@bende mataram@
Bagian 161
"Titisari! Entahlah! Otakku bebal dan aku merasa dungu. Bagiku... kalau aku
sendiri belum memiliki dan merasakan sendiri pula, rasanya aku belum bisa
mengiyakan. Entahlah...
mengapa aku mempunyai pendapat demikian? Tak salah bukan?"
Titisari meruntuhkan pandang ke perdi-angan. la membungkam. Meskipun
otaknya cerdas luar biasa, bagaimana dia bisa mengadili ucapan Sangaji yang
dinyatakan dengan jujur. Sangaji sendiripun tak pernah mengira kalau
pernyataan itu dikemudian hari akan terjadi. Dia tidak hanya memiliki ilmu
semacam itu, bahkan akan memiliki suatu ilmu tertinggi di jagad ini.
Waktu itu, air telah mendidih benar-benar. Dengan cekatan Titisari mengaduk
bubuk kopi. Harum kopi mengasap ke seluruh ruang goa. Mendadak saja, hidung
Gagak Seta ber-gerak-gerak. Belum lagi Titisari selesai mengadukkan gula,
orang tua itu sudah melesat dan sekaligus menyambar tempurungnya.
"Harum! Harum! Eh, Hidungku! Hm... kau percaya tidak anak muda? Hidungku
ini nyaris kupotong sendiri karena begitu galak."
Sangaji dan Titisari terperanjat. Sama sekali mereka tak mengira, orang tua
itu bisa bangun dengan sekonyong-konyong. Tadi ia tak bergeming karena
siraman air panas. Tapi dengan hawa kopi hangat belaka, hidungnya bisa
mengajak bangun. Ini aneh dan menggelikan.
Mau tak mau, kedua pemuda itu sibuk menduga-duga pribadi pendekar sakti
tersebut.
"Ah, Nona kecil! Benar-benar aku takluk padamu," kata Gagak Seta setelah
menghirup kopinya. "Hm, begini lezat. Sepuluh tahun lamanya aku pernah
mengaduk-aduk dapur istana Kasunanan dan Kasultanan. Tak pernah sekali
juga, aku menikmati kopi sehebat ini. Barangkali benar-benar kamu anak iblis."
Setelah berkata demikian, ia tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian dengan mulut
se-rabutan ia mencoba menghirup habis kopinya.
Titisari waktu itu membuat tiga tempurung kopi. Sebenarnya satu untuk
Sangaji dan lain untuknya sendiri. Tetapi ketika melihat keserakahan Gagak
Seta, ia menyerahkan kopinya. Bahkan Sangaji dengan hormat berbuat demikian
juga.
"Hai! Apa kalian akan menyuapku?" tegur Gagak Seta seperti uring-uringan.
Tetapi ia menerima juga suguhan. Dan dengan sekali hirup, ia menghabisi
riwayat kopi hangat pada malam hari itu.
"Hai! Hai! Perutku!" Gagak Seta menyesali perutnya sendiri. Lantas ia
mengeluarkan seonggok tembakau dan seikat kelobot.
Dengan penuh kepuasan, ia menggulung sebatang rokok raksasa dan disumpalkan
ke dalam mulutnya. Sangaji melompat ke perdiangan menolong menyalakan,
kemudian duduk dengan takzim di depannya.
"Hm," dengus Gagak Seta sambil mengepulkan asap ke udara. "Aku tahu, kalian
begini bersikap baik kepadaku karena mempunyai maksud yang tidak baik.
Kalian mau menyuapku, agar aku sudi mengajari sesuatu ilmu bukan?"
Sangaji hendak membantah, mendadak ia melihat pandang mata Titisari memberi
isyarat kepadanya. Karena itu ia batal sendiri.
"Baiklah! Tak mengapa. Aku telah menenggak kopi dan semua ikan kalian.
Rasanya kurang adil, jika aku tak membayar dengan sepantasnya. Nah, aku
ingin kalian memperlihatkan kepandaian macam apa kepadaku."
Sangaji menoleh kepada Titisari minta pertimbangan. Gadis itu mengangguk
kecil. Dan mereka berdua lantas berdiri.
"Paman!" tiba-tiba Titisari berkata, "Sama sekali tak kuduga bahwa Paman
seorang jahat."
"Jahat?" Gagak Seta heran. "Paman berpura-pura tidur untuk mendengarkan
pembicaraan kami bukan?"
Sebentar Gagak Seta terhentak. Kemudian menangkis, "Baik. Aku mendengar
semua pembicaraanmu, Apa salahnya?"
"Bagus!" Titisari membalas. "Kami pun menyuguh seseorang sekedarnya, karena
kami hanya mempunyai beberapa ekor ikan lele, sambel dan kopi. Tapi Paman
mengatakan tidak baik. Manakah yang tidak baik."
Kembali Gagak Seta terhenyak. Kemudian tertawa meledak.
"Iblis kecil! Kau benar-benar licik!" serunya, "Baiklah, aku mengaku kalah.
Tetapi seumpama orang membayar, aku masih kurang satu lagi. Aku
menggerogoti ikan-ikanmu dan kalian sudah menagih bayarannya dengan
menyiram air panas. Aku telah menghirup habis kopimu... Nah, untuk ini aku
belum membayar. Sekarang mau kutebus dan kubayar hutang itu. Karena aku tak
sudi berhutang budi pada kalian."
"Paman sudi membayar, juga baik. Tidak membayar pun, baik pula." "Kenapa?"
"Sebab dalam hal ini tidak ada jual-beli. Kalau aku menyiram air panas,
bukan maksudku menagih bayaran. Sama sekali tidak! Tapi semata-mata, karena
ingin mendapat keyakinan apakah Paman benar-benar tokoh sakti bernama Gagak
Seta."
"Apa ada yang bakal memalsu?" Gagak Seta memotong. "Apa ada Gagak Seta
palsu?" Titisari tak mau mengalah. "Di manakah Gagak Seta palsu?" Gagak
Seta tersinggung.
"Kalau Paman sudah yakin tidak Gagak Seta palsu, mengapa Paman membicarakan
perkara palsu dan tulen?"
Untuk ketiga kalinya, Gagak Seta terhenyak, la mengamat-amati Titisari
secermat-cermat. Kemudian tertawa berkakakan.
"Belut kecil! Benar-benar kamu seperti anak iblis!" serunya kagum. Kemudian
mengalihkan pembicaraan, "Baik! Nah, kamu anak muda, siapakah namamu?"
Sangaji yang semenjak tadi berdiam diri, kemudian menjawab, "Namaku
Sangaji. Dan dia Titisari."
"Hm, nama bagus! Kamu mau minta pelajaran ilmu apa? Bilang! aku akan
mengajarimu sejurus dua jurus sampai bisa."
Sangaji diam berpikir. Tak tahu dia apakah yang harus dikemukakan. Dalam
soal ilmu kepandaian tata-berkelahi sesungguhnya pengetahuannya kurang
luas. Maklumlah, dia hanya menjadi murid Jaga Saradenta dan Wirapati dalam
waktu empat tahun saja.
Selama itu—karena tergesa-gesa, kedua gurunya tak pernah memberinya
pengertian tentang macam ilmu yang berada di persada bumi ini.
"Paman Gagak Seta." Tiba-tiba Titisari menolong dia berbicara. "Dia ini
seorang laki-laki yang sok uring-uringan. Dia gampang marah. Kalau dia
kalah bertanding melawanku, dia menggeremengi aku sepanjang hari sampai
kupingku ngeri dibuatnya."
"Hai! Kapan aku pernah menggere-mengimu... ?" Sangaji memotong
tergegap-gegap. Tetapi
kakinya terus digencet Titisari, sehingga tahulah dia bahwa kawannya itu
sedang mengarang cerita burung. Maka terpaksa ia membungkam mulut.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar