11.05.2019

@bende mataram@ Bagian 258

@bende mataram@
Bagian 258


Dengan cepat, kedua jago tua itu sudah bertempur melampaui lima ratus
jurus. Masing-masing kagum dan mengagumi ilmu kepandaian lawan.


Adipati Surengpati yang menonton ikut kagum pula. Tak terasa ia menghela
napas dalam. Katanya di dalam hati, dua puluh tahun lamanya aku mengeram di
sebuah pulau jauh dari daratan. Selama itu aku berusaha menekuni dan
mendalami ilmuku agar di kemudian hari aku bisa menjagoi semua tokoh sakti.
Tak tahunya ilmu kepandaian si bisa Kebo Bangah dan si jembel Gagak Seta
begini hebat.


Sang Dewaresi dan Titisari diam-diam ikut berlomba dan menjagoi jagonya
masing-ma-sing. Sang Dewaresi sudah barang tentu mengharapkan kemenangan
pamannya. Sebaliknya, Titisari menjagoi Gagak Seta. Sebab pendekar sakti
itu, kecuali menjadi gurunya adalah bintang penolongnya pula. Tapi baik
sang Dewaresi maupun Titisari tak mengetahui tinggi rendahnya ilmu
kepandaian mereka, sehingga tak tahu cara menilainya. Maklumlah, ilmu
kepandaian mereka jauh berada di bawahnya.


Suatu kali Titisari mengerling ke samping mencari kesan Sangaji. la heran,
tatkala meli-hat pemuda itu bergerak-gerak seperti sedang menghafalkan
jurus ilmu tempur. Kaki dan tangannya bergerak-gerak seperti sedang menari
dan raut mukanya tegang luar biasa. Pemuda itu seperti terlibat dalam arus
kegirangan.


"Aji!" seru Titisari perlahan. Sangaji tak menyahut. Karena itu rasa
herannya, berubah menjadi rasa cemas. Dengan penuh perhatian ia mulai
mengamat-amati. Ternyata Sangaji benar-benar sedang mengingat-ingat suatu
ilmu kepandaian tinggi. Gerak-geriknya, sesuai benar dengan gerak-gerik
kedua jago yang sedang bertempur itu.


Dalam pada itu, setelah melampaui kurang lebih tujuh ratus jurus,
gerak-gerik kedua jago itu jadi berubah. Mereka kini tidak bergerak
selincah tadi. Tapi makin lama makin lamban. Kadang-kadang mereka bergerak
ogah-ogahan. Kemudian menyerang dengan tiba-tiba setelah dipikirkan
masak-masak. Anehnya, kadang kala setelah saling bergebrak mereka duduk
bersila mengatur napas. Kemudian bangkit kembali dan menyerang dengan
dahsyat. Kesannya kini berubah pula. Kala mendekati jurus keseribu, mereka
bertempur seolah-olah sedang bermain-main, tetapi wajahnya tegang luar biasa.


Tak terasa matahari mulai menebarkan cahayanya di seluruh bumi. Angin
pegu-nungan meniup sejuk menyegarkan jasmani. Adipati Surengpati berdiri
tegak mengawasi pertempuran itu. Wajahnya ikut tegang juga. Dahinya
berkerenyit seakan-akan sedang memecahkah suatu soal yang bukan mudah
diselesaikan.


Titisari mengamat-amati sikap ayahnya yang luar biasa itu. Selama hidupnya
belum pernah ia melihat ayahnya bersikap setegang itu. Tak terasa ia
melemparkan pandang kepada yang mengadu kesaktian.


Mendadak saja ia melihat sang Dewaresi yang terkesan tenang luar biasa.
Pemuda itu seolah-olah yakin benar, bahwa pamannya akan memperoleh
kemenangan mutlak. Maklumlah, ilmu kepandaiannya masih jauh berada di bawah
ilmu kepandaian kedua tokoh tersebut, sehingga tak dapat memperoleh
penilaian sebenarnya.


Selagi Titisari merenungi sang Dewaresi, ia mendengar Sangaji bersorak
memuji. Sang Dewaresi kaget.


"Hai, bocah tolol! Kau tahu apa," bentaknya mendengar Sangaji bersorak
memuji? "Lebih baik


tutuplah mulutmu."


Titisari memuja Sangaji sebagai dewanya. Meskipun kerap kali ia menyebutnya
dengan istilah tolol, tapi ia tak rela pemuda pujaannya dipanggil si tolol
oleh orang lain. Maka terus saja dia mendamprat.


"Kaupun bukankah jauh lebih tolol dari dia? Coba kau mengerti tentang
mereka? Nah, sumbatlah mulutmu! Kalau kau tak betah, enyahlah dari sini dan
biarkan kami sendirian."


Didamprat demikian, sang Dewaresi tak menjadi sakit hati. Malahan dia terus
tertawa nyaring. Katanya memberi keterangan, "Nona, janganlah salah paham.
Maksudku, anak itu bergerak-gerak begitu tolol. Umurnya masih muda belia.
Bagaimana dia bisa mengetahui kepandaian pamanku?"


"Hm! Engkau bukan dia. Dan dia bukan engkau. Bagaimana engkau mengetahui,
bahwa dia mengerti tentang ilmu kepandaian pamanmu?" sahut Titisari cekatan.


Selagi sang Dewaresi dan Titisari berselisih, Adipati Surengpati terus
mencurahkan seluruh perhatiannya kepada kedua sahabatnya yang sedang
bertempur mati-matian. Sama sekali ia tak menggubris perselisihan itu.
Sangaji sendiri demikian juga. Dengan penuh perhatian ia mengamat-amati
gerakan-gerakan Gagak Seta dan Kebo Bangah.


Ternyata gerakan kedua tokoh sakti itu makin lama makin lambat. Kini mereka
tak memukul langsung tetapi memukul-mukul udara yang berada di sekitarnya.
Gagak Seta tiba-tiba menyentilkan tangan ke depan hidungnya. Dan buru-buru
Kebo Bangah menangkis dengan mengibaskan tangan melintang udara. Setelah
itu, mereka berjongkok dan berpikir keras. Sejenak kemu-dian, kedua-duanya
bangkit sambil berseru dan pertempuran sengit terjadi lagi.


"Bagus! bagus!" Teriak Sangaji gembira. Sesaat kemudian, Gagak seta dan
Kebo Bangah terpisah lagi. Kembali lagi mereka mengasah pikiran. Terang
sudah, masing-masing telah mengenal ilmu simpananya. Karena itu, tak berani
mereka bertempur sembrono. Setiap kali akan bergerak, selalu dipikirkan
dahulu Masak-masak. Dua puluh tahun yang lalu mereka bertempur seperti Pagi
hari itu. Masing-masing sibuk menduga-duga ilmu kepandaian lawanya.
Kemudian mereka berpisah dan mengolah ilmu kepandaianya lagi dengan
diam-diam. Selama itu mereka tak pernah bertemu. Dengan demikian tak
menge-tahui pula sampai di mana tinggi rendahnya ilmu masing-masing.
Kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh dari hasil ketekunannya tak
diketahuinya pula. Kini ternyata, bahwa keadaan mereka samalah gelapnya
seperti dua puluh tahun yang lalu. Masing-masing merasa kagum, was-was,
hati-hati. Itulah sebabnya, mereka terpaksa mengambil waktu terlalu
panjang. Tatkala matahari telah sepeng-galah tingginya, belum juga mereka
memperoleh kepastian. Yang sangat beruntung dalam hal ini, ialah


Sangaji. Pemuda ini telah mengantongi dasar-dasar ilmu sakti Kumayan Jati.
Kemajuan yang diperolehnya adalah dari hasil ketekunannya sendiri. Kini ia
dapat menyaksikan betapa gurunya menggunakan ilmu sakti tersebut. Sudah
barang tentu ia memperoleh kemajuan sangat berharga. Kecuali itu, dengan
tak sengaja ia mengantongi ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang terakhir.
Meskipun belum mewujudkan ilmu Kyai Kasan Kesambi yang khas, tapi ilmu
ciptaan itu meliputi sari-sari ilmu pendekar sakti yang utama.
Jurus-jurusnya mengandung ungkapan-ungkapan tenaga sakti jasmaniah. Dan
diluar dugaan, hampir mirip gerak gerik ilmu Kebo Bangah. Pemuda itu tak
mengetahui, bahwa Kebo bangah adalah lawan Kyai Kasan Kesambi yang utama.
Karena itu ciptaan Kyai Kasan Kesambi ditujukan untuk memunahkan ilmu
kepandaian pendekar tersebut. Dengan meli-hat gerak gerik pendekar Kebo
Bangah, diam-diam Sangaji telah memperoleh tambahan-tambahannya sebagai
pelengkapya. Kini ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi tidak hanya berjumlah 72
jurus, tapi sekaligus menjadi 325 jurus. Bisa dibayangkan betapa untung
Sangaji menyaksikan perkelahian mereka itu. Titisari selama itu terus
mengamat-amati gerak gerik Sangaji dengan penuh keheranan. Pikirnya, baru
satu bulan aku berpisah. Tapi ilmunya begitu maju pesat. Apakah dia
men-dapat ilmu dari malaikat?




Memperoleh pikiran demikian, diam-diam ia bersyukur dalam hati. Namun
hatinya sangsi. Masakan di dunia ini pernah ada seorang bertemu dengan
malaikat. Karena itu, hatinya yang tadi merasa bersyukur berubah menjadi
was-was. Teringat akan daya saksi ilmu jogo-jago tua ia khawatir Sangaji
kena pengaruhnya, sehingga bergerak dengan tak sadar. Maka ia mendekati
dengari hati-hati.


Tatkala itu, Sangadji tengah menirukan gerakan Kebo Bangah. Getah Dewadaru
yang berada di dalam tubuhnya bergejolak hebat. Inilah suatu kejadian yang
tak pernah dipikirkan sebelumnya. Barangkali Gagak Setapun tak pernah
menyangka pula. Maklumlah, pemuda itu sendiri tak mengetahui bahwa ilmu
ciptaan Kyai Kasan Kesambi adalah lawan ilmu Kebo Bangah. Dengan sendirinya
Kebo Bangah merupakan ilmu yang bertentangan. Oleh pertentangan sifat itu,
sekaligus getah sakti Dewadaru bergolak sangat hebat seperti peristiwa
pertentangannya antara ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu sakti Bayu Sejati.


Demikianlah pemuda itu berputar dan menyerang sambil berjongkok. Nampaknya
gaya serangan itu lumrah belaka. Tapi sebe-narnya telah diliputi tenaga
tekanan getah sakti Dewadaru. Maka, sewaktu tangan Titisari hendak
meraihnya, tiba-tiba kena terpental ke udara. Dan kabur seperti
layang-layang putus. Keruan saja Sangadji terkejut bukan kepalang. Tanpa
berpikir lagi, terus ia menjejak tanah dan melesat menyusul. Dengan
menggunakan ilmu ajaran Wirapati, ia menangkap pinggang Titisari yang
langsing menggiurkan. Kemudian dengan gaya indah, ia turun di atas batu
seolah-olah berpeluk-pelukan.


"Aji!" Bisik gadis nakal itu," cobalah beru-lang begitu. Senang aku
kaupentalkan ke udara dan kau sambar pinggangku. Sewaktu kau peluk turun di
atas batu, nyaman benar rasanya."


"Hm." dengus Sangaji pendek. Terus saja berputar mengamat-amati kedua jago
tua yang sedang bertempur makin seru. Dalam hatinya ia heran atas tenaganya
sendiri yang tiba-tiba bisa melontarkan suatu arus. Sama sekali tak di
ketahui, bahwa hal itu terjadi karena pergolakan getah sakti Dewadaru yang
kena ditarik dan di lontarkan jurus-jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi
karena dia sedang menirukan jurus ilmu Kebo Bangah yang justru menjadi
lawannya utama.


Dalam pada itu, di kalangan terjadi suatu perubahan. Kedua jago kini tidak
lagi menggunakan kepalan dan tendangan. Mereka berdiri tegak dengan berdiam
diri. Gagak Seta nampak menggurit-gurit suatu corat-coret di udara dan
buru-buru Kebo Bangah berjongkok. Kemudian meniup-niup keras seolah-olah
sedang membuyarkan corat-coret Gagak Seta.


Melihat cara mereka bertempur, Titisari geli sampai tertawa. Sebaliknya,
Sangaji jadi gem-bira karena tiba-tiba saja, teringatlah dia kepada Kyai
Kasan Kesambi sewaktu menulis-nulis huruf tertentu di udara. Kini tahulah
dia, bahwa ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi bukanlah suatu ilmu murahan.
Buktinya, ilmu semacam demikian baru terlihat setelah kedua jago itu
mengadu kepalan dua ribu jurus lebih.


"Aji! Mereka lagi bermaksud apa?" bisik Titisari minta keterangan.


"Aku pernah mengenal ilmu sakti demikian. Tapi bagaimana mestinya, tahulah
aku," sahut Sangaji setelah menimbang nimbang sebentar. "Pernah aku
menirukan dan menghafalkah jurus-jurus ilmu demikian, tatkala aku secara
kebetulan melihat Eyang Guru mencorat coret dengan jari di udara..."


Titisari mencoba mengerti. Mendadak saja ia melihat Kebo Bangah
menyerudukkan kepalanya ke tanah. Kemudian bergerak-gerak ke kiri dan ke
kanan seperti santri lagi bertahlilan. Keruan saja, penglihatan demikian
bagi Titisari dianggapnya sangat lucu sampai ia tertawa-tawa geli sambil
memekik. "Aji! Aji! Lihat! Dia seperti babi lagi menggrogoti ketela. Waktu
itu, sang Dewaresi telah agak lama mengamat-amati mereka berdua. Melihat
betapa Titisari begitu mesra terhadap Sangaji, hatinya seperti tergodok.
Rasa cemburunya meledak tak tertahankan lagi. Kalau menuruti kata hati,
ingin ia menerkam Sangaji selagi anak muda itu lengah. Tapi waktu hendak
bergerak, tulang rusuk dan dadanya sakit bukan kepalang. Dan tatkala




mendengar, Titisari menyebut tingkah laku pamannya sebagai babi lagi
menggerogoti ketela, hatinya panas sekali. Kini, tak sanggup lagi ia
menguasai diri. Maka diam-diam ia menggengam segebung jarum emas. Seperti
diketahui, sang Dewaresi adalah seorang pendekar tak sem-barangan. Sewaktu
di pendapa Kadipaten Pekalongan, Sangaji pernah menyaksikan kepandaiannya
menepuk sesuatu yang melayang senjata bidik amat ampuh. Kepandaian itu di
lakukan dalam waktu hati bebas dari rasa segala. Tapi kini ia mengandung
dendam maka bisa di bayangkan betapa akan hebat jadinya.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar