@bende mataram@
Bagian 283
Pilih-annya ternyata tepat. Gadis itu lantas saja memandang padanya
lama-lama. "Siapa namamu?" "Sangaji." Dahi gadis itu mengkerut. Ia tak
berkata lagi. Lantas saja suatu kesunyian terjadi. "Dan kau... siapa
namamu?" Sangaji ganti bertanya. "Fatimah." "Ayah bundamu?" "Mereka semua
sudah meninggal. Ya... biar-lah semuanya meninggalkan aku, apa pedulimu?"
Sehabis berkata demikian, kembali dia angot. Dengan sebat ia menyambar
pengail Randukintir dan terus digebukkan empat lima kali kepada Sangaji.
Kemudian memutar tubuh dan meninggalkan lapangan. Mendadak saja ia memutar
tubuh dan berkata minta ketegasan. "Apakah kuda yang kukejar tadi, kudamu?"
"Ya." Ia memutar tubuh lagi sambil berteriak, "Usahakan dirimu masuk
gerobak. Aku tak kuat memondongmu. Nah, biar kucari kudamu!" Setelah
berkata demikian, ia berlari-lari meninggalkan lapangan dengan cepat. Dan
kembali Sangaji terlongong-longong memi-kirkan sepak terjang gadis itu yang
benar-benar aneh. Pikirnya, dalam kemarahannya senantiasa terbesit rasa
keibuannya. Apakah dia begitu menanggung derita tak tertanggungkan hingga
sewaktu-waktu mengamuk tanpa sebab? Teringat, bahwa gadis itu tiada berayah
bunda lagi, hati Sangaji kian perasa. Tanpa disadari sendiri rasa sukanya
kepadanya jadi bertambah. Tadi ia memesan agar aku naik ke gero-baknya,
katanya dalam hati. Biarlah aku membuatnya senang... Hatinya berkata
demikian, tapi tak mudah pelaksanaannya. Ia benar-benar luka parah. Dikala
mencoba menggerakkan badan rasa nyeri menusuk sampai kepalanya. Ia mencoba
mengkeraskan hati dan berusaha merangkak. Namun untuk kesekian kalinya ia
gagal. Lambat laun matahari mulai tenggelam. Teringat akan si gadis, hati
Sangaji berdebar-debar. Bukan takut kepada gebukannya, tapi kalau sampai
mengecewakan itulah jangan! Dalam keresahannya mendadak saja teringatlah
dia kepada jalan darahnya yang sudah lancar. Menurut Gagak Seta, apabila
jalan darah sudah bisa ditembus, gerak geriknya takkan terintang lagi.
Semua kehendak dan kemauan-nya akan bisa dilaksanakan. Maka terus saja ia
mengumpulkan tenaga saktinya. Kemudian tapak tanggannya digempurkan ke
tanah. Dan kesudahannya mengejutkan hatinya. Tiba-tiba saja tubuhnya
terlontar tinggi di udara melampaui puncak pohon. Inilah suatu kejadian di
luar dugaan dan perhitungannya. Kalau sampai jatuh di tanah, harapan untuk
hidup dengan selamat tiada lagi. Untung, Sangaji adalah seorang pemuda yang
berhati tenang. Dalam kegugupannya ia bisa berpikir cepat. Terus saja
tangannya dikibaskan menghantam bumi. Ternyata tiga ilmu sakti yang sudah
bersatu itu hebatnya tak terukur lagi. Begitu tangannya mengibas menghantam
bumi, lantas saja timbul semacam gelombang angin yang menolak balik. Dengan
demikian daya turun tubuhnya bisa tertahan. Dan sedikit mengibaskan tangan
kirinya ke samping, terus saja tubuhnya terbang me-ngarah ke atas gerobak.
Oleh pengalaman itu ia berhasil turun perlahan-lahan dengan mengatur tenaga
pentalan bumi. Meskipun demikian, jatuhnya ke atas gerobak masih ter-lalu
keras untuk tubuhnya yang luka dalam. Berbareng dengan suara gedobrakan, ia
jatuh pingsan tak sadarkan diri. Tatkala menjenakkan mata, pandangan yang
dilihatnya adalah bintang-bintang yang bergetar lembut di angkasa.
Bintang-bintang itu seperti terlintasi. Dan apabila pikirannya mulai
bekerja terasa kini gerobak yang ditidurinya bergoncang-goncang amat keras.
Kemudian terdengarlah suara derap kuda dan lembu berjalan hampir berbareng.
Maka tahu-lah dia, bahwa gerobak yang ditidurinya sudah berjalan entah
kapan. "Kau sudah bangun? Bagus!" Tiba-tiba suara si gadis menusuk
telingannya. "Kalau mau selamat, tutuplah dahulu mulutmu!" Heran Sangaji
mendengar ucapannya. Kalau saja bukan seorang yang tajam panca indranya
betapa bisa mengetahui dia telah memperoleh kesadarannya. Dan memperoleh
pikiran ini, Sangaji jadi curiga. Kepalanya lan-tas saja penuh teka-teki
yang sukar terjawab. Selagi ia sibuk menebak-nebak, panca indranya yang
tajam melebihi manusia lum-rah, mendengar derap kuda bergemuruh dan barisan
yang sedang berjalan. Mau ia mene-gakkan kepala, sekonyong-konyong gadis
itu berkata, "Pasukan Pangeran Bumi Gede mulai mendekati kota. Tunggu saja
beritanya. Beberapa hari lagi, kerajaan akan runtuh digilasnya." Mendengar
gadis itu menyebut nama Pangeran Bumi Gede, bukan main terkejutnya Sangaji.
Hatinya sampai tergetar. Dan sekali-gus jantungnya berdegupan. Karena
kegon-cangan ini darahnya lantas saja tersirap. Suatu gumpalan tenaga sakti
lari berputaran tiada hentinya. "Bagaimana kau tahu mereka pasukan Pangeran
Bumi Gede?" ia bertanya perlahan. "Rumahku berada dalam daerah
ke-kuasaannya. Masakan aku tak mengenal namanya?" Sahut Fatimah. Mendadak
suara-nya berubah menjadi keras. "Hai! Bukankah aku melarangmu berbicara?
Mengapa ber-bicara? Mengapa?" Selagi hendak menjawab, Sangaji mendengar
langkah enteng beramai-ramai. Tak ragu lagi, mereka rombongan pendekar
undangan. Dan dugaannya tepat. Dari arah timur nampaknya satu rombongan
besar yang lari cepat mengarah ke barat. Pada saat itu pula, ge-robak
dihentikan Fatimah dengan sekonyong-konyong. Fatimah sendiri terus menuntun
Willem bersembunyi di belakang belukar. Mau tak mau gerak geriknya membuat
Sangaji berteka-teki lagi. Diam-diam ia menimbang-nimbang: Didengar dari
ucapannya, ia seolah-olah ikut bersyukur apabila Pangeran Bumi Gede
berhasil meruntuhkan kerajaan. Maklumlah, rumahnya berada dalam daerah
kekuasaan pangeran itu. Tapi mengapa mendadak ia main bersembunyi, begitu
melihat berkelebatnya para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Sebenarnya
siapa dia? Menuruti luapan hatinya, ingin ia segera memperoleh jawaban.
Tapi suara derap langkah pasukan yang lewat belum lagi habis. Karena itu ia
menyabarkan diri. Dalam hal ini ia mempunyai kepentingan juga. Terhadap
pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede ia bermusuhan. Apabila mereka
sampai melihat dirinya berada di situ, pastilah mem-punyai akibatnya
sendiri. Apalagi keris Kyai Tunggulmanik dan pusaka Bende Mataram berada
dalam genggamannya. Gerakan laskar Pangeran Bumi Gede ternyata memakan
waktu hampir larut malam. Dan di jauh sana mulai terdengar bunyi kentong
tanda bahaya sambung menyambung. Apakah mereka mulai bertempur, Sangaji
menduga-duga. Hatinya gelisah bukan main. "Fatimah!" Akhirnya Sangaji tak
dapat menyabarkan diri lagi. "Kau berkata, rumah-mu berada di daerah
kekuasaan Pangeran Bumi Gede. Mengapa kau bersembunyi? Apakah engkau
mempunyai permusuhan juga?" "Ih! Kenapa kau masih saja berbicara?" damprat
Fatimah. "Kau takut?" "Siapa bilang takut?" Sahut Fatimah cepat, "kalau aku
bersembunyi adalah semata-mata untukmu. Kau tak percaya?" Setelah berkata
demikian, terus saja ia mencambuk lembu penarik. Sudah barang tentu, lembu
itu jadi kaget berjingkrat. Dengan mengerahkan tenaga penuh-penuh ia
membe-dal di sepanjang jalan. Celakalah Sangaji yang berada dalam gerobak.
Tubuhnya lantas saja tergoncang pontang-panting. Belum lagi melintasi
sepetak sawah, kembali ia jatuh pingsan untuk kesekian kalinya. Memang luka
dalam Sangaji tidaklah enteng. Hampir tempat-tempat penting dalam tubuhnya
kena hantaman lawan yang memiliki tenaga sakti ma-sing-masing. Seumpama
saja ia tak memiliki daya tahan ilmu sakti Bayu Sejati, Kumayan Jati dan
Getah Dewadaru—sudah siang-siang nyawanya lenyap dari tubuhnya. Kali ini
lama sekali Sangaji memperoleh kesadarannya kembali. Kira-kira menjelang
fajar hari, lapat-lapat ia mendengar suara perempuan berbicara bisik-bisik.
"Paman! Terang sekali si Willem. Apakah kita belum boleh turun tangan?"
"Tunggulah sampai matahari cukup terang. Kurasa belum kasep." Terdengar
suara laki-laki menyahut. Meskipun Sangaji dalam keadaan luka parah, tetapi
tenaga panca indranya tetap tajam dan bersih. Dengan kesatuan tiga ilmu
saktinya, ketajaman panca indranya melebihi kemampuan panca indra pendekar
sakti kelas satu. Itulah sebabnya begitu mendengar pem-bicaraan mereka,
darahnya tersirap. Karena segera ia mengenal siapa yang berbicara. Itulah
Titisari dan Gagak Seta. Seperti diketahui Titisari dibawa lari ayahnya
meninggalkan lapangan pertandingan. Gagak Seta kemudian menyusul untuk
memberi penerangan tentang kesalahpahaman yang menyebabkan Adipati
Surengpati marah tak kepalang. Meskipun apa yang dikatakan cukup
mengesankan, namun Adipati Su-rengapti terkenal sebagai seorang pendekar
yang besar kepala. Sekali sudah dilakukan, tak gampang-gampang ia menarik
diri. Dengan demikian sia-sialah usaha Gagak Seta. Sebaliknya Titisari
mewarisi sebagian watak ayahnya. Begitu Gagak Seta mengundurkan diri, pada
malam harinya ia minggat untuk ketiga kalinya. Ditengah jalan ia bertemu
dengan Gagak Seta dan bersama-sama mencari Sangaji. Mereka melihat gerakan
pasukan Pangeran Bumi Gede juga. Selagi mereka mengintip gerak-geriknya,
mendadak saja mempergoki gerobak yang lari pontang-panting. Kemudian si
Willem lari mendampingi dengan di tung-gangi seorang gadis. Melihat
pemandangan itu, Titisari terkejut bukan main. Sebagai lazimnya seorang
gadis, rasa cemburunya naik sampai kebenaknya. Terus saja ia hendak
melabrak. Untung di sampingnya ada Gagak Seta yang bisa berpikir dingin.
Setelah mengadakan suatu rentetan perdebatan, akhirnya Titisari mengalah.
Karena Gagak Seta bisa membuktikan, bahwa di dalam gerobak tergeletak tubuh
Sangaji yang tak dapat berkutik. Kedua-duanya mengira, Sangaji tertawan
musuh. Gadis yang menunggang kuda itu, mungkin salah seorang anggota lawan.
Karena itu mereka memutuskan hendak menguntitnya. Berkali-kali Titisari
memberi kisikan sandi kepada Sangaji. Meskipun pandai, sama sekali ia tak
menduga, bahwa waktu itu Sangaji jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar