@bende mataram@
Bagian 147
Dugaan Ki Hajar Karangpandan itu ternyata separuh benar. Sanjaya memang
belum meninggalkan lapangan, la menyelinap di antara gerombolan manusia dan
mengintip keadaan mereka. Inginlah dia mengetahui, apakah yang akan
dilakukan mereka selanjutnya. Terhadap kematian Wayan Suage ia tak
mempunyai kesan banyak, la hanya terkejut menjadi mendongkol dan ingin
melihat kematian gurunya pada hari itu juga. Pikirnya, kalau dia masih saja
hidup, di kemudian hari pasti akan menyusahkanku. Tetapi gurunya ternyata
tak dapat ditewaskan oleh tetamu-tetamu undangan ayah angkatnya. Inilah
yang membuat hatinya keder. Untuk kepentingannya pada hari depan, ia
mengetahui apa yang akan dilakukan gurunya.
Mendadak saja, ia melihat gurunya menyelidiki tiap-tiap gerombol manusia.
Sudah barang tentu hatinya kebat-kebit. Hati-hati ia mencoba mendekam dan
berjalan mengendap-endap. Tetapi mata gurunya benar-benar tajam luar biasa.
Ia seperti memiliki Ilmu Penciuman. Belum lagi ia sadar apa yang akan
dilakukan, gurunya telah meloncat ke udara hendak menerkam gundulnya.
Gntunglah pada saat itu, berkelebatlah sesosok bayangan.
Bayangan itu adalah seorang manusia berkepala gede, berambut panjang dan
berkulit hitam mengkilat. Dengan menerbitkan kesiur angin, ia memapaki
pukulan Ki Hajar Karangpandan yang terjun dari udara. Suatu bentrokan
dahsyat tak dapat dihindarkan lagi.
Ki Hajar Karangpandan adalah seorang ahli yang sukar dicari tandingannya
pada zaman itu. Tetapi begitu pukulannya kena bentrok, seketika itu juga ia
terbang terbalik dan turun ke tanah dengan terhuyung tiga langkah,
sedangkan yang menyerang, tetap berdiri tegak.
Bukan main heran Ki Hajar Karangpandan. Siapakah orang itu yang bisa
mengundurkan dia sampai tiga langkah? Gntuk sekian tahun lamanya, ia selalu
membanggakan ilmu pukulannya yang tak terlawan oleh tenaga apa pun juga.
Tiba-tiba pada hari itu ia menemukan seorang lawan tangguh yang memiliki
tenaga lebih kuat daripadanya. Cepat-cepat ia mundur dua langkah lagi untuk
memusnahkan tenaga lawan.
"Hai, kamu iblis darimana?" bentaknya.
Manusia berkepala gede itu tertawa menyeringai, tapi ia tak melepaskan satu
patah katapun juga. Ki Hajar Karangpandan lantas saja sadar, kalau musuhnya
seorang yang tinggi hati dan angkuh. Tetapi dia pun tak kalah pula tinggi
hati. Menduga, kalau orang itu pun adalah salah seorang pembantu Pangeran
Bumi Gede yang tadi beramai-ramai mengkerubut dirinya, maka tak sudi lagi
ia minta keterangan. Mendadak saja terjadilah suatu pemandangan yang
mendirikan bulu-romanya. Sanjaya muncul di antara kerumun orang. Pemuda itu
lantas saja membungkuk hormat kepada si kepala gede sambil berkata, "Guru!
Diapun dahulu adalah guruku. Sayang, dia membela musuh dan meninggalkan
murid. Apakah orang begitu, pantas untuk dihormati dan dihargai?"
Ki Hajar Karangpandan heran melihat sikap Sanjaya.
Hampir-hampir ia tak percaya kepada pendengarannya sendiri. Sanjaya
menyebut orang itu sebagai gurunya? Ini aneh! la mau menduga, bahwa
muridnya itu akan main gila. Maklumlah,
terhadap tabiat dan perangai muridnya, ia paham seperti mengenal buku-buku
jarinya sendiri. Tetapi ketika mendengar ujar Sanjaya yang begitu menghina
dirinya terang-terangan di depan orang asing, sadarlah dia seketika itu
juga. Seperti belirang, hati dan jantungnya lantas saja terbakar sehingga
dadanya serasa hampir meledak.
"Bedebah! Jahaman!" bentaknya.
Berbareng dengan bentaknya, ia meloncat hendak menerkam tengkuk muridnya.
Namun sekali lagi, orang berkepala gede itu mema-paki pukulannya. Gntuk
kedua kalinya, ia mengadu tenaga. Juga kali ini, ia kena dimundurkan tiga
langkah.
Tetapi kali ini ia tak mau mengalah dengan begitu saja. Sebat luar biasa ia
mulai menyerang dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya orang berkepala gede itu
pun lantas saja mengibaskan tangan dan melayani gerak-gerik Ki Hajar
Karangpandan tak kurang-kurang gesitnya. Tak lama kemudian, ia bahkan mulai
membalas menyerang dengan hebatnya.
Ki Hajar Karangpandan sebenarnya mempunyai kepandaian yang jarang
tandingannya pada zaman itu. Tetapi hatinya agak tercekat melihat lawannya
memiliki tenaga jauh lebih perkasa. Maklumlah selama hidupnya, ia mau
menang sendiri dan menganggap semua orang tak mampu menandingi dirinya. Tak
tahunya ia menghadapi suatu kenyataan di luar dugaannya. Itulah sebabnya,
hatinya jadi ciut dan menebak-nebak. Maka ia tak berani lagi melepaskan
serangan. Gerak-geriknya kini berubah menjadi jurus-jurus mempertahankan
diri. Kedua lengannya menyambar-nyambar rapat seperti kitiran dan
melindungi dadanya rapat-rapat.
Mendadak saja ia mendengar suara orang berteriak. Itulah Jaga Saradenta
yang datang bersama Ki Tunjungbiru.
"Hai pendeta edan! Berkelahilah dengan sungguh-sungguh! Musuhmu bukan
manusia wajar. Ia seorang iblis. Namanya Pringgasakti," teriaknya nyaring.
Ki Hajar Karangpandan terkesiap. Sebagai seorang tokoh pejuang di zaman
Perang Giyanti, sudah barang tentu ia mengenal nama itu. Hanya saja, belum
pernah ia melihat batang hidungnya. Karuan saja, hatinya bertambah ciut.
Meskipun demikian, ia tak menjadi gugup. Cepat luar biasa ia menarik
pedangnya dan terus saja membuka suatu serangan berantai.
Orang yang disebut Pringgasakti, sesungguhnya adalah Pringgasakti dahulu
yang berkeliaran di sekitar Jakarta dan pernah menggabungkan diri dengan
rombongan Pangeran Bumi Gede empat tahun yang lalu, tatkala pangeran itu
sedang mengadakan pembicaraan dengan kompeni. Dahulu ia datang di Jakarta
dengan adiknya Pringga Aguna. Tetapi dengan tak sengaja, Sangaji membunuh
Pringga Aguna dengan pistol di tengah lapangan kala sedang bertempur
melawan kedua gurunya. Itulah permulaan babak baru bagi langkah-langkah
Pringgasakti selanjutnya. Dengan tekun ia menyelidiki sebab musabab
kematian adiknya. Jenazahnya diperiksa dengan cermat. Ketika mene-mukan
luka yang menyebabkan adiknya mati, bersumpahlah dia akan mencari si
pembunuh sampai ketemu. Demikianlah, ia bertemu dengan Jaga Saradenta,
Wirapati, Ki Tunjungbiru dan Sangaji yang sedang bermain sandiwara untuk
mengelabui dirinya sampai ia rela melepaskan Sonny si gadis Indo yang
hendak dijadikan kelinci percobaan mengompes keterangan. Karena takut
kepada ancaman pendekar-pendekar Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi yang
dahulu diperankan oleh Ki Tunjungbiru dan Wirapati, cepat-cepat ia
meninggalkan Jakarta dan mengabdi kepada Pangeran Bumi Gede. Sebagai
seorang yang cerdik lagi cerdas, Pangeran Bumi Gede lantas saja menerima
pengabdiannya dengan tangan terbuka. Ia bahkan menyerahkan Sanjaya agar
diasuhnya sebagai murid.
Beberapa bulan lamanya ia mengasuh Sanjaya, sambil menghisap-hisap berita.
Siapa tahu, ia bisa menemukan si pembunuh adiknya. Dasar Sanjaya seorang
yang cerdas, segera ia bisa menurunkan ilmu pukulan-pukulannya yang
berbahaya dan khas. Ilmu pukulan itulah yang dilihat Sangaji, sewaktu
Sanjaya bertempur melawan Nuraini dan Mustapa di gelanggang adu nasib.
Demikianlah, pada hari itu Pringgasakti keluar pula dari istana untuk
mengawal Pangeran Bumi Gede dengan diam-diam. Mendadak saja ia mengenal Ki
Tunjungbiru,
Jaga Saradenta, Wirapati dan Sangaji. Ia bersyukur dalam hati. Itulah
sebabnya begitu ia melihat Ki Hajar Karangpandan hendak menghukum muridnya,
segera dia tampil ke muka memapaki dengan menggunakan enam bagian
tenaganya. Ternyata musuhnya tangguh luar biasa, sehingga hatinya jadi
tercekat. Pikirnya, belum lagi mereka datang bersama aku bertemu dengan
seorang lawan bukan sembarangan. Kalau aku tak bisa merobohkan dia sebelum
mereka datang, alangkah akan bertambah sulit. Ia mencoba menggebu Ki Hajar
Karangpandan. Tetapi lawannya benar-benar bukan makanan empuk. Dugaannya
tepat. Jaga Saradenta dan Ki Tunjungbiru tiba-tiba saja telah datang dan
segera memberi peringatan Ki Hajar Karangpandan.
"Ohooo...! Selamat bertemu kembali," katanya nyaring. "Apa kabar pendekar
Gagak Seta dan Kasan Kesambi? Mana mereka?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar