@bende mataram@
Bagian 159
Sangaji menoleh ke Titisari dan ia tercengang-cengang lagi melihat kawannya
itu begitu penurut. Percaya, kalau Titisari yang cerdik dan cerdas otak
pasti sudah menemukan sesuatu hal yang beralasan, segera ia datang
membantu. Tetapi baru saja, ia hendak berjongkok tiba-tiba orang yang
menamakan diri Gagak Seta itu menolaknya.
"Jangan sampai kau sentuh ikan-ikan itu. Tanganmu akan mengotori dan
merubah selera."
Kena dorong itu, Sangaji terkejut. Ia merasakan suatu tenaga dahsyat yang
halus sehingga tiba-tiba saja tubuhnya sudah kena digeser pergi sampai
memepet dinding. Teringat akan sikap Yuyu Rumpung yang tiba-tiba jadi jinak
oleh suatu gertakan saja dan ia sendiri merasakan pula tenaga orang itu
begitu dahsyat, mau tak mau ia harus bisa menempatkan diri.
"Paman! Apakah benar-benar Paman doyan sambel lele?" tiba-tiba Titisari
berkata dengan suara riang dan ikhlas.
"Apa kamu merasa kurugikan?"
"Tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya ingin minta ketegasanmu. Kalau Paman
doyan ikan lele, biarlah esok hari aku menangkap yang lebih banyak lagi.
Dan aku akan memasakkan Paman yang istimewa."
"Eh Nona kecil! Aku singgah kemari karena kebetulan saja. Sewaktu aku lagi
mengutuki hujan tiba-tiba aku mencium bakaran ikan."
Dengan cekatan Titisari melayani orang itu. Ia membakar terasi yang segera
menusuk hidung sangat tajam, sampai orang kulit putih itu mulutnya jadi
berliur.
"Wah cepat! Cepat!" orang itu menjerit-jerit. "Aku bisa mati kausiksa."
Titisari tertawa geli menyaksikan perangai orang kulit putih itu. Tatkala
ia mendengar, bahwa orang itu bernama Gagak Seta, teringatlah dia akan
tutur-kata ibunya. Orang itu pernah bertanding melawan ayahnya mengadu
kepandaian. Masing-masing tiada yang kalah atau menang. Tadi, sewaktu ia
melihat orang bule bisa masuk ke dalam gua seperti kelelawar sampai bisa
menerobos penjagaan Yuyu Rumpung, ia sudah curiga.
Karena ciri khas pribadi Gagak Seta itu ialah warna kulitnya yang putih.
Ayahnya sering menyebutnya sebagai si jembel bule. Ia adalah salah seorang
dari tujuh tokoh sakti pada zaman itu. Pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kedua,
Pangeran Mangkubumi I. Ketiga, Adipati Surengpati. Keempat, Kyai Haji
Lukman Hakim. Kelima, Gagak Seta. Keenam, Kebo Bangah. Dan ketujuh, Raden
Mas Said yang terkenal dengan Pangeran Samber Nyawa. Mengingat dia
menduduki urut nomor lima, bisa dibayangkan betapa tinggi kepandaiannya
bahkan kini, sesudah Pangeran Mangkubumi I, Kyai Haji Lukman Hakim dan
Pangeran Samber Nyawa sudah wafat, ia menduduki nomor urut yang ketiga.
Sebenarnya nomor urut itu adalah tutur-kata orang belaka. Andaikata keempat
tokoh sakti itu saling bertempur mengadu kepandaian tidak salah seorang
yang bisa memperoleh tingkat tertinggi. Masing-masing memiliki gegebengan
sendiri yang sudah mencapai tingkat sempurna.
Waktu itu Titisari selesai mempenyet tiga ekor ikan lele dan diserahkan
dengan senyum ikhlas kepada Gagak Seta. Ternyata Gagak Seta seperti orang
sebulan tidak makan. Begitu dia mencium bau ikan, terus saja tangannya
menyambar dan dengan serakah dijejalkan ke dalam mulutnya, la makan begitu
bernafsu, sampai ketiga ekor lele itu lenyap hingga ke tulang-tulangnya.
"Bukan main! Bukan main!" serunya memuji. "Entah kau ini anak iblis, anak
setan atau anak malaikat! Tanganmu begitu sedap, sampai aku benar-benar
merasa takluk. Hai, bagaimana kamu bisa membuat ikan kali ini begini
nikmat? Setua ini, belum pernah aku merasakan suatu
kenikmatan seperti hari ini."
Titisari tertawa dan ia menyodorkan dua ekor ikan lagi yang sebenarnya
adalah bagiannya dan bagian Sangaji.
"Ah! Bagaimana aku..." Gagak Seta menolak. "Kamu berdua belum makan..."
Tetapi mulutnya berkata demikian, tangannya sudah menyambar dan sebentar
saja dua ikan lele itu telah habis digerogoti. Setelah itu dia
berjungkir-balik sambil menekan perutnya.
"Hai perut edan! Perut bangsat! Bagaimana kamu berani menggaglak milik orang!"
Mula-mula Sangaji heran menyaksikan perangai orang itu. Berdiam diri ia
beradu pandang dengan Titisari. Tetapi begitu mendengar ucapannya, mau tak
mau ia tersenyum geli.
"Hai anak muda!" tiba-tiba Gagak Seta berdiri tegak di depannya sambil
merogoh kantongnya, ia berkata lagi, "Kulihat tadi, kamu belum kebagian.
Berapa aku mesti bayar?"
"Aku bukan seorang penjual makanan," jawab Sangaji sederhana. "Seumpama aku
pun seorang penjual makanan, terhadapmu tak bakal kuminta uang. Kamu
kuanggap sebagai sahabat."
"Eh, mana bisa begitu? Malam ini hujan badai. Malam begini ini, enaknya
makan serba hangat dan minum."
"Aku takkan mati kelaparan, karena tidak makan ikan lele sekali saja."
Sangaji tersenyum.
Gagak Seta tertawa lebar. Dengan agak sungkan, ia berkata, "Inilah sulit.
Selama hidupku, tak pernah aku menerima budi seseorang. Meskipun aku
seorang jembel."
"Apakah arti lima ikan lele? Lagi pula kami tidak membelinya. Kami hanya
mengambil dari sungai. Kalau kamu ingin membalas budi, nah lemparkan uangmu
ke dalam sungai."
Gagak Seta terkekeh-kekeh. Mendadak Titisari menyambung.
"Kamu tadi ingin menikmati minuman hangat pada malam hari begini? Bagus!
Tunggulah barang sebentar! Aku akan memasak kopi untukmu."
"Hai! Hai! Jangan! Jangan! Bagaimana aku bisa menerima pemberianmu?" teriak
Gagak Seta. Tetapi sekali lagi mulutnya mengucap demikian, tangannya lantas
saja mengeluarkan tempurung usang dari dalam ikat pinggangnya dan terus
diangsurkan kepada gadis itu.
Titisari tersenyum geli sambil mengerlingkan mata kepada Sangaji.
"E-hem! Anak muda!" kata Gagak Seta kepada Sangaji. "Apakah dia isterimu?"
Merah muka Sangaji mendengar pertanyaan itu. Belum lagi dia menjawab, Gagak
Seta meneruskan.
"Dia begitu pintar dan cekatan. Kau sangat beruntung! Hm... sekiranya dulu
ada yang sudi jadi istriku dan kemudian mempunyai anak gadis seperti dia,
tanggung kukantongi selama hidupku. Kau tak bakal bertemu, anak muda. Eh,
siapa namamu?"
Sangaji hendak membuka mulut, tetapi sekali lagi Gagak Seta memotong.
"Kulihat tadi kedua kudamu kehujanan di luar. Apa kamu mau membiarkan
binatang-binatang itu sakit perut?"
Teringat akan kudanya, Sangaji terkejut. Ya, kedua kudanya tadi belum lagi
diteduhkan ke dalam gua. la hanya mencencangnya begitu saja di bawah
mahkota dedaunan. Sama sekali tak terpikirkan, kalau mahkota dedaunan belum
tentu dapat melindungi deras hujan turun terus-menerus tiada hentinya.
Serentak ia meloncat dan melesat ke luar gua. Hujan deras tak diacuhkan,
Pakaiannya yang kotor kena debu gua sewaktu berkelahi tadi, cepat jadi
basah kuyup.
Gagak Seta mengawaskan dengan meng-urut-urut jenggotnya yang berwarna
kelabu. Berkata kepada Titisari, "Apa dia suamimu?"
Tadi Titisari mendengar Gagak Seta menegas kepada Sangaji tentang
hubungannya. Gadis itu
ingin sekali mendengarkan jawaban Sangaji. Kini, di luar dugaannya dia pun
menghadapi suatu pertanyaan yang mestinya mudah, tapi tiba-tiba begitu
sulit. Sampai otaknya yang cerdaspun tak kuasa menjawab. Mau dia mengiakan,
mendadak saja jantungnya ber-degupan.
Gagak Seta tidak mendesak. Ia hanya tertawa perlahan sambil berputar
menghadap padanya. "Anak muda itu seperti tabiatku."
"Apakah yang sama?" Titisari menyahut sulit mengatasi perasaannya.
"Agak ketolol-tololan, seperti masa mudaku. Mungkin otaknya bebal. Coba
lihat! Terhadap binatang saja, dia berani membiarkan dirinya kehujanan.
Apakah kekuatan tubuhnya jauh lebih kuat daripada kuda?"
Orang tua itu lantas tertawa terkekeh-kekeh.
"Justru demikian, aku senang berkawan dengan dia," Titisari membela. "Hai!
Kawan?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar