8.05.2019

@bende mataram@ Bagian 108

@bende mataram@
Bagian 108


"Silakan berbicara Paman!" sahut Sanjaya dengan kepala berteka-teki.


"Perkara anak gadis Mustapa. Bukankah urusannya belum selesai? Sebagai
seorang kesatria bagaimana bisa membiarkan orang lain menderita demikian
hebat. Selagi kita bersenang-senang dijamu orang, apakah tidak baik Mustapa
dan gadisnya dipanggil kemari? Sekalian membicarakan perjodohanmu ..."


Perkataan tadi ditujukan kepada yang hadir agar mendapat pertimbangan.
Tetapi belum lagi mereka membuka mulut, Sanjaya telah mendahului dengan
tertawa gelak.


"O, perkara si dia? Itu sih, perkara mudah. Aku setuju dengan pendapat
Paman, agar mereka ikut hadir pula. Selanjutnya, aku akan tunduk pada tiap
keputusan Paman dan Tuan-tuan sekalian."


Heran Panembahan Tirtomoyo mendengar kata-kata Sanjaya. Selagi ia hendak
menebak-nebak ke arah mana tujuan si pemuda itu, mendadak dia berkata
kepada Sangaji,


"Sebaliknya saudara kecil ini saja yang memanggil mereka. Bukankah mereka
per-caya kepada sahabat kita ini?"


Panembahan Tirtomoyo mengernyitkan dahi. Sejurus kemudian ia mengangguk
menyetujui. Dan Sangaji segera berangkat. Sepanjang jalan pikiran Sangaji
pepat dan kusut memikirkan teman sepermainannya itu.


Alangkah buruk kesannya. Sanjaya sekarang bukan lagi Sanjaya dua belas
tahun yang lalu. Mengapa segala-galanya berubah? Pemuda yang jujur bersih
itu tak pernah berpikir, bahwa masa dua belas tahun bisa berbicara banyak.
Seorang yang sehat walalfiat umpamanya, bisa dirubah menjadi orang gila
dalam masa itu. Seorang wanita cantik jelita apabila dirundung kemalangan
secara terus-menerus selama dua belas tahun, betapa takkan bisa menjadi
seorang manusia kempong-perot? Hutan belukar pun bisa menjadi suatu ladang
yang terang-


berderang dalam jangka waktu itu pula.


Tatkala tiba di losmen, segera ia memasuki kamar Mustapa. Alangkah
terkejutnya! Mustapa dan gadisnya tiada lagi berada di dalam kamarnya.
Cepat-cepat ia mencari pen-jelasan kepada pelayan losmen. Pelayan itu
berkata kalau Mustapa dan gadisnya dijemput oleh sebuah kereta.


Menurut pendengarannya ada seorang kenalannya yang mengundang mereka berdua
mengunjungi rumahnya.


"Siapa yang mengundang mereka?" Sangaji menegas.


Pelayan tak dapat menerangkan. Karena itu Sangaji bergegas kembali ke
kadipaten. Dan belum lagi dia melaporkan apa yang telah ter


jadi di losmen, terdengarlah Sanjaya tertawa melalui dadanya. "Sahabat
kecil! Mana mereka? ..."


Tanpa curiga, Sangji menjawab, "Mereka tidak ada dalam kamarnya. Ada
seseorang mengundang mereka ke rumahnya. Entah ke mana."


Sanjaya nampak menghela napas. Katanya seakan-akan menyesal, "Eh ... ke
mana mereka pergi ...?" Kemudian berpaling kepada salah seorang penjaga dan
terus memberi perintah.


"Cari mereka sampai ketemu. Lalu ajakiah ke mari."


Penjaga itu membungkuk dan bersembah, kemudian mengundurkan diri.
Panembahan Tiritomoyo menjadi sibuk sendiri. Kecurigaannya lantas saja
membersit hebat. Akhirnya dia berkata dalam hati, hm ... biarpun kamu main
sandiwara di depanku, sebentar atau lama akan terbongkar kedokmu.


Mendadak Sanjaya berkata minta pertimbangan, "Paman! Mereka tidak ada. Lalu
bagaimana baiknya?"


"Hm." Dengus Panembahan Tirtomoyo. "Kamu licin seperti belut, anak muda.
Kukhawatirkan kau akan menumbuk batu."


Sanjaya tertawa gelak. Dan Danuwinoto hamba berperut gede yang berdiri di
sam-pingya, tak senang hati mendengar kata-kata Panembahan Tirtomoyo.
Memang semenjak majikannya memberi perintah mengambil derma sebanyak 50
ringgit itu bukan jumlah yang sedikit. Dia sendiri hanya bergaji 20 ringgit
setiap bulannya sebagai bupati anom.


Eh ... tak karuan-karuan jadinya. Mengapa Raden Mas Sanjaya sudi bersikap
merendah terhadap pendeta brandalan ini, pikirnya. Lalu ia maju lagi sambil
membentak.


"Hai pendeta bau, siapa sih kamu sebenarnya? Dari mana pula asalmu, sampai
berani main gila di sini? Apakah pendapa kadipaten ini kau anggap sebagai
surau kampungan?"


Panembahan Tirtomoyo tak meladeni, hanya membalas bertanya,


"Tolong terangkan kepadaku kamu orang Jawa atau Belanda? Atau memang orang
blesteran?"


Dikatakan orang blasteran bukan main gusar si Danuwinoto. Tanpa berbicara
lagi, ia lalu melompat. Tinjunya terayun hendak mendorong muka Panembahan
Tirtomoyo. tetapi ia ketumbuk batu. Panembahan Tirtomoyo ternyata tiada
berkisar dari tempat duduknya. Dia hanya melempar putungan panganan sambil
berkata, "Eh, kau begini galak. Kalau kau mau menerangkan terus-terang,
sudahlah tak usah berbicara."


Danuwinoto kaget bukan main. Tiba-tiba saja ia tertahan dan dadanya menjadi
sesak seperti kena tindih suatu benda seberat seratus kati. Meledak dia
berseru, "Bangsat! Kau menggunakan ilmu siluman macam apa?


"Sabar! Sabar, Tuan bupati..." tiba-tiba terdengar suara parau, itulah
suara Yuyu Rumpung.


Mendengar suara itu, Danuwinoto mau melompat mundur, tapi tubuhnya
benar-benar seperti tertancap di lantai. Yuyu Rumpung segera menolong.
Dengan menggunakan separoh tenaga, ia menghentakkan. Tetapi sebenarnya,
separo tenaganya lebih dari cukup. Danuwinoto kena




terenggutkan, hanya terlalu kuat sehingga pembesar berperut gede terpental
dan jatuh terjengkang ke lantai. Karuan saja para hadirin lainnya, tertawa
ber-kakakan.


Danuwinoto segera bangun dengan tertatih-tatih. Hebat rasa mendongkolnya,
tetapi ia tak berdaya menghadapi Panembahan Tirtomoyo. Karena merasa diri
tak ungkulan, dengan memaksa diri menelan malu, ia ngoyor pergi seperti
seorang yang habis kencing.


"Ilmu wilayah Gunung Lawu memang tiada tandingnya. Pantas tak memandang
sebelah mata dengan ilmu-ilmu lainnya. Sampai berani membantu anak waris
ilmu Jaga Saradenta segaluh si keparat," teriak Yuyu Rumpung.


"Bagaimana berani aku menerima pujian-mu." Sahut Panembahan Tirtomoyo
dengan sabar.


"Dengan pendekar-pendekar Gunung Lawu, pihak kami tidak ada suatu perkara.
Sekarang perkenankan kami memohon keterangan, mengapa Tuan membantu musuh
kami bebuyutan? Meski si keparat Jaga Saradenta berada di sini pula, kami
yang bodoh ini tidak bakal mundur selangkah pun juga."


"Barangkali Tuan hanya salah mengerti," kata Panembahan Tirtomoyo. "Aku
kenal siapa Jaga Saradenta. Tetapi hanya kenal namanya, bukan orangnya.
Antara dia dan aku belum pernah saling berhubungan. Karena itu bagaimana
bisa Tuan menuduh aku membantu dia? Dalam hal apa?"


"Bagus! Bagus!" teriak Yuyu Rumpung sambil berdiri tegak. "Kalau begitu
serahkan bocah itu kepadaku!" habis berkata begitu, dengan sebat ia
meloncat menerkam dada Sangaji.


Panembahan Titomoyo terperanjat. Cepat luar biasa ia mendorong Sangaji dari
tempat duduknya sehingga terpental jauh, sedang lengannya sediri menyambut
serangan orang.


Yuyu Rumpung tak sempat lagi menarik serangannya. Ia menubruk kursi kosong
sehingga hancur berantakan. Sedang sikunya cepat-cepat menangkis lengan
Panembahan Tirtomoyo.


"Bagus! Benar-benar kamu melidungi dia!" teriaknya marah.


"Sabar Tuan," kata Panembahan Tirtomoyo. "Bocah ini aku yang membawa
kemari. Karena itu sedikit banyak aku yang harus memikul tanggung jawab.
Sekiranya Tuan masih saja berdendam kepadanya, tak dapatkah Tuan mencari
kesempatan pada lain kali, saat aku tidak ada di sampingnya?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar