11.02.2019

@bende mataram@ Bagian 255

@bende mataram@
Bagian 255


Siulan itu makin lama makin nyata dan tegas. Itulah suatu tanda, bahwa
orang yang bersiul di kejauhan sudah mendekati gelang-gang mereka.


Kebo Bangah nampak gelisah. Terus saja ia berjongkok dan bersalak keras
luar biasa begitu bersungguh-sungguh sampai seluruh lehernya berkeringat
penuh. Adipati Sureng-pati pun tak tinggal diam. Suara tanduknya lantas
saja membumbung tinggi, mengejar nada siulan yang makin lama makin tinggi.
Akhirnya saling bentrok dan mengendap. Mendadak saja ketiga-tiganya saling
berben-turan dan mundur lagi. Suara tanduk berben-turan dengan siulan. Dan
siulan bertempur melawan salak Kebo Bangah.


Ah! Orang yang datang ini samalah tingkatannya dengan mereka, pikir
Sangaji. Terus saja ia menduga-duga, siapakah orang itu sambil menajamkan
pendengaran. Dalam khayalnya ia ikut mencebur mengadu kepandaian.
Jurus-jurus ilmu kepandaian yang dapat dipergunakan hanyalah ajaran Kyai
Kasan Kesambi. Kadang-kadang ia merasa kerepotan, sehingga membutuhkan
waktu beberapa detik lamanya untuk meme-cahkan persoalan. Dan apabila
merasa sang-gup membebaskan diri, kembali lagi ia ikut bertempur. Tetapi
karena kalah pengalaman, mau tak mau ia harus mengakui masih kalah jauh.
Sekalipun demikian, ia berbesar hati juga dapat ikut berkelahi.


Dalam pada itu, orang yang bersiul telah tiba tak jauh dari gelanggang.
Ternyata nada siulannya kian terdengar nyaring dan tajam. Nada dan iramanya
tak tetap, kadang cepat, kadang melayang rendah. Tetapi tekanannya tetap.
Malahan makin lama makin lincah dan kuat. Karena itu, sebentar saja
pertempuran adu mantram sakti kian tegang dan seru. Terpaksa ia
mengundurkan diri dari gelanggang, karena merasa tak sanggup melayani.
Dalam hatinya ia kagum bukan main. Tak terasa terloncatlah perkataannya.


"Bagus!"


Mendengar ucapannya sendiri, ia terkejut, bukankah dia lagi bersembunyi?
Sadar akan akibatnya, cepat ia berkisar dari tempat hen-dak melarikan diri.
Tapi baru saja ia bergerak, mendadak saja berkelebatlah sesosok ba-yangan.
Ternyata Adipati Surengpati telah menghadang di depannya.


"Ih! Kau bisa tahan menyaksikan pertem-puran ini. Bagus! Rupanya kau paham
pula. Mari ke mari!" damprat Adipati Surengpati.


Dengan melesatnya Adipati Surengpati ke luar gelanggang, berhentilah adu
ilmu sakti mereka. Baik suara salak Kebo Bangah maupun suara siulan lenyap
dengan seko-nyong-konyong.


Sangaji terus saja berdiri. Dengan memaksa membesarkan hati ia menghadap
Adipati Surengpati dan menurut saja ke mana dia dibawa pergi.


Titisari yang tersumbat telinganya, tak men-dengar ucapan kagum Sangaji.
Karenanya ia heran dan terkejut tatkala melihat munculnya. Hatinya girang
luar biasa. Tanpa memedulikan segala, terus saja ia lari menyongsong sambil
berteriak nyaring. "Aji! Akhirnya kau datang...! Aku percaya kau pasti
datang. Masakan kau tak bakal bisa berpikir, mengapa aku begitu lama
mengeram dalam makam ibuku." Di antara seruan girangnya terselip rasa pedih
juga. Maklumlah, sewaktu memasuki makam ia tak mengira, bahwa ayahnya
kebetulan berada di situ. Waktu itu, hatinya dalam keadaan terharu. Karena
itu sama sekali tak menoleh kepada Sangaji yang berdiri seperti batu di
luar tembok. Di hadapan ayahnya, tak bisa ia berkutik. Mau tak mau ia harus
tunduk kepada kemauan ayahnya hendak dibawanya pulang ke Karimunjawa. Di
tengah jalan ia mencoba memberontak. Tapi betapa dia bisa melawan ayahnya
yang berilmu tinggi dan berotak encer luar biasa. Mendadak saja bertemulah
dia dengan utusan Kebo Bangah dan sang Dewaresi. Ayahnya ternyata tak
berkeberatan dihadang dengan cara demikian. Memang ayahnya terkenal sebagai
seorang adipati yang tak memedulikan tata susila dan tata pergaulan umum.
Itulah sebabnya, meskipun perangkapan jodoh terjadi di tengah




jalan, hatinya tak berkeberatan atau merasa terhina. Waktu itu, ia dalam
keadaan putus asa. Bermacam-macam akal ia mencoba mencelakakan sang
Dewaresi agar bisa mem-bebaskan diri dari persoalan, tapi selalu gagal.
Untung Sangaji bisa dibawa Gagak Seta ke tempat itu. Kalau tidak, entah
bagaimana jadinya.


"Aji! Siapa yang membawa engkau ke mari?" tanya Titisari. Air matanya terus
saja berdansa di atas pipinya. Dan melihat adegan demikian, hati sang
Dewaresi mendidih seperti terbakar. Sumbatan telinganya terus saja
dilempar. Dan dengan pandang menyala ia menatap Sangaji. Mendadak saja ia
melompat menghajar Sangaji karena tak sanggup lagi mengendalikan diri.


"Hai telur busuk! Kau pun berada di sini?" dampratnya.


Sangaji terperanjat melihat datangnya suatu serangan, tak terduga. Kini,
ilmu kepandaiannya telah berlipat dua kali majunya dibandingkan dengan ilmu
kepandaiannya tatkala bertempur melawan sang Dewaresi di Dusun Gebang.
Pertama kali, karena memperoleh waktu cukup untuk mendalami ilmu sakti
Kumayan Jati. Kedua kalinya memperoleh tambahan ilmu sakti Kyai Kasan
Kesambi yang ternyata dahsyat luar biasa. Itulah sebabnya, dengan gesit ia
dapat menghindarkan serangan. Kemudian membarengi dengan dua jurus ilmu
sakti Kumayan Jati. Seperti diketahui tiap jurus ilmu sakti Kumayan Jati,
dahsyat luar biasa. Apalagi kini dua jurus dengan sekaligus.


Sang Dewaresi terkejut. Sama sekali ia tak mengira, Sangaji bisa mengelak
sambil me-nyerang. Tahu-tahu, pundaknya terasa suatu tenaga dahsyat, la
kenal hebatnya ilmu Kumayan Jati. Karena itu tak berani ia menyongsong.
Satu-satunya jalan, ia harus mengelak secepat mungkin. Maka terus saja ia
menjejak tanah dan melesat ke kiri.


Dalam hal kecekatan, ia tak usah kalah melawan kecekatan Sangaji. Tetapi
Sangaji kini bukanlah Sangaji sebulan yang lalu. Begitu melihat serangannya
dapat dihindar-kan, secara wajar ia memapak dengan satu jurus ilmu ciptaan
Kyai Kasan Kesambi yang dahsyat pula. Tak ampun lagi, dadanya kena terpukul
dan tulang rusuknya patah sebuah.


Sebenarnya sang Dewaresi bukan orang sembarangan. Ilmunya tinggi dan
otaknya cerdas. Ia mengerti, Sangaji bukan lawannya yang empuk. Tatkala
serangannya gagal cepat-cepat ia sudah bersiaga mengelak ke kiri. Dan
begitu memperoleh serangan pem-balasan, kakinya telah menjejak tanah hendak
meloncat tinggi. Meskipun demikian tak sanggup ia membebaskan diri. Karena
begitu luput dari serangan ilmu sakti Kumayan Jati, di luar dugaan Sangaji
menyerang dengan jurus ilmu sakti yang belum pernah diketahui.


Hatinya mendongkol bukan main. Dadanya sakit sampai menusuk jantung. Tapi
dasar tinggi hati, emoh dia memperlihatkan kele-mahannya. Dengan menahan
nyeri, ia berjalan dengan tenang ke tempat semula.


Titisari girang bukan kepalang, menyak-sikan kehebatan Sangaji. Terus saja
ia ber-tepuk tangan sambil menjerit-jerit tinggi. Sebaliknya Adipati
Surengpati dan Kebo Bangah gusar bukan kepalang. Dengan tajam Kebo Bangah
melirik kepadanya. Kemudian berkata nyaring, "Hai pendekar bule Gagak Seta!
Aku ucapkan selamat setinggi-tingginya, karena kau telah memperoleh seorang
murid jempolan."


Sebenarnya, Sangaji sendiri tak mengira akan memperoleh kemenangan dengan
begitu mudah. Inilah suatu kemenangan di luar dugaan. Sebagai seorang anak
yang berhati sederhana dan rendah hati, tak pernah ia mengira bahwa ilmunya
telah maju dengan pesat, la mengira, sang Dewaresi baru lalai sehingga
gampang dikalahkan. Itulah sebabnya, meskipun sang Dewaresi kena dilukai,
tangannya masih saja bersiaga penuh-penuh. Tetapi begitu mendengar seruan
Kebo Bangah, matanya terus saja bercelingukan. Titisari sendiri mendadak
saja melompat-lompat karena girang. Kemudian berteriak nyaring, "Guru!
Guru! Guru!..."


Dalam hatinya ia bersyukur setinggi langit, karena telah memperoleh bintang
penolong. Mendengar seruan Kebo Bangah dan seruan




Titisari, Adipati Surengpati heran bukan main. Pikirnya, heh! Bagaimana
bisa, anakku menjadi murid si bule Gagak Seta?


Tatkala itu, ia melihat Gagak Seta telah muncul di ketinggian. Dengan wajah
berseri-seri ia menggandeng tangan Titisari. Kemudian seperti seorang
gendeng, tertawalah dia ha ha hi hi.


"Titisari! Kau memanggil apa kepadanya?" Adipati Surengpati menegas dengan
hati meluap.


Titisari tak menjawab langsung. Dengan menuding sang Dewaresi ia berkata
mengadu. "Ayah! Orang itu berhati busuk, jahat dan cabul! Seumpama aku tak
ditolong Paman Gagak Seta, anakmu sudah menjadi bangkai babi."


"Apa katamu?" bentak Adipati Surengpati dengan heran. "Dia berhati bagus,
mulia dan jujur. Masakan benar seperti yang kau-tuduhkan?"


"Hm... jika Ayah tak percaya, biarlah aku bertanya kepadanya. Ayah bisa
mende-ngarkan sendiri apa jawabannya," sahut Titisari cepat. Setelah itu
langsung ia berkata kepada sang Dewaresi dengan menuding.


"Hai! Bersumpahlah, bahwa engkau harus menjawab semua pertanyaanku dengan
jujur!


Jika engkau berdusta, bersumpahlah engkau ... Bahwasanya di kemudian hari
engkau akan mampus kena hantaman senjata tongkat pamanmu! Hayo, berbicaralah!"


Mendengar ucapan Titisari, baik sang Dewaresi maupun Kebo Bangah tercekat
hatinya. Seperti diketahui, tongkat Kebo Bangah bukanlah sembarangan
tongkat. Tongkat itu terbuat dari batang duri rukem yang berbisa. Kini
bahkan telah dilumuri racun yang jahat luar biasa. Barangsiapa kena
hantamannya, meskipun andaikata kebal dari senjata akan mati terjengkang.
Dan pada zaman itu, orang percaya benar kepada sumpah. Dan kalau sang
Dewaresi sampai mati oleh tongkat pamannya sendiri, inilah hebat! Bukankah
seganas-ganasnya harimau tidak akan memangsa anaknya sendiri?


"Nona!" sahut sang Dewaresi dengan gemetar. "Di depan mertua, masakan aku
berani mendustai engkau? Meskipun tanpa bersumpah, aku akan menjawab semua
per-tanyaanmu?"


"Bersumpahlah dahulu! Masakan aku kena kau paksa mempercayai semua omonganmu?"


Sang Dewaresi merasa terdesak. Di depan bakal mertuanya meskipun hatinya
men-dongkol diperlakukan demikian, tak berani ia melawan dengan
terang-terangan. Maka ter-paksalah ia mengangguk.


"Baik! Aku bersumpah demikian."


"Bagus! Tapi kalau engkau mengada-ada aku akan menggaplokmu lima kali
berturut-turut. Sekarang dengarkan!" kata Titisari. "Kita pernah bertemu di
serambi kadipaten Pekalongan, tatkala engkau memenuhi undangan Pangeran
Bumi Gede bukan?"


Mendengar pertanyaan Titisari, sang Dewa-resi mengangguk. Tulang rusuknya
nyeri luar biasa, sampai ia segan hendak berbicara. Dan sebenarnya, nyaris
tak tahan ia melawan rasa sakitnya. Sekiranya hatinya tidak terlalu angkuh
dan tidak berada di depan saingannya, sudah siang-siang ia mengundurkan
diri. Kini, meskipun nyeri luar biasa, sedapat-dapatnya ia berusaha
bertahan diri. Satu-satunya jalan ialah dengan mengurangi berbicara.


Dalam pada itu Titisari bertanya lagi, "Tatkala itu engkau berada di
tengah-tengah para pendekar undangan. Dan dengan tak segan-segan, engkau
mengkerubut aku se-orang diri, bukan?"


Mendengar pertanyaan Titisari yang kedua ini, sang Dewaresi hendak
menyangkal. Memang benar, ia berada di antara para pen-dekar undangan.
Tetapi dia bukanlah bekerja sama dengan mereka. Serentak ia hendak
berbicara, mendadak saja dadanya sakit luar biasa. Itulah sebabnya dia
hanya mampu berkata tersekat-sekat: "Aku... aku... aku tak bekerja sama
dengan mereka..."


"Baiklah! Tak usahlah engkau berbicara banyak-banyak. Cukuplah! Engkau
mengang-guk saja,




apabila pertanyaanku benar. Dan menggeleng, bila tidak benar," kata
Titisari cepat. "Sekarang, dengarkan lagi! Kau tahu bukan, bahwa para
pendekar undangan Pangeran Bumi Gede memusuhi aku."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar