@bende mataram@
Bagian 294
Hanya saja, ia kurang latihan dan kurang ulet. Maklumlah dia seorang
puteri ningrat. Keadaan hidupnya sehari-hari serba gampang dan tersediakan.
Perjuangan melawan kepahitan hidup tak pernah dialaminya. Majunya Gusti Ayu
Retnaningsih, diluar dugaan Cocak Hijau. Begitu juga halnya dengan
Surapati. Pemuda itu menjadi keheran-heranan, berbareng girang. Girangnya
ia memperoleh bantuan. Herannya ia jadi menebak-nebak siapakah gadis itu
sebenarnya. Itulah sebabnya, kalau tadi merasa repot, ia kini bisa membalas
menyerang dengan cepat dan penuh semangat. Mula-mula Cocak Hijau agak lemas
juga menghadapi Gusti Ayu Retnaningsih. Ia menyangka setan perempuan lebih
perkasa dan jahat daripada setan laki-laki. Tetapi setelah bertempur dua
tiga gebrakan, hatinya jadi lega. Ternyata setan perempuan itu lebih lemah
daripada setan laki-laki. Benar tipu-tipu serangannya hebat dan ruwet,
namun dia tahu setan perempuan itu kurang latihannya. Karena itu, walaupun
dikerubut dua, hatinya tetap besar. Sangaji dan Titisari yang mengintip
dari ruang atas, mengkhawatirkan kedudukan kedua muda-mudi itu. Mereka
tahu, lambat laun kedua muda-mudi itu akan kalah. Sedangkan mereka kenal,
Cocak Hijau sebagai seorang pendekar yang bengis dan kejam. Dalam hati
mereka ingin menolong, tapi keadaannya tak mengizinkan. Mereka tak bisa
melepaskan diri dari suatu keharusan saling menempel. Pada saat itu, mereka
mendengar Surapati berkata nyaring. "Nona! Biarlah aku melayani dia seorang
diri." Tetapi betapa mungkin Gusti Ayu Retnaningsih mau mendengarkan maksud
baiknya. Sebagai seorang puteri ningrat yang dididik mengutamakan
keperwiraan, takkan ia mengkhianati temannya senasib. Meskipun tahu tak
bisa memenangkan lawan, tetap ia melawan sebisa-bisanya. Bagaimana
akhir-nya, ia menyerahkan diri kepada nasib. Melihat Gusti Ayu Retnaningsih
tak mau mendengarkan seruannya, Surapati jadi gugup. Lantas saja ia
berkata, "Hai! Musuhmu adalah aku! Biarkan dia keluar gelanggang dengan
selamat!" Cocak Hijau tertawa lebar. Sekarang yakin-lah dia, bahwa kedua
muda-mudi itu bukannya hantu atau setan. Hatinya bertambah lega.
Gerak-geriknya bertambah mantap dan membahayakan. Hatinya yang mau menang
sendiri lalu mulai berkata, "Mana bisa aku membiarkan gadis cantik ini
bebas merdeka tanpa membayar? Biarlah kutangkapnya dahulu..." Berpikir
demikian, serangannya kini meng-arah kepada Gusti Ayu Retnaningsih. Dengan
mengerahkan tenaga sedikit ia menangkis cundrik. Kemudian tangannya maju
hendak menyambar pinggang. Surapati jadi cemas. Cepat menangkis. Serunya
gugup, "Nona! Lekaslah lari!" "Baik! Tapi jawablah dulu! Siapa gurumu?"
sahut Gusti Ayu Retnaningsih. "Guruku bernama Ki Hajar Karangpandan. Nah,
janganlah takut. Sebentar lagi dia datang!" Sudah terang, Surapati hendak
menggertak Cocak Hijau dengan mengandalkan nama gurunya. Sebaliknya Gusti
Ayu Retnaningsih jadi terkejut mendengar nama itu. Segera berkata, "Ki
Hajar Karangpandan? Kalau begi-tu... kalau begitu..." Belum lagi ia habis
berbicara, Surapati sudah memotong. "Nah, pergilah! Asal kau bisa menolong
nyawamu sendiri, pastilah guruku kelak bisa membalaskan dendam." Nama
pendekar Ki Hajar Karangpandan bukanlah merupakan nama yang asing bagi
pendekar Cocak Hijau. Ia tahu, bahwa lawan-nya lagi menggertak dirinya.
Dasar adatnya berangasan, ia lalu membentak dengan nada tinggi hati. "Aku
pernah dikerubut beramai-ramai. Suruhlah gurumu datang membawa
teman-temannya seperti Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Tunjungbiru dan
Tirtomoyo...! Masakan aku kena kau gertak?" Terang sekali, Cocak Hijau lagi
mengobral cerita burung. Sewaktu berada di Pekalongan, bukan Cocak Hijau
yang kena keroyok. Malahan Ki Hajar Karangpandanlah yang kena keroyok Cocak
Hijau, Manyarsewu dan pendekar-pendekar lainnya. Namun Surapati terperanjat
juga mendengar Cocak Hijau bisa menyebutkan deretan nama pendekar-pendekar
yang pernah didengar. Ia percaya seba-gian, bahwa Cocak Hijau
setidak-tidaknya per-nah mengukur tenaga dengan nama-nama pendekar yang
disebutkan. Mendadak saja ia mendengar suara mendengus dari arah ruang
belakang. "Hm—kau menyebut nama kakakku Wira-pati? Apakah kau sudah bosan
hidup?" Ketiga orang itu kaget. Serentak mereka menoleh dan terlihatlah
Fatimah berdiri tegak dengan membawa sebatang golok di tangan-nya. Surapati
dan Cocak Hijau belum kenal Fatimah. Mereka terus saja meloncat mundur
dengan alasan masing-masing. Bagi Surapati, munculnya gadis itu di luar
dugaan. Mungkin pula memiliki ilmu kepandaian diluar dugaan. Sebaliknya,
benak Cocak Hijau yang masih dipengaruhi takhayul, setengah menyangka bahwa
Fatimah adalah setan baru yang mungkin jahat benar. "Hai! Kau bilang pernah
dikerubut Wirapati? Siapa bilang?" bentak Fatimah. "Aku," sahut Cocak Hijau
dengan tinggi hati. "Hm, tak mungkin anak-murid Gunung Damar mengekerubut
macam monyongmu. Cobalah bunuh!" "Mana dia?" Cocak Hijau masih tetap
ta-kabur. Belum lagi ia memperoleh jawaban, Fatimah telah mengibaskan
goloknya dan menyerang dengan cepat luar biasa. Waktu itu Sangaji dan
Titisari dalam keadaan cemas. Melihat munculnya Fatimah mereka mempunyai
sekelumit harapan. Hanya saja mereka belum pernah melihat nilai ilmu
kepandaian gadis yang berwatak angin-anginan itu. Di luar dugaan, Fatimah
bisa bergerak dengan sebat dan membahayakan. Dalam gebrakan permulaan,
Cocak Hijau kena dimundurkan tiga langkah. "Dia pun tak bakal menang,"
bisik Titisari. Dia pernah mencoba kekuatan Fatimah. Dengan sendirinya,
bisa mengukur kemam-puannya. Maka ucapannya itu mengejutkan hati Sangaji.
Dalam hal kegesitan dan ketangguhan, Fatimah menang setingkat daripada
Gusti Ayu Retnaningsih. Maklumlah, dia seorang gadis yang dipaksa hidup
dengan berjuang. Dengan demikian ia lebih memiliki keuletan dan ketabahan
daripada Gusti Ayu Retnaningsih. Hanya saja, ilmu kepandaian yang diwarisi
tidak lengkap dan kurang teratur. Dalam gebrakan permulaan, gerakannya bisa
menge-labui lawan. Tapi lambat laun, ia akan kehi-langan keseimbangan.
Waktu itu Gusti Ayu Retnaningsih dan Surapati berdiri di luar gelanggang
dengan hati kebat-kebit. Dengan penuh perhatian mereka mengikuti
pertempuran itu. Mendadak saja mereka melihat bahaya. Fatimah kena didorong
masuk dalam lingkaran tipu musli-hat. Tak dikehendaki sendiri, terloncatlah
seruan Gusti Ayu Retnaningsih. "Fatimah! Awas!" Mendengar seruan peringatan
Gusti Ayu Retnaningsih, hati Cocak Hijau jadi men-dongkol. Sebab dengan
demikian, gagallah tipu muslihatnya. Dan karena mendongkol, lantas saja ia
menyerang Gusti Ayu Retna-ningsih. Surapati, terkejut. Cepat ia menangkis
dan membalas menyerang. Dengan begitu, Cocak Hijau dikerubut tiga orang.
Meskipun gagah, akhirnya Cocak Hijau kewalahan juga menghadapi tenaga
gabungan itu. Masing-masing mempunyai cara penye-rangan dan pertahanan yang
khas. Yang satu dari ajaran pendekar Ki Hajar Karangpandan. Dan hanya saja,
ilmu kepandaian yang dua khas ajaran perguruan Gunung Damar yang tak boleh
dipandang ringan. Mau tak mau ia jadi bingung. Kini ia bermaksud hendak
meloloskan diri, tetapi kepungan mereka sa-ngat rapat. Suatu kali ia kena
dilibat Surapati. Tahu-tahu pahanya kena ditusuk golok Fatimah. Ia kaget
dan dengan menggerung membalas menyerang. Namun segera dikurung Gusti Ayu
Retnaningsih dan Surapati dengan berbareng. Karena lukanya itu,
kelincahannya jadi agak berkurang. Meskipun demikian, biar bagaimana ia
menang tenaga dan pengalaman. Dalam adu tangkisan, Gusti Ayu Retnaningsih
kena terbentur ke samping. Mendadak saja pundaknya kena terbabat pedang
Surapati. la merasa kesakitan. Selagi begitu, Fatimah menampar pedangnya
sehingga jatuh berkelontangan ke tanah. Melihat jatuhnya pedang, dengan
sebat Surapati memukul kepala Cocak Hijau berbareng dengan Gusti Ayu
Retnaningsih yang menusukkan cundriknya ke paha. Tak ampun lagi Cocak Hijau
roboh terjengkang ke tanah. Dan Fatimah yang berwatak angin-anginan, terus
saja meludahi mukanya. Kemudian pangkal goloknya diletakkan ke lengan
lawan. "Jangan disakiti!" teriak Gusti Ayu Retnaningsih. "Kita ikat saja
dia!" Seperti burung kecil yang tunduk kepada perintah majikan, Surapati
lantas melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat dari kain batik. Kemudian
dibuat pengikat lengan Cocak Hijau. Fatimah menyumbangkan ikat ping-gangnya
pula yang panjangnya lebih dari sepuluh depa. Dengan penuh semangat, ia
segera mengikat Cocak Hijau erat-erat dari kaki sampai ke leher. Dengan
demikian, Cocak Hijau kini mirip sebuah pisang goreng terbungkus daun
kelapa. Seluruh tubuhnya terbebat rapat-rapat. Hanya tinggal kepalanya
belaka yang nongol seperti kepala itik. "Tuuu rasakan! Melawan anak-anak
kemarin sore saja kau tak mampu." Damprat Fatimah. "Masihkah monyongmu
berkaok-kaok menantang Wirapati segala?" Cocak Hijau memaki kalang-kabut.
Tangkisnya setengah menggugat. "Kalian curang. Coba satu lawan satu."
"Iddiiih—katamu, kau pernah dikerubut Wirapati, Jaga Saradenta... dan siapa
lagi tadi? Ih! Melawan kita saja tak becus." "Siapa bilang tak becus?"
Dasar watak Fatimah angin-anginan, terus saja ia menyobek sudut kainnya.
Lalu disum-batkan ke mulut Cocak Hijau sehingga pendekar yang selamanya tak
pernah kalah itu, tak dapat lagi berkaok-kaok mengumbar mulutnya, la hanya
bisa melototkan matanya sampai merah membara. Mulutnya masih saja berusaha
berontak dengan menyemburkan bunyi ah - ih - uh. "Nona..." kata Surapati.
"Tak kusangka aku akan berjumpa dengan murid pendekar Wirapati." Setelah
berkata demikian, ia mem-bungkuk hormat kepada Fatimah. "Kau bilang aku
murid Wirapati?" potong Fatimah acuh tak acuh. "Kau salah terka. Aku murid
Suryaningrat seperti tunanganmu. Kau seorang pangeran janganlah sembarangan
membungkuk hormat terhadap seseorang.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar