bera-dat aseran, terus saja
memungut goloknya dan membabat kakinya. "Jahanam! Mulutmu memang mulut
babi!" bentaknya. Surapati terkejut diserang dengan men-dadak. Untung dia
gesit. Melihat berkelebatnya golok Fatimah, cepat ia menjejak tanah dan
meloncat berjungkir balik. Dengan demikian barulah dia selamat dari tebasan
golok. Sekarang ketiga-tiganya sudah saling mengumpat. Hati merekapun sudah
panas pula. Karena itu mereka kini bertempur dengan sungguh-sungguh.
Titisari yang berada di ruang atas, geli hatinya menyaksikan sepak-terjang
mereka, la merasa lucu. Tadi mereka bersatu-padu melawan Cocak Hijau.
Tiba-tiba kini, dari teman menjadi lawan dan saling menikam. Bagaimana
kesudahannya nanti, hanya iblis yang tahu. Tatkala itu, terdengarlah suara
langkah. Kemudian muncullah rombongan Manyarsewu dan Yuyu Rumpung yang tadi
lari berserabutan meninggalkan benteng dengan diikuti Pangeran Bumi Gede
dan Sanjaya. Di luar benteng, mereka membiarkan Cocak Hijau memasuki
benteng kembali untuk membuat penyelidikan. Setelah ditunggu sekian lama,
ternyata Cocak Hijau tiada kabarnya, Manyarsewu jadi berkhawatir. Segera ia
mengajak kawan-kawannya menyusul rekannya. Hati-hati mereka mendekati
benteng dan mengintip dari celah dinding. Mereka melihat Surapati, Fatimah
dan Gusti Ayu Retnaningsih sedang bertempur dengan serunya. Inilah aneh!
pikir Manyarsewu. Dengan membesarkan hati ia memasuki benteng seorang diri.
Tak urung kawan-kawannya ikut pula. Demikianlah, maka mereka masuk ben-teng
hampir berbarengan. Surapati, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih terkejut
melihat datangnya mereka. Dengan sendirinya, mereka bertiga berhenti
berkelahi. Seperti berjanji, mereka melompat mundur. Tetapi belum lagi
mereka mundur beberapa langkah, Manyarsewu telah menyambar dengan kecepatan
luar biasa. Sedangkan Yuyu Rumpung dan pendekar-pendekar lainnya dengan
serentak menolong Cocak Hijau yang terikat erat seperti seekor itik. Dengan
tertatih-tatih, Cocak Hijau segera berdiri. Napasnya sesak, karena mulut,
telinga dan hidungnya disumbat demikian rupa. Setelah ia terbebas, terus
saja ia menyerang Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih dengan berbareng.
Pendekar itu mendongkol hatinya, karena ia kena telikung. Mukanya sampai
merah membara. Karena itu serangannya hebat luar biasa. Melihat serangan
itu, Fatimah meloncat menghindari. Manyarsewu yang sedang me-rabu Surapati,
buru-buru mencegah. "Tahan! Kita tangkap saja mereka hidup-hidup. Biarlah
mereka berbicara!" Cocak Hijau tak mendengar seruan rekan-nya, karena
telinganya masih tersumbat. Dengan mata menyala-nyala ia mengejar Fatimah
yang lari berputaran, sedangkan Gusti Ayu Retnaningsih mencoba merintangi
dari samping. Karena merasa kena rintangan Gusti Ayu Retnaningsih, Cocak
Hijau mengalihkan murkanya kepada gadis bangsawan ini. Tanpa segan-segan
lagi, tangannya terus menyambar pergelangan Gusti Ayu Retnaningsih dan
diputar ke belakang punggung. Tak ampun lagi, Gusti Ayu Retnaningsih habis
tenaganya, la mati kutu. "Kau bilanglah, aku tak becus mencekuk tampangmu!"
damprat Cocak Hijau. Pada saat itu Fatimah berada di luar garis. Melihat
Gusti Ayu Retnaningsih dalam bahaya, tanpa peduli keselamatan diri terus
melompat menyerang. Manyarsewu yang sudah berhasil merobohkan Surapati
buru-buru menghadang dan memotong serangan itu. Dengan gampang ia dapat
menyambar pergelangan tangan Fatimah dan diterkam kencang-kencang.
"Bedebah!" makinya galak. "Hayo bilang! Siapa yang menjadi hantu?" Baru
saja Manyarsewu menutup mulutnya, tiba-tiba terdengar daun pintu
berkerenyit. Sekalian yang berada di dalam benteng menoleh. Tetapi mereka
tak melihat sesuatu. Mau tak mau hati mereka kebat-kebit juga. Fatimah
cerdik. Saat itu dipergunakannya dengan baik. Dengan mengerahkan tenaga, ia
berhasil merenggutkan diri dari terkaman Manyarsewu yang agak kendor karena
terpe-ngaruh suara gerit daun pintu. Kemudian melompat mundur dan
berlindung di belakang tiang. "Hai iblis! Kau mau lari ke mana?" Mendadak
saja Cocak Hijau itu menggerung. Dalam hatinya memang dia amat mendongkol
terhadap gadis itu. Sedangkan terhadap Gusti Ayu Retnaningsih sebenarnya
jatuh nomor dua. Itulah sebabnya, tanpa memedulikan Gusti Ayu Retnaningsih
lagi, lantas saja ia melompat mengejar. Fatimah tahu, ia bukan lawan Cocak
Hijau. Namun hatinya tak gentar. Dengan mengi-baskan tangan, ia memukul
balik serangan Cocak Hijau. Kemudian dengan pukulan aneh ia membalas
menggaplok pipi Cocak Hijau. Inilah jurus darurat ajaran Suryaningrat yang
dipetik dari ilmu Mayangga Seta. Tentu saja Cocak Hijau kaget bercampur
heran. Pipinyapun terasa nyeri. "Iblis! Kau berlagak tolol," ia memaki.
Lalu dia menyerang dengan dua tangan berbareng. "Ha ha ha... lihat!
Kepalanya gundul!" tiba-tiba Fatimah tertawa riuh sambil menuding Yuyu
Rumpung. Mau tak mau Cocak Hijau menoleh. Ia mengira terjadi suatu
peristiwa di luar pengamatan. Tatkala melihat gundul Yuyu Rumpung yang
licin polos bekas kena hajaran hantu semalam, ia kembali mengarah kepada
Fatimah. Tetapi tepat pada saat itu, kaki Fatimah melayang dan singgah di
paha kanannya. Meskipun tak sampai terjungkal, tak urung tubuhnya
tergoncang juga. "Benar-benar kau iblis keparat!" Kembali ia memaki untuk
kesekian kalinya. Dengan menggerung ia menerkam. Fatimah menang-kis, dengan
cepat. Ia berhasil menangkis, tetapi kalah tenaga. Tubuhnya berputar
ter-kisar dari tempatnya. Merasa akan meng-hadapi bahaya, cepat ia menjejak
tanah hen-dak mendaki tangga. Cocak Hijau adalah seorang pendekar bukan
sembarangan. Gerak-geriknya gesit dan sudah berpengalaman. Dengan tiba-tiba
saja, tubuhnya terbang dan menghadang tepat di bawah kaki tangga. Sikutnya
digerakkan, maka hidung Fatimah kena terbentur. Darah-nya lantas saja
mengucur. Dasar wataknya angin-anginan, tanpa berpikir panjang lagi ia
berteriak tinggi. "Anak Surengpati! Turunlah! Tolong! Tolong!" Titisari
terkejut mendengar seruannya. "Celaka! Kalau dia tidak kubunuh dahulu, bisa
membahayakan Sangaji." Buat Titisari, Sangaji adalah segala-galanya. Ontuk
kepentingan Sangaji, ia mau berkorban. Ontuk kepentingan Sangaji, ia berani
menempuh bahaya macam apa pun jua. Karena itu, tak peduli siapa saja yang
sekiranya akan merugikan kekasihnya, mau ia membunuhnya tanpa
mempertimbangkan segala akibatnya. Wataknyapun tak kurang anehnya daripada
Fatimah. Apa yang dipikirkan, lantas saja di-kerjakan. Segera ia menghunus
belatinya dan siap akan disambitkan dari celah dinding. Tetapi belum lagi
ia bergerak, sekonyong-konyong ia mendengar suara. "Hm..." Itulah suatu
suara yang dikenalnya semenjak kanak-kanak. "Ah! Ayah datang!" serunya
dalam hati. Dengan berdebar-debar ia mengintip dari celah dinding.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar