11.04.2019

@bende mataram@ Bagian 257

@bende mataram@
Bagian 257


KEBO BANGAH - ADIPATI SURENGPATI dan Gagak Seta adalah jago-jago tua yang
saling mengenal kesaktian dan tabiat masing-masing. Kebo Bangah adalah
seorang pendekar yang kejam bengis, licin, licik dan berbisa. Dan Adipati
Surengpati seorang pen-dekar yang berkepala besar, angkuh, tegas, serba
pandai dan tegas. Sebaliknya Gagak Seta berhati polos, jujur dan




berwatak ksatria sejati. Apa yang diucapkan cukup terang, karena hatinya
selalu terbuka. Meskipun demikian, kali ini Kebo Bangah yang licin bagaikan
belut tak juga pandai menebak mak-sud Gagak Seta, sampai ia merasa
kelabakan menduga-duga.


"Hai manusia jembel, cobalah bicara yang terang!" teriak Kebo Bangah. Bunyi
tertawa Gagak Seta kian meninggi.


Kemudian dengan menuding Sangaji, ia menghadap Adipati Surengpati.


"Saudara Surengpati! Anak muda ini dan puterimu adalah muridku. Aku sudah
berjanji kepada mereka berdua, bahwa pada suatu saat aku akan memohon
kelapangan hatimu untuk mengawinkan. Karena itu, sekarang aku mohon padamu
agar engkau meluluskan perjodohan mereka."


Sangaji dan Titisari terperanjat mendengar ucapan Gagak Seta. Mereka berdua
sama sekali tak dapat menebak sebelumnya. Sekalipun demikian, dalam hati
mereka girang dan bersyukur. Tak sengaja, mereka saling menoleh dan
tersenyum seri. Sebaliknya, Kebo Bangah, sang Dewaresi dan Adipati
Surengpati merasa dirinya tertikam.


"Saudara Gagak Seta!" Akhirnya Kebo Bangah berseru nyaring. "Puteri saudara
Surengpati sudah dijodohkan dengan keme-nakanku. Hari ini aku sengaja
menemui dia, untuk menetapkan hari perkawinan mereka."


"Saudara Surengpati! Benarkah keterangan bandot Kebo Bangah ini?" Gagak
Seta minta penjelasan.


"Benar," sahut Adipati Surengpati. "Karena itu kuminta dengan sangat, agar
saudara jangan bergurau lagi denganku."


Mendengar jawaban Adipati Surengpati, Gagak Seta mengerutkan kening. Ia
menatap wajah Adipati Surengpati, kemudian berkata dengan suara ditekankan.


"Siapa yang berani bergurau denganmu. Hm... malahan kaulah yang sedang
bergurau. Coba di manakah pernah terjadi seorang puteri hendak dijodohkan
dengan dua orang." Ia berhenti mengesankan. Setelah itu ia menoleh kepada
Kebo Bangah. "Hai Kebo Bangah! Akulah orang perantara keluarga Sangaji. Kau
sendiri, manakah perantaramu? Masakan kau borong sendiri, sehingga tak
mengindahkan tata cara?"


Kebo Bangah tak mengira akan didesak demikian. Seketika itu juga ia
tercengang sehingga tak mampu menjawab. Sejenak kemudian, barulah dia bisa
berbicara.


"Dahulu hari aku sudah mengirimkan perantara. Kini kudengar dari mulutnya
bahwa saudara Surengpati sudah menerima baik. Akupun begitu. Nah, apa perlu
menggunakan perantara lagi?"


"Bagus! Begitulah alasanmu?" sahut Gagak Seta cepat.


"Tetapi pernahkah engkau mengira, bahwa masih ada seorang di antara kamu
berdua yang tidak sudi menerima pinanganmu itu?"


"Siapa dia?" Kebo Bangah membentak. "Siapa lagi, kalau bukan aku."


Kebo Bangah terdiam. Dalam hatinya telah terasa, bahwa mau tak mau ia harus
bertem-pur melawan pendekar jembel itu. Maka pada saat itu juga, ia mulai
sibuk mencari siasat untuk melawannya.


Gagak Seta tertawa lebar. Dengan tenang ia berkata, "Kemenakanmu itu
berkelakuan kurang bagus. Sama sekali tak cocok menjadi suami puteri
saudara Surengpati. Sayang, apabila sampai terjadi begitu. Andaikata engkau
memaksa merangkapkan jodoh, tetapi putri saudara Surengpati tak sudi,
apakah yang hendak kaulakukan? Baik, taruhlah dia kini kawin dengan
kemenakanmu. Tapi masing-masing mempunyai paham yang tak dapat dipadukan,
apakah




engkau bersedia menjadi pendamai terus-menerus sepanjang hidupmu? Hm hm!
Inilah hebat, kalau mereka berdua sama hidupnya harus berkelahi setiap kali
bangun dari tempat tidurnya."


Mendengar kata-kata Gagak Seta, hati Adipati Surengpati tergerak. Diam-diam
ia mencuri pandang kepada anak perempuan-nya. Ternyata Titisari waktu itu
tengah mena-tap wajah Sangaji dengan pandang penuh cinta kasih. Mau tak mau
ia mulai memper-hatikan muka Sangaji. Alangkah menye-balkan! Bocah itu
begitu tolol kesannya, meskipun wajahnya tak boleh dikatakan buruk. Tapi
bila dibandingkan dengan wajah sang Dewaresi seperti bumi dan langit.


Adipati Surengpati, adalah seorang pen-dekar keturunan bangsawan. Semenjak
turun-temurun, keluarganya terkenal pandai dan bijaksana. Dia sendiri
berotak terang, serba pandai, tinggi ilmu saktinya dan luas ilmu
pengetahuannya. Anak perempuannya pun seorang gadis yang encer otaknya.


Cerdas, cekatan, pandai dan cantik jelita. Dengan sendirinya apabila
dijajarkan dengan Sangaji yang nampak ketolol-tololan dan kurang jelas
keturunan siapa, ia benar-benar tak rela. Karena itu, hatinya lebih condong
kepada sang Dewaresi. Pertama, anak keluar-ga pendekar. Kedua, bertampan
nggariteng, Ketiga, otaknya cerdas dan mempunyai kedudukan jelas. Tetapi,
di dekatnya berdiri pendekar jembel Gagak Seta yang tak boleh dibuat
sembarangan. Karena itu, diam-diam, ia mencari jalan keluarnya.


"Saudara Kebo Bangah!" Akhirnya dia memanggil Kebo Bangah dengan
menggu-nakan kata-kata saudara. "Kemenakanmu tadi terluka. Baiklah kau
rawat dahulu! Urusan ini bisa dibicarakan lagi di kemudian hari."


Inilah pernyataan yang sangat diharap-harapkan Kebo Bangah untuk
menghindarkan suatu pertempuran yang akan banyak membawa akibat. Maka
lantas saja ia memanggil sang Dewaresi dan dibawanya menepi. Dengan cekatan
ia mencabut jarum emas dan menyambung tulang rusuknya yang patah. Ternyata
ia mempunyai kemahiran dalam soal pertabiban. Dengan ramuan obatnya, segera
ia membubuhi luka itu dan dibebatnya dengan kencang. Sebentar saja, sang
Dewaresi nampak seperti pulih kembali. Pandang matanya segar bugar, penuh
semangat.


Sejurus kemudian, Adipati Surengpati berkata nyaring kepada Kebo Bangah dan
Gagak Seta.


"Anakku ini seorang perempuan yang lemah, tapi nakalnya bukan main. Karena
itu. tak bakal dia sanggup merawat seorang suami seperti kalian harapkan.
Namun di luar dugaan, ternyata aku memperoleh dua la-maran sekaligus. Yang
pertama dari saudara Kebo Bangah. Yang kedua dari saudara Gagak Seta.
Kejadian ini merupakan suatu kehor-matan besar bagiku. Dan sebenarnya,
anakku sudah kurestui agar berjodoh dengan keme-nakan saudara Kebo Bangah.
Tetapi lamaran saudara Gagak Seta tak boleh kuabaikan pula.


Hm... benar-benar aku menemui kesulitan. Meskipun demikian, aku mencoba
meme-cahkan sebaik-baiknya agar memperoleh suatu keputusan yang adil.
Sebelumnya, perkenankan aku minta pertimbangan penda-pat kalian berdua,
bagaimana cara menyelesaikan persoalan ini."


"Berkatalah! Apa perlu berdansa kalimat tiada gunanya? Bukankah engkau
tahu, bahwa otakku paling tak senang mendengar ocehan yang tak keruan
juntrungnya?" sahut Gagak Seta. "Saudara Surengpati adalah seorang
keturunan keluarga agung. Dalam segala halnya pasti lebih mengenal tata
cara yang santun daripadaku. Aku bersedia tunduk kepada kehendakmu."


Adipati Surengpati bersenyum. Berkata de-ngan sabar, "Sebenarnya aku tak
boleh meng-harap-harapkan yang bukan-bukan terhadap jodoh anakku. Tetapi
sebagai seorang ayah aku mengharapkan agar suami anakku kelak adalah
manusia yang benar-benar baik. Sang Dewaresi adalah kemenakan saudara Kebo
Bangah. Dan Sangaji adalah murid saudara Gagak Seta, kedua-duanya pasti
memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh kuabaikan. Tapi untuk menentukan
pilihan, bagiku amat sukar. Kupikir begini saja, baikiah mereka berdua kita adu


ilmu kepandaiannya. Apakah pendapat kalian?"


"Bagus! Bagus!" seru Kebo Bangah girang. "Kepandaian apakah yang kaumaksudkan?"


"Nanti kuterangkan. Semua tiga syarat. Siapa di antara mereka berdua dapat
memenangkan tiga syarat ujianku, akan kuresmikan menjadi calon menantuku.


"Bagus! Bagus!" Seru Kebo Bangah lagi. "Kau tahu sendiri, kemenakanku
terluka. Tidaklah mungkin kau uji dengan mengadu ilmu kepalan. Sekiranya
engkau memaksanya sebagai syarat utama, baiklah ditunda sebulan dua bulan lagi.


"Tentang lukanya kemenakanmu, masakan aku tak tahu?" sahut Adipati.


Mendengar kata-kata Adipati Surengpati, Gagak Seta curiga. Pikirnya, Kebo
Bangah ini adalah seorang berbisa yang kejam bengis dan licin. Dan
Surengpati seorang siluman dalam arti kata sebenarnya. Dia banyak akalnya,
melebihi manusia lumrah. Hm... kini dia mau main menguji segala. Kalau
Sangaji sampai harus diuji kepandaiannya mengenal ilmu sejarah, sastra,
kebudayaannya, irama lagu dan tetek bengek, pastilah dia gagal. Masakan dia
bisa mengatasi kepandaian anak Kebo Bangah. Ih! Nampaknya Surengpati berat
sebelah. Baiklah aku mengambil caraku sendiri... Dan setelah memperoleh
pikiran demikian, Gagak Seta terus saja tertawa terbahak-bahak. Kemudian
berkata nyaring berwibawa. "Saudara Surengpati! Kita semua ini adalah
keturunan tukang pukul dan mengadu kepalan. Apa perlu mengadu kepandaian
semacam murid-murid sekolah." Ia berhenti mengesankan. Lalu menatap Kebo
Bangah. "Kau bandotan Kebo Bangah. Katamu, keme-nakanmu lagi terluka.
Bagus! Tapi kau sendiri sehat walafiat. Karena itu, marilah kita berdua
bermain-main barang sebentar."


Tanpa menunggu pertimbangan Kebo Bangah, Gagak Seta terus saja menyerang
tiga kali sekaligus. Sudah barang tentu Kebo Bangah kaget setengah mati.
Tetapi dia adalah seorang pendekar yang telah makan garam. Melihat serangan
lawan, dengan gesit ia mengelak.


Gagak Seta segera meletakkan tongkatnya di atas tanah. Kemudian menyerang
lagi sam-bil membentak, "Kebo Bangah! Balaslah!"


Tiga jurus ia menyerang dengan satu kali gerak. Kebo Bangah mundur sambil
menge-lak, la enggan menangkis atau membalas me-nyerang. Dalam hatinya, ia
enggan bertempur melawan musuh lamanya itu. Tetapi kerena terus menerus
diserang sampai tujuh kali berturut-turut, tak dikehendaki sendiri
tangannya mulai mengangkis tujuh kali dan membalas menyerang tujuh kali pula.


"Bagus!" seru Adipati Surengpati gembira. Ia tahu akibatnya, apabila dua
orang tokoh sakti itu sampai mengadu kepandaian. Namun ia tak sudi melerai
atau menengahi. Malahan ia mengharapkan mereka berdua bertempur mengadu
kesaktian. Maklumlah, dua puluh tahun berselang ia pernah menyaksikan ilmu
kepandaian mereka. Kini, ilmu kepandaiannya pasti sudah jauh majunya.
Bagaimana kemajuan mereka itu, ingin sekali ia menyaksikan dan menilainya.


Gagak Seta dan Kebo Bangah adalah dua orang sakti pada zaman itu.
Masing-masing mempunyai keunggulannya yang sama kuat dan sama tangguh. Dua
puluh tahun yang lalu, mereka pernah mengadu kesaktian. Kedua-duanya tiada
yang kalah tiada yang menang. Kemudian mereka menekuni dan mendalami
ilmunya masing-masing selama dua puluh tahun. Tujuan mereka hendak merebut
kemenangan dengan mengalahkan ilmu lawannya. Maka kini, mereka saling
bertemu kembali. Ilmu kepandaian mereka masing-masing jauh berbeda dengan
dua puluh tahun yang lalu.


Karena pertempuran mereka sebentar'saja sudah berlangsung dengan cepat dan
tepat meskipun baru memasuki babak gertakan belaka untuk mengetahui
kelemahan dan kekuatan lawan.


Sangaji mencurahkan segenap perhatiannya. Dilihatnya gerakan-gerakan mereka
sangat lincah. Yang sangat menggirangkan hatinya ialah, bahwa jurus-jurus
perubahannya seperti




mirip ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi sesungguhnya adalah suatu gabungan
intisari ilmu kepandaiannya sejati. Tiap jurusnya mengandung
perhitungan-perhitungan tertentu. Ukurannya ialah apabila mengahadapi lawan
setangguh tokoh-tokoh sakti. Tiap gerakannya berdasarkan ilmu tenaga
PANCAWARA yang dahsyat tak terlawan. Kadang-kadang cepat gesit angin.
Kadang-kadang lamban seperti tegak gunung. Maka tanpa disadari sendiri
seluruh tubuhnya seperti gatal.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar