@bende mataram@
Bagian 256
Sang Dewaresi mengangguk. Memang para pendekar undangan itu, bergerak
hendak menangkap Titisari.
"Mereka hendak membekuk aku, bukan? Tetapi tak berhasil. Kemudian munculah
engkau. Benar tidak?"
Sang Dewaresi tak bisa membantah. Terpaksa ia mengangguk, dan Titisari
berkata lagi. Tatkala itu aku berada di tengah pendapa seorang diri. Tak
seorangpun membantu padaku. Tak seorangpun ingat akan penderitaanku.
Padahal hatiku takut bukan main. Aku berdoa dan aku memekik-mekik memanggil
Ayah dalam hatiku. Kau tahu, bahwa ayahku tak mungkin bisa datang bukan?"
Sang Dewaresi terpaksa mengangguk lagi. Tahulah dia, bahwa pertanyaan kali
ini sengaja membawa-bawa nama ayahnya. Ia sadar, bahwa gadis itu sedang
memancing kemarahan ayahnya.
Benar juga. Begitu sang Dewaresi mengang-guk, gadis yang cerdik itu lantas
saja memeluk pinggang ayahnya. Kemudian dengan suara pedih ia berkata,
"Ayah! Kau dengar pengakuannya sendiri. Mengapa Ayah tak pernah memikirkan
keselamatanku? Seumpama aku tak benasib baik, bagaimana jadinya? ... Kalau
Ibu masih hidup... takkan aku mengalami penderitaan sehebat itu..."
Mendengar Titisari menyebut-nyebut ibunya, hati Adipati Surengpati
terguncang bukan main. Lantas saja ia memeluk anaknya dengan mesra.
Kebo Bangah adalah seorang pendekar sakti yang cerdas dan sudah mengenal
watak Adipati Surengpati. la tahu, maksud Titisari sebenarnya. Dan apabila
Adipati Surengpati kena tergugah kemarahannya, akan hebat akibatnya. Grusan
perjodohan bisa bubar pasar-. Maka cepat-cepat ia berkata mendahului.
"Nona Titisari! Dalam pendapa itu banyak sekali jumlah pendekar undangan.
Tapi ternyata mereka tak becus menangkap engkau seorang. Itulah suatu
bukti, betapa tinggi ilmu keluargamu. Bukankah mereka tak berdaya
menghadapi perlawananmu?"
Titisari tertawa senang sambil mengangguk. Adipati Surengpati pun nampak
tersenyum. Maklumlah, pendekar itu memuji nilai ilmu kepandaiannya.
Melihat Adipati Surengpati bersenyum, legalah hati Kebo Bangah. Orang itu
segera berkata lagi. "Saudara Surengpati! Tatkala itu keponakanku ini
melihat kecantikan puterimu untuk yang pertama kalinya, la jatuh cinta.
Itulah sebabnya, dengan tak memedulikan rintangan dan halangan kami datang
mene-muimu."
Kembali lagi Adipati Surengpati tersenyum, karena dia merasa memperoleh
kehormatan. Lantas saja berkata memutuskan.
"Ya, sudahlah! apa perlu direntang-rentang panjang lagi..."
Hati Kebo Bangah girang luar biasa. Karena merasa telah memperoleh
kemenangan, maka ia hendak mencari kambing hitam. Serentak ia menoleh
kepada Gagak Seta dan berkata, "Saudara Gagak Seta! Kami—paman dan
kemenakan—mengagumi ilmu kepandaian-kepandaian keluarga Adipati Surengpati.
Mengapa engkau tidak? Mengapa engkau menghadapi tingkah-tingkah laku bocah
kemarin sore dengan sungguh-sungguh? Coba, andaikata kemenakanku tidak
berusia panjang, nyawanya telah terbang kena sambaran biji sawo berkat
ajaranmu..."
Terang sekali, Kebo Bangah hendak mengungkit-ungkit peristiwa di Desa
Gebang, sewaktu Gagak Seta menolong sang Dewaresi kala kena serangan
Titisari dengan senjata biji sawo.
Hanya saja, Kebo Bangah memutar balik peristiwa sebenarnya. Bukan dia
meng-ucapkan terima kasih, tapi malahan menuduh Gagak Seta sebagai penerbit
gara-gara. Tetapi Gagak Seta yang berjiwa ksatria, nampak sabar. Sama
sekali ia tak menggubris kata-kata Kebo Bangah. Malahan dia tertawa
perlahan melalui dadanya.
Sebaliknya, Sangaji yang benci kepada semua hal yang kurang jujur, serentak
menyahut. "Sebenarnya Paman Gagak Seta yang menolong keponakanmu. Mengapa
engkau berkata begini?"
Tetapi Adipati Surengpati sekonyong-ko-nyong membentak, "Kita lagi
berbicara, bagaimana engkau berani bercampur mulut?"
Sangaji adalah seorang pemuda yang gam-pang tersinggung rasa kehormatan
diri. Maka begitu mendengar dampratan Adipati Sureng-pati, tanpa
memedulikan akibatnya, terus menjawab. "Aku berkata sebenarnya. Kalau tak
percaya, suruhlah Titisari menceritakan peristiwa sebenarnya!" Kemudian
kepada Titisari ia berkata nyaring, "Titisari! Cobalah bongkar sepak
terjang sang Dewaresi tatkala memperkosa Nuraini! Biarlah ayahmu bisa
mempertimbangkan!"
Di luar dugaan Titisari menggelengkan kepalanya. Ia kenal watak ayahnya.
Ayahnya terkenal dengan gelar adipati siluman dari Karimunjawa, karena
wataknya yang aneh. Dia mempunyai anggapan dan ukuran sendiri dalam menilai
sesuatu peristiwa yang berten-tangan dengan anggapan umum. Kerapkali suatu
perbuatan benar, dikatakan salah. Begitulah sebaliknya, belum tentu dia
menya-lahkan seseorang memperkosa seorang gadis. Mungkin dia akan
menganggap sebagai suatu perbuatan wajar bagi seorang laki-laki. Kecuali
itu, Titisari tahu pula bahwa ayahnya tidak begitu senang kepada Sangaji.
Bahkan nampak membenci dan memusuhi. Itulah sebabnya, diam-diam ia mencari
dalih lain yang bisa menikam kedudukan sang Dewaresi. Katanya kemudian,
"Hai! Kata-kataku belum habis. Sewaktu engkau mengadu kepandaian melawan
aku di pendapa kadipaten, dengan sengaja engkau mengikat kedua tanganmu ke
belakang punggung. Kau sesumbar, bahwa dengan tanpa menggunakan tangan,
engkau bisa melawan ilmu Karimunjawa dengan mudah. Bukankah begitu?"
Sang Dewaresi mengangguk membenarkan pertanyaan itu.
"Kemudian aku mengangkat Paman Gagak Seta sebagai guruku," kata Titisari
lagi. "Di Desa Gebang, kita pernah bertempur kembali. Kau sesumbar, bahwa
aku boleh menggu-nakan ilmu warisan Paman Gagak Seta atau ayahku sesuka
hatiku. Dan sebaliknya engkau akan melawan dengan ilmu warisan keluargamu.
Kau yakin, bahwa dengan bersendikan ilmu warisan keluargamu, kau akan
sanggup mengalahkan semua ilmu warisan Paman Gagak Seta dan ayahku. Benar
tidak?"
Sang Dewaresi mengangguk. Dalam hatinya dia berkata, yakin akan ilmunya
sendiri, bukankah hak setiap orang? Mendadak saja, sadarlah dia bahwa
Titisari telah menjebaknya. Gadis itu lantas saja berkata nyaring, "Nah,
lihat Ayah! Sama sekali dia tak memandang sebelah mata kepada semua ilmu
Ayah dan ilmu Paman Gagak Seta. Meskipun tak terucapkan, bukankah berarti
ilmu Ayah dan ilmu Paman Gagak Seta berdua kalah jauh dengan ilmu
kepandaian pamannya? Tetapi aku tak percaya! Ilmu kepandaian Ayah masakan
kalah dengan ilmu kepandaian pamannya?"
"Ih, Titisari! Janganlah engkau menajamkan persoalan!" berkata Adipati
Surengpati dengan hati berdebar-debar menahan marah. Orang-orang gagah di
kolong langit ini, siapakah yang tak kenal ilmu sakti Adipati Surengpati,
Kebo Bangah, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi?
Terdengar, Adipati Surengpati seperti mem-bantu kedudukan sang Dewaresi
yang kena dipilin-pilin puterinya. Tetapi di dalam hati ia mulai kecewa
terhadap bakal menantunya. Maka cepat-cepat ia mengalihkan pem-bicaraan,
agar tak jadi berlarut-larut. Berkata kepada Gagak Seta, "Hai! Saudara
Gagak Seta, tiba-tiba muncul di sini seperti malaikat. Apakah mempunyai
urusan tertentu?"
Gagak Seta mendeham dua kali. Kemudian dengan sikap hormat ia menjawab,
"Saudara Surengpati! Sudah semenjak senja hari tadi aku mengikuti engkau
dari jauh. Sebenarnya aku hendak memohon sesuatu kepadamu."
Adipati Surengpati kenal watak Gagak Seta. Meskipun miskin dan tak
berkedudukan, tetapi hatinya jujur dan berjiwa ksatria sejati. Karena itu,
ia menghargai dan menghormatinya sebagai seseorang yang bermartabat
sejajar. Ia tahu biasanya Gagak Seta menyelesaikan tiap urusannya—seorang
diri saja. Belum pernah selama hidupnya minta bantuan orang. Karena itu, ia
kini heran bercampur girang mendengar permintaan Gagak Seta. Apabila tidak
terlalu mendesak, tak mungkin dia sampai menga-jukan permintaan demikian.
Maka cepat-cepat ia menjawab, "Persahabatan kita berdua adalah suatu
persahabatan yang sudah terjalin semenjak dua tiga puluh tahun yang lalu.
Saudara Gagak Seta, tiba-tiba kini engkau sudi mengajukan suatu permintaan
kepadaku. Berkatalah! Aku pasti akan mengabulkan sekuasa-kuasaku."
"Ah!" sahut Gagak Seta. "Jangan engkau menjawab demikian tergesa-gesa!
Kukha-watirkan, bahwa engkau takkan bisa memenuhi kesayanganmu itu..."
Adipati Surengpati tertawa. Berkata, "Aku tahu, pastilah soal yang hendak
kau kemukakan kepadaku adalah soal berat. Apabila tidak, masakan engkau
sampai me-minta bantuan kepadaku."
Gagak Seta tertawa sambil menggosok-gosok tangannya.
"Benar!" katanya dengan perlahan. "Jika demikian, benar-benar engkau adalah
saha-batku sejati. Jadi, pastikah engkau menerima perintahku ini?"
Adipati Surengpati selama hidupnya selalu menepati janji. "Setiap patah
kataku adalah jiwaku sendiri," sahut Adipati Surengpati. "Kalau aku sudah
melompat ke dalam lautan api, aku akan melompat kalau perlu terjun ke dalam
kubangan air, masakan aku akan mundur?"
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Kebo Bangah terkejut. Cepat-cepat ia
menge-tuk tanah dan melintangkan tongkat rukemnya di depan dadanya.
"Saudara Surengpati, tunggu dulu!" katanya dengan suara parau. "Kalau
sampai bersumpah demikian. CJrusan apa sebenarnya? Bersumpah adalah
gampang. Itulah jamaknya seorang laki-laki. Tapi lebih baik dengarkan
dahulu persoalannya saudara Gagak Seta!"
Gagak Seta tertawa tergelak-gelak. Berkata, "Hai bandotan busuk Kebo
Bangah! Grusanku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusanmu.
Lebih baik tutuplah mulutmu yang usilan itu. Suruhlah mulutmu yang doyan
makan itu, bersiaga menerima hari bahagia. Nah, kan lebih bagus begitu...?"
Kebo Bangah heran mendengar ucapan Gagak Seta. Katanya menebak-nebak, "Eh
... bersiaga menerima hari bahagia! Apakah itu?"
Gagak Seta tertawa tergelak-gelak. Pan-dangnya mendongak ke angkasa.
Kemudian menatap wajah Kebo Bangah seperti mere-nungi seorang badut.
"Tak salah ucapanku! Siagakan saja mulut-mu! Sebentar lagi engkau mengerti
apakah hari bahagia itu."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar