@bende mataram@
Bagian 286
GAGAK Seta segera meninggalkan benteng hendak mencari Adipati Surengpati.
Ia sadar akan bahaya. Tenaga jasmaniah Titisari terbatas. Kalau sampai
terhisap habis oleh daya sakti getah Dewadaru, biarpun dewa mampu
menolongnya. Sebaliknya Titisari berpikir lain. Meskipun sadar akan bahaya
tapi ia bersedia berkorban apa saja untuk pujaan hatinya. Setelah Gagak
Seta meninggalkan benteng, diapun segera membuat persiapan-persiapan, la
mencari buah-buahan dari desa ke desa untuk jangka waktu satu minggu
lamanya. Kala itu kebetulan sekali musim buah-buahan. Walaupun demikian,
tidaklah mudah ia memperolehnya. Karena desa-desa mendadak jadi sibuk. Dari
mulut ke mulut ia mendengar berita-berita pertempuran-pertempuran setempat
antara laskar Pangeran Bumi Gede dan laskar kerajaan. Laskar kerajaan
dipimpin olehPangeran Ontowiryo cucu Sri Sultan Ha-mengku Buwono II yang
berkedudukan di Tegalreja. Titisari pernah melihat pangeran itu, tapi
tidaklah begitu menaruh perhatian. Dalam hatinya, Sangaji adalah
satu-satunya orang yang memenuhi seluruh hidupnya. Persoalan-persoalan lain
di luar kepentingannya, hanya merupakan bumbu-bumbu sejenis masakan belaka.
Kira-kira menjelang sore hari, ia baru kem-bali ke bentengnya. Di halaman
depan ia menemukan bulu-bulu ayam berserakan. Hatinya jadi berdegupan.
Teringat akan dua ekor ayam Fatimah yang dilemparkan padanya, bulu romanya
meremang. Cepat ia menuju ke pintu tengah. Di ambang pintu ter-gantung
potongan-potongan ayam yang terebus baik-baik. Melihat pemandangan itu ia
bernapas lega, tahulah dia siapa lagi yang main gila selain Fatimah. Tetapi
sewaktu naik ke ruang atas dan melihat Sangaji, hampir saja ia terhuyung
pingsan. Sangaji nampak pucat kuyu. Napasnya lemah dan matanya terkatup
rapat. Gugup Titisari menghampiri. Ia mencoba membangunkan. Mamun Sangaji
tak berkutik. Inilah suatu pukulan hebat bagi gadis itu. Hatinya tergoncang
sampai ia terlongong-longong. Ia tak sadar tatkala seseorang datang
mendekati padanya. "SALAHMU SENDIRI, APA SEBAB SATU HARI PENUH tak kau beri
makan. Bukankah aku sudah menyumbang dua ekor ayam?" ter-dengar suatu
suara. Titisari menoleh kaget. Dialah Fatimah yang datang dengan diam-diam
dan ikut bercemas pula. Setelah berdiri tegak sejenak, ia lari turun ke
bawah dan kembali dengan membawa air dingin. Titisari tahu apa yang harus
dilakukan. Dikeluarkan sapu tanganya dengan cepat. Setelah dicelupkan, ia
mulai menyusut muka dan dada Sangaji yang penuh darah beku. Napas pemuda
itu menghembuskan hawa panas. Dan jantungnya berdegup lemah. Benar-benar
Titisari khawatir melihat keadaan Sangaji. Ia mencoba membisiki dan
membangunkan. Tapi untuk kesekian kalinya ia gagal. Fatimah yang berdiri di
belakangnya mengamat-amati sejenak. Mendadak ia lari turun kembali dan
datang membawa pengail. Heran Titisari, apa sebab gadis itu membawa-bawa
pengail. Belum lagi ia bisa menebak, Fatimah sudah menggebuk Sangaji tiga
kali berserabutan. "Hayo bangun! Kau jangan manja!" Sangaji tersentak
bangun. Titisari menjerit kaget. Sebaliknya Fatimah tertawa senang, karena
Sangaji kini memperoleh kesadaran-nya kembali. "Siapa? Siapa?" Sangaji
menggumam seperti bingung. Melihat keadaan Sangaji, hati Titisari iba bukan
main. Saat itu Fatimah masih saja tertawa senang. Titisari mendongkol dan
lantas saja menyamplok dengan geram. Samplokan itu datangnya tak
terduga-duga. Fatimah jatuh terjungkal. Tetapi gadis bandel itu tak merasa
dirinya bersalah. Terus saja ia bangun dan membalas menendang paha
Titisari. Kemudian meloncat mundur karena takut kena balas. Tetapi Titisari
tak membalas. Ia menangis sedih becampur cemas. Dan mendengar tangis
Titisari, Fatimah jadi ke-heran-heranan. Berjingkat-jingkat ia kembali dan
menjenguk dari belakang punggung. "Apakah punggungmu sakit kena
tendang-anku?" tanyanya penuh perasaan. Titisari tak menyahut. Ia memeluk
Sangaji dan mencoba menyadarkan. Perlahan-lahan Sangaji membuka matanya.
Dan begitu pandang matanya melihat wajah Titisari, ia tersenyum. Katanya
menghibur, "Aku mimpi bertemu dengan seorang berjubah hitam mengenakan
mahkota kencana. Apa-kah kedua pusaka itu masih melekat pada tubuhku?"
Mendengar suara Sangaji, Titisari terharu bukan main. Ia tak kuasa
menjawab, hanya menganggukkan kepala berulang kali. "Kedua pusaka itu masih
berada dalam genggamanmu...." Akhirnya ia berbisik dengan girang. Sudah
barang tentu ia tak mengerti apa hubungannya antara kedua pusaka itu dengan
orang berjubah hitam bermahkota kencana. Tujuannya hanya hendak menguatkan
kegelisahan kekasihnya. "Titisari, mengapa engkau menangis?" Tiba-tiba
Sangaji minta keterangan setelah mengamat-amati kelopak matanya. "Siapa
yang menangis?" Titisari memban-tah. Dan ia memaksa diri tertawa ringan.
"Bohong, dia tadi menangis." Fatimah nim-brung. Kemudian mengarah kepada
Titisari! "Hayo, kau mau menyangkal! Lihatlah muka-mu yang kuyu. Matamu
masih penuh air mata pula." "Titisari!" kata Sangaji penuh perasaan.
"Janganlah kau menyedihkan aku. Keadaanku tidaklah sebahaya dugaan Paman
Gagak Seta." Mendengar ujar Sangaji, Titisari berlega hati. Meskipun masih
bersangsi, tapi ia seperti melihat sinar pelita dalam kegelapan. Lantas
saja menoleh kepada Fatimah dan berkata manis. "Hai! Apakah kau masih
merasakan sakit kena seranganku tadi?" "Hai... hai... hai! Namaku Fatimah!
Bukan hai!" Fatimah melotot. Titisari tertawa. Menyahut, "baiklah se-karang
aku memanggilmu adik Fatimah." "Adik? Huuuh... masakan kau lebih tua
dariku. Kau harus memanggil bibi!" Titisari mengerling kepada Sangaji minta
pertimbangan. Sangaji kenal watak Fatimah yang angin-anginan. Maka ia
mengangguk kecil. Memperoleh isyarat itu, Titisari lantas saja berkata,
"kau senang kupanggil bibi? Baiklah. Mulai detik ini aku memanggilmu bibi!"
"Nah..., itulah baru benar." Fatimah puas. Kemudian menegas, "kau tadi
menangis, bukan, kau sangkal tidak?" "Ya... ya..., memang aku tadi
menangis." Titisari kewalahan. "Kau sendiri tidak menangis. Malahan kaulah
yang berjasa menyadarkan Sangaji. Hatimu sungguh baik." Mendengar dirinya
dipuji, Fatimah menjadi girang. Lantas saja ia turun ke bawah dan datang
kembali dengan membawa rebusan ayam. Ia memaksa Titisari agar mandi dahulu.
Setelah itu membersihkan ruang kamar dan menutup pintu dengan rapat. Pada
malam harinya setelah makan, Titisari hendak mulai bekerja. Ia
sadar—apabila sekali bekerja—harus tetap saling menempel satu minggu
lamanya. Tatkala hendak mema-damkan perdiangan, mendadak Sangaji berkata.
"Lukaku ini sebenarnya tidaklah be-gitu hebat. Hanya saja engkau akan
berjerih payah satu minggu..." "Biarpun menderita sengsara dua puluh tahun
tapi demi untukmu, hatiku senang," jawab Titisari cepat. Mendengar
ucapannya, Sangaji terharu bukan main. Darahnya terus saja terguncang.
Inilah bahaya, karena bisa jatuh pingsan. Maka cepat-cepat ia menenangkan
diri untuk menguasai hatinya. Titisari adalah seorang gadis cerdas. Dengan
cepat ia bisa membaca apa yang sudah terjadi. Segera ia menasehati agar
jangan memikirkan sesuatu. Setelah itu ia berdiri hendak memadamkan
perdiangan, sekonyong-konyong suatu pikiran menyusul di benaknya. Pikirnya,
benteng kuno ini berada di atas ketinggian. Tak jauh dari sini terjadi
suatu petempuran. Apakah tak mungkin, masing-masing pihak akan menggunakan
benteng ini sebagai pangkalan kegiatan. Kalau sampai terjadi demikian...,
dan kemudian ada gangguan... bukankah akan mencelakakan Sangaji? Memperoleh
pertimbangan demikian, teringatlah dia akan perlunya tokoh pelindung.
Fatimah seorang gadis yang bisa berkelahi, tapi apabila menghadapi seorang
pendekar tidaklah bisa berbuat apa-apa. Biarlah aku berbicara kepadanya,
katanya dalam hati. Cepat ia turun ke bawah hendak mencari Fatimah. Tapi
gadis itu tak menampakkan batang hidungnya. Karena itu ia menyalakan obor
dan menyuluhi ruang dalam. Mendadak terdengar Fatimah berkata di kejauhan.
"Kau mencari aku? Mari!" Bergegas Titisari menghampiri. Ia dibawa memasuki
lorong tanah yang berada di belakang ruang dapur. Ternyata Fatimah
me-nempatkan alat tidurnya dalam lorong tanah yang merupakan sebuah gua
panjang. "Bagus tidak rumahku ini? Gua ini menembus sampai dalam.
Barangkali dahulu dipergunakan untuk lorong penyergapan atau pintu darurat
untuk melarikan diri apabila tak kuat menahan lawan." Tapi perhatian
Titisari tiada pada lorong tanah. Segera ia menarik lengan Fatimah dan
berkata manis. "Bibi! Mari ke atas! Aku hendak berbicara." Senang Fatimah
dipanggilnya bibi. Dalam anggapannya itulah suatu pernyataan bahwa Titisari
kalah menandingi kewibawaannya. Itulah sebabnya, dengan senang ia memenuhi
permintaan Titisari. Dan tatkala Titisari memasuki ruang atas, dia sudah
dapat menebak. "Sudahlah tak usah berbicara. Percayalah, aku takkan
berbicara kepada siapapun juga." Tapi justru berkata demikian. Titisari
jadi curiga. Untuk keselamatan Sangaji ia bersedia berbuat apa saja. Pada
saat itu warisan watak ayahnya memasuki hati sanubarinya. Katanya dalam
hati, meskipun ia bandel, tapi wataknya angin-anginan. Kalau sampai
berbicara... hm! Biarlah kubunuhnya saja. Dengan begitu lenyaplah ancaman
bahaya... Ia berputar menghadap Sangaji. Maksudnya hendak minta izin.
Sangaji yang rebah di atas jerami terkejut melihat matanya yang menyinarkan
kilat. Tak sengaja pemuda itu me-ngerenyitkan alis. Titisari jadi perasa.
Pikirnya lagi: Ih! Apakah dia tahu maksudku ini?...
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar