11.20.2019

@bende mataram@ Bagian 285

@bende mataram@
Bagian 285


Pisahnya dengan Sangaji lagi satu hari satu malam. Meskipun andaikata
Fatimah bisa menghapal jurusnya, tidaklah mungkin bisa menjadi suatu
pengucapan begitu matang. Tapi dasar seorang wanita, cinta merupakan
pengucapan seluruh hidupnya. Karena itu masih saja ia mencoba menyelidiki.
"Kalau bukan dari dia... masakan engkau bisa melakukan jurus itu begitu
sempurna?" "Eh, apakah siluman itu bisa juga me-lakukan jurusku tadi?"
Sahut Fatimah lagi de-ngan tertawa cekikikan. Titisari hilang kesabarannya.
Serentak ia menyerang dengan membentak, "baiklah! Mari kita bermain-main
lagi." Titisari mengulangi serangannya. Kali ini kedua tangannya saling
menyusul dengan cepat. Fatimah pun tak tinggal diam. Ia menje-jak tanah dan
menyambar pinggang. Itulah jurus yang mengagetkan Titisari tadi. Melihat
serangan itu, Titisari tertawa dalam hati cepat ia menggeser tubuh dan
memukul dari sam-ping. Setelah bergebrak lima jurus lagi tiba-tiba kakinya
masuk dan memggantol dengan sebat. Tak ampun lagi, Fatimah jatuh terbanting
ke belakang. Belum lagi bisa merayap bangun, Titisari telah menindihnya.
"Nah! Bagus mana jurus kebanggaanmu dan jurusku?" ejek Titisari. "Kau
curang!" maki Fatimah. "Kau bukan mengadu kepandaian. Tapi mengadu akal!
Kalau main jujur, mari kita bertempur lagi!" Meskipun bernada bandel, dalam
hati Titisari mengakui tuduhan Fatimah. Tapi ia tak memedulikan. Ingin ia
memperoleh keterangan-keterangan segera dari gadis itu. "Hai! Apakah engkau
akan menindih aku sampai dunia kiamat?" Fatimah menggugat. "Siluman itu
sudah lapar. Kalau menyiksa aku, berarti pula menyiksa dia." "Biar
tersiksa, apa pedulimu?" Titisari men-coba menjebak. "Bagus! Biarpun
mampus, akupun tak peduli. Apa sih keuntungannya?" "Kalau tiada untungnya
apa sebab engkau membawa dia kemari?" "Kau lebih baik mampus tenang-tenang
di sini daripada di tengah bangkai-bangkai busuk yang sudah mulai dirubung
lalat?" "Bangkai siapa?" Titisari kaget. "Bangkai siluman!" Kedua-duanya
sebenarnya setali tiga uang. Kesan ucapan yang satu liar. Lainnya lebih
liar lagi. Tapi betapapun juga lambat laun Titisari bisa berpikir. Pikirnya
dalam hati, biarlah aku bersikap manis padanya. Barangkali aku memperoleh
keterangan lebih banyak. Memikirkan demikian, lantas saja ia melon-cat
berdiri. Fatimahpun dengan sebat berdiri pula. Kemudian menyambar dua ekor
ayam-nya dan dilemparkan ke dada Titisari. "Bagus! Kalau kau sudi merawat,
rawatlah!" katanya dingin. Terus saja ia memutar tubuh dan keluar dari
ruang dalam. "Hai!" Titisari memanggilnya. "Hai-hai-apa?" Mau tak mau
Titisari terpaksa menghela napas. Lantas kembali mengarah kepada Sangaji.
Waktu itu Gagak Seta sudah selesai mengumpulkan tenaga murninya kembali.
Meskipun belum pulih, tapi lumayan juga. Melihat Titisari memutar tubuh, ia
tertawa berkakakan. "Hebat! Kalau dua macan betina mulai berkelahi, itulah
baru satu tontonan yang bagus!" "Gadis itu mencurigakan. Alangkah bandel!"
sahut Titisari. "Dia bernama Fatimah," kata Sangaji lemah. "Kau ingin
memperoleh keterangan bagaimana dia membawa aku kemari? Dengan sesungguhnya
asal usulnya masih gelap juga bagiku." Dengan perlahan-lahan Sangaji
menceri-takan kembali riwayat perjalanannya semen-jak berpisah dari
lapangan pertandingan sam-pai bertemu dengan Fatimah. Kemudian de-ngan
meraba pusaka Bende Mataram ia menghabisi ceritanya. "Inilah pusaka yang
sudah banyak sekali menyita nyawa orang-orang gagah..." dan teringat akan
sejarah ayah bundanya, tak terasa air matanya membasahi pipinya.
"Sudahlah... sudahlah!" Sekat Gagak Seta yang tak betah menyaksikan berita
me-nyedihkan hati. "Lukamu tak enteng. Hampir-hampir aku menjadi korban
pula. Hai! Apa sebab terjadi sesuatu perubahan begitu aneh dalam dirimu?"
Kemudian dengan meraba pusaka Bende Mataram, Sangaji mengakhiri ceritanya
"Inilah pusaka yang sudah banyak sekali menyita orang-orang gagah,..."
Sangaji tersentak kaget. Sekaligus teringat-lah dia, betapa Bagas Wilatikta
dengan tiba-tiba terpental jungkir balik di udara dan terbanting ke tanah
sampai terbenam. Hampir satu malam penuh ia mencoba menebak teka-teki itu.
Sampai begitu jauh belum juga ia berhasil. Kini gurunya mulai mengusut.
Hatinya jadi girang. Terus saja ia menceritakan terjadinya pergulatan itu
dengan secermat-cermatnya. Mendengar keterangan Sangaji, diam-diam Gagak
Seta bersyukur dalam hati. Sebagai seorang pendekar sakti lantas saja ia
bisa menebak. Itulah tenaga pelontaran tiga ilmu sakti sekaligus yang
membutuhkan ruang gerak. "Adji!" kata Gagak Seta bergembira. "Bersyukurlah!
Melihat jalan darahmu kini tertembus semua dan engkau masih bisa bernapas,
itulah suatu karunia luar biasa besarnya. "Mengapa?" Titisari terkejut.
"Pukulan-pukulan lawannya benar-benar hebat. Mereka bisa menggoncangkan
seluruh urat nadinya sehingga kini jadi saling tindih tak menentu." Dalam
hal ini getah sakti Dewadaru yang berjasa. Getah itu merasa dirinya terus
menerus kena serang. Karena itu dia siap menghisap kali ada suatu tenaga
yang datang dari luar. Tadi hampir saja tenaga murniku habis dihisapnya.
Untung, Sangaji terkejut oleh pekik gadis itu sehingga tersengak bangun.
Kalau tidak, saat ini aku sudah menjadi seorang tapak dara..." Mendengar
ujar Gagak Seta, Sangaji terharu bukan main. Sebaliknya Titisari yang hanya
mengingat kepentingan Sangaji segera menegas. "Lantas?" "Hm, bocah! Kau
benar-benar mewarisi watak ayahmu yang mau menang sendiri. Agaknya...
seumpama aku ini menjadi cacat tak berguna, hatimu akan bersorak gembira.
Bukankah dengan demikian, lawan ayahmu berkurang satu?" "Eh, mengapa Paman
berkata begitu? Paman adalah seorang sakti melebihi ayahku. Meskipun saat
ini kehilangan tenaga, masakan tak dapat pulih kembali?" Sahut Titisari.
Nakal bunyi ucapan Titisari. Tapi ia bisa mengambil hati Gagak Seta dengan
mem-bandingkan dengan ayahnya. Dalam hal ini Titisari mengakui tenaga sakti
ayahnya kalah dibandingkan dengan Gagak Seta. Hati siapa takkan girang
mendengar pengakuan de-mikian, meskipun belum tentu terbersit dari hati
setulus-tulusnya. Lantas saja Gagak Seta berkata dengan tertawa. "Kau iblis
cilik memang bisa menaklukkan aku seorang tua. Baiklah! Sangaji bisa pulih
kembali, apabila memperoleh bantuan tetap selama satu minggu penuh." "Ha!
Hanya satu minggu. Bukankah tak lama?" Titisari bergirang hati. "Satu
minggu memang tak lama. Tapi satu minggu terus menerus harus saling
menempel, itulah lain halnya. Kecuali itu, meskipun Sangaji bisa menolong
mengembalikan tenaga setelah lukanya sembuh, tapi si penolong menderita
dahulu." "Penderitaan apakah yang mesti harus di-alami?" "la tak bertenaga
lagi," sahut Gagak Seta. Setelah diam menimbang-nimbang, ia me-neruskan,
"aku hanya sanggup membantu tiap seperempat jam sekali, karena harus
me-ngembalikan tenaga dahulu. Inilah tiada gunanya. Kau harus tahu, urat
nadi Sangaji ter-goncang sehingga berkisar dari tempatnya semula. Untuk
bisa mengembalikan ketempat-nya, tenaga saluran dari luar harus tetap dan
teratur. Dengan demikian—kecuali urat-uratnya akan kembali seperti
sediakala—getah sakti Dewadaru harus selalu memperoleh umpan." Mendengar
ceramah itu, Sangaji terus saja menyahut. "Guru! Apakah aku tak dapat
menyembuhkan lukaku sendiri?" "Eh! Apakah kau harus berbaring terus menerus
selama dua tiga tahun?" "Berbaring tak dapat bergerak selama dua tiga
tahun, alangkah lama dan mengesalkan hati. Tapi hati Sangaji amat mulia.
Tak dapat ia membiarkan gurunya berkorban untuk ke-pentingan dirinya.
Memperoleh pertimbangan demikian, berkatalah dia, "Pada waktu ini, laskar
Pangeran Bumi Gede mulai bergerak menyerang kota. Meskipun tiada
kepen-tinganku, tapi kuingat bahwa Sultan Yogya Sri Hamengku Buwono I
adalah sahabat Guru juga. Dengan sendirinya anak keturunannya termasuk pula
sahabat Guru. Lagi pula, ben-teng ini belum tentu aman. Apabila mendadak
kena serang selagi Guru tiada memiliki tenaga sakti lagi, apakah akibatnya.
Aku dan Guru akan mati sia-sia. Karena itu, biarlah aku berbaring dua tiga
tahun lagi. Kukira umurmu belum kasep..." "Bagus! Bagus!" potong Titisari,
"kau hanya memikirkan dirimu sendiri..." "Apakah aku salah?" Sangaji heran.
Gagak Seta tertawa terbahak-bahak. "Hai bocah tolol! Perempuan di seluruh
du-nia ini paling takut diancam umur. Kalau kau berbaring dua tiga tahun
tanpa bisa berkutik, bukankah Titisari berabe juga? Selain usianya
bertambah, rasa dukanya bisa membuat pipi-nya kempong dan rambutnya
ubanan..." "Iddiiiihhh...," Titisari mencibirkan bibirnya. Meskipun
demikian warna wajahnya berubah merah jambu. Cepat-cepat ia mengalihkan
pembicaraan. "Apakah tenagaku kira-kira bisa membantu menyembuhkan?" Gagak
Seta tercengang sejenak. Tahulah dia, bahwa dalam hal ini Titisari
mempunyai kepentingan besar. Ia telah menyaksikan sendiri, betapa besar
cinta kasih gadis itu kepada Sangaji. Maka dengan sungguh-sung-guh ia
berkata, "Coba lontarkan pukulanmu sepenuh tenaga kepadaku!" Titisari
pernah mendengar tutur kata Sangaji, bahwa pendekar sakti itu dahulu
me-nguji tenaga Sangaji pula. Maka dengan tak ragu-ragu lagi ia memusatkan
seluruh tena-ganya, kemudian menghantam dada Gagak Seta. Brus! "Lagi!"
Perintah Gagak Seta sambil merem-melek. Brus! Dengan mendongakkan kepala ke
udara, Gagak Seta berpikir keras. Lama sekali ia berdiam diri, Sehingga
hati Titisari gelisah bukan main. Akhirnya pendekar sakti itu berkata,
"Tenagamu cukup. Hanya saja daya tahanmu mungkin takkan bisa melebihi
sem-bilan hari. Apabila dalam satu minggu Sangaji belum pulih kembali...
hm... itulah bahaya!" Sudah untuk beberapa kali Titisari menem-puh bahaya
demi cintanya kepada Sangaji. Itulah sebabnya begitu mendengar ujar Gagak
Seta, matanya bersinar terang. Katanya setengah girang, "Bagus! Hari ini
aku bisa mulai!" Gagak Seta kemudian mendukung Sangaji dan dibawanya
memanjat ke ruang pengin-taian yang berada di atas. Setelah merebahkan di
atas jerami ia berpesan. "Usahakanlah, supaya dalam satu minggu itu tak
kena ganggu. Apabila tanganmu sampai berpisah dari tubuhnya, sia-sialah
usahamu. Bahkan luka Sangaji akan bertambah parah. Karena urat-urat nadi
yang mulai bergerak terbanting kembali... aku sendiri hendak mencari
ayahmu. Otak ayahmu sangat cerdas. Barangkali ia bisa memperoleh akal
lain." Titisari mengangguk. Mendadak teringatlah dia kepada Fatimah. Dengan
suara agak gemetaran ia berkata, "Gadis tadi... kalau sampai mengganggu..."
"Tiada niatnya dia hendak berbuat jahat," potong Sangaji, "melihat geraknya
tadi... aku... aku..." "Bukankah itu jurus gurumu Wirapati?" Sangaji
memanggut. Mukanya berubah hebat. "Karena itu, tadi aku memperingatkan
padamu agar jangan menyakiti. Dikemudian hari kita bisa menyelidiki..."
"Usianya sebaya dengan usiaku. Mung-kinkah dia adik seperguruanmu yang
belum kau ketahui?" "Inilah aneh. Menurut guruku Jaga Saradenta... Paman
Wirapati berada di daerah barat selama dua belas tahun. Apakah guruku
pernah mengambil murid berumur empat lima tahun?" ***


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar