@bende mataram@
Bagian 154
"Karena hilangnya kitab pusaka itu juga, perangai ayah lantas berubah. Dia
menjadi pendiam luar biasa dan menjadi seorang pemarah," Titisari
melanjutkan. "Semua nelayan dan para pegawai dihukumnya kejam.
Sedangkan terhadapku, ia tak memperhatikan lagi seperti dahulu. Jarang
sekali ia berbicara manis kepadaku dan sering bepergian entah ke mana.
Barangkali berusaha merebut kembali kitab pusaka kami. Karena itu dalam
hatiku, aku selalu berdoa semoga iblis itu bisa ter-bekuk lehernya. Sayang,
aku telah berjumpa dengan dia di sini. Sedangkan Ayah entah berada di mana
kini. Sekiranya Ayah mengetahui tempat beradanya, alangkah..."
"Siapakah ayahmu itu, Nona?" Panembahan Tirtomoyo memotong lagi.
Gadis itu menyiratkan pandang kepada Sangaji. Kemudian menjawab, "Ayahku
seorang adipati di kepulauan Karimun Jawa. Namanya Surengpati Mesgapati.
Mengapa?"
Mendengar nama Adipati Surengpati, mereka semua jadi terkejut. Wajah mereka
berubah hebat seperti seorang anak melihat momok yang menakutkan. Sangaji
heran tak kepalang menyaksikan perubahan mereka. Lantas saja dia jadi sibuk
menebak-nebak.
Terhadap Adipati Surengpati, sesungguhnya mereka semua mempunyai kesan
setengah baik setengah tidak. Sebagai pejuang-pejuang pembela bangsa,
mereka kenal tokoh Surengpati sebagai seorang ksatria anti Belanda. Dia
dahulu berada di salah satu istana keluarga ningrat di Yogyakarta. Tetapi
karena bencinya terhadap Belanda, ia memilih mengasingkan diri dan bermukim
di seberang lautan. Karena sikapnya itu, semua pejuang menaruh hormat
kepadanya. Tetapi sebagai manusia Adipati Surengpati terkenal sebagai
seorang yang berwatak angkuh, tinggi-hati, sombong, mau menang sendiri dan
kejam. Terhadap para pejuang-pejuang bangsa, ia bersikap merendahkan.
Karena ia menganggap ilmunya jauh lebih tinggi daripada semua manusia yang
hidup di persada bumi ini. Gmurnya kini belum melampaui 50 tahun. Tetapi
menurut kabar, ilmu kepandaiannya benar-benar patut dikagumi. Kalau tidak
masa seorang iblis semacam Pringgasakti sampai berguru kepadanya. Dan kalau
si iblis Pringgasakti saja sudah susah dilawan, mereka bisa membayangkan
bagaimana tinggi ilmu kepandaian Adipati Surengpati. Mereka sadar, bahwa
ilmu kepandaian Adipati Surengpati sudah mencapai suatu taraf yang susah
untuk dijajaki.
"Bagus-bagus," tiba-tiba Ki Hajar Karangpandan berkata setengah bersorak.
"Tulang-belulang
boleh berserakan tapi tulang-belulang itu pada suatu kali pasti berkumpul
juga."
Mereka semua heran mendengar ujar Ki Hajar Karangpandan, karena tak tahu
maksudnya. Melihat mereka sibuk menebak-nebak arti kata-katanya, pendeta
edan itu senang luar biasa. Lantas saja dia berkata lagi,
"Bukankah cukup terang? Lihat! Muridku yang murtad berguru kepada iblis
itu. Dan anak didik kalian—Sangaji—bersahabat dengan anak guru si iblis.
Ha, apakah bukan setali tiga uang?"
Jaga Saradenta si penaik darah, serentak mendamprat, "Mana bisa begitu?
Muridmu murtad dan menjadi murid iblis. Muridku hanya berkawan dengan anak
guru si iblis. Di manakah ada titik persamaannya?"
"Eh—masa kalian tak kenal siapakah Adipati Surengpati? Sekali muridmu
berkawan dengan anaknya, masa si Jangkrik Bongol akan membiarkan
anak-didikmu luput dari pengamatannya?"
Adipati Surengpati memang mendapat sebutan gelar Jangkrik Bongol, karena
dia seorang pendekar yang ulet dan berani bertanding tak mengenal lelah
kepada siapa saja, seperti seekor jangkrik bongo. Panembahan Tirtomoyo, Ki
Tunjungbiru, Wirapati dan Jaga Saradenta kenal perangai Ki Hajar
Karangpandan yang ugal-ugalan dan edan-edanan. Tetapi dibalik
ke-edan-edanan-nya itu, sesungguhnya ia seorang pendekar yang cerdik. Dia
pandai bertanding tenaga dan mengadu mulut. Sekiranya tidak demikian,
bagaimana dia bisa menjerat Jaga Saradenta dan Wirapati dalam suatu
perjanjian edan-edanan pula dengan memutar lidah belaka. Teringat akan ini,
sebenarnya Jaga Saradenta sudah jeri, tapi dia seorang pendekar yang
berangasan dan gampang naik darah. Karena itu bagaimana sudi membiarkan
diri dipilin orang.
"Apakah kamu berani bertaruh denganku?" tantang Jaga Saradenta.
Mendengar kata-kata bertaruh itu, hati Jaga Saradenta berdegupan. Maklumlah
karena terikat oleh suatu pertaruhan dahulu, terpaksalah ia meninggalkan
rumah-tangganya selama dua belas tahun. Apakah kali ini ia akan mengalami
kepahitan itu lagi? Meskipun ia mempunyai pikiran demikian, sebagai seorang
ksatria lantas saja dia membusungkan dadanya. Tetapi tatkala ia hendak
berkata, mendadak Panembahan mengalihkan pembicaraan.
"Hai! Kalian ini terlalu memikirkan kepentingan diri. Bagaimanakah dengan
jenazah sahabat kalian ini? Apakah dia akan kalian biarkan terbaring di
sini? Lihat, semua penduduk Pekalongan mengawaskan kita semua."
Karena ujar Panembahan Tirtomoyo, semua jadi terkejut. Ki Tundjungbiru yang
pendiam-pun, ikut tersadar. Sebagai seorang kesatria, tadi ia tertarik
benar kepada kata-kata Ki Hajar Karangpandan dan Jaga Saradenta.
Teringatlah dia dahulu pada zaman Perang Giyanti. Juga di Kota Pekalongan
inilah dia pernah bertempur lima hari lima malam melawan si pendeta edan
perkara pantat. Dan akhirnya saling berjanji tidak akan kawin sepanjang
hidupnya.
Mereka kemudian duduk dengan takzim kembali. Ki Hajar Karangpandan segera
menghampiri Nuraini dan berkata dengan penuh perasaan.
"Bagaimana menurut pendapatmu Nona? Di manakah ayah-angkatmu hendak
kaukebu-mikan?"
Nuraini benar-benar nampak berduka. Matanya berkaca-kaca. Dengan menunduk
dia menjawab, "Dia berasal dari Desa Karang-tinalang. Biarlah kubawanya
pulang ke kampung halamannya."
Mendengar ujar gadis itu, semua jadi kaget. Sebab Desa Karangtinalang bukan
dekat letaknya. Belum tentu satu bulan bisa dicapai dengan perjalanan kaki.
Segera mereka membujuk Nuraini agar dikebumikan saja di Kota Pekalongan.
Tetapi Nuraini tetap kukuh. Katanya, "Ayah-angkatku berasal dari Bali dan
beragama Hindu. Menurut pantas jenazahnya harus dibakar. Kemudian abunya
akan kubawa pulang ke kampung halaman."
Teringat akan upacara penguburan seseorang yang beragama Hindu, mereka jadi
berpikir lain
dan menyetujui pendapat Nuraini. Mereka lantas saja bekerja. Sebagai
kesa-tria-kesatria yang sudah banyak berpengalaman, mereka dapat bekerja
cepat. Segera jenazah Wayan Suage dibawa ke luar kota dan dibakar di
pinggir hutan. Mereka menunggu sampai api padam. Dan apabila abunya telah
diserahkan kepada Nuraini, maka masing-masing berpamit hendak melanjutkan
perjalanannya masing-masing.
Panembahan Tirtomoyo sudah hampir sembuh. Bersama Ki Hajar Karangpandan dan
Ki Tunjungbiru, mereka berangkat ke Timur menuju padepokannya. Sedangkan
Jaga Saradenta hendak pulang menjenguk kampung-ha-lamannya dahulu yang
sudah lama ditinggalkan. Baginya, tugas memenuhi perjanjian sudah
diselesaikan dengan baik.
"Engkau pasti akan kembali dahulu ke Sejiwan, bukan?" tanyanya kepada Wirapati.
Pendekar muda itu mengangguk. Kemudian berkata pula, "Pekerjaan kita sudah
selesai. Hanya saja, masih ada urusan lain. Anak-didik kita, bukankah akan
menunggu jenazahnya. Dengan demikian, kita tak boleh membiarkan dia bekerja
seorang diri. Karena itu, setelah kamu menjenguk kampung-halaman barang dua
tiga bulan, cepatlah menyusul ke Sejiwan! Sangaji akan kubawa ke sana dan
biarlah kita menunggumu di sana pula."
Mereka berpisah dengan rasa haru dan gembira. Maklumlah, mereka sudah
berkumpul dan merasa senasib sepaham selama dua belas tahun. Rasa kawan
lebih cenderung kepada rasa saudara-sekandung belaka. Dan rasa gembiranya
terjadi, karena masing-masing akan melihat kampung halamannya yang sudah
dirindukan semenjak lama.
Wirapati hendak menyertai Nuraini pulang ke Desa Karangtinalang. Ia memilih
arah jalan yang pernah dilalui dua belas tahun yang lalu, tatkala habis
mengunjungi padepokan Kyai Lukman Hakim di Cirebon. Sangaji dan Titisari
hendak dibawanya serta pula.
Mendadak Sangaji teringat akan kudanya si Willem. Maka ia minta izin hendak
mengambilnya dahulu, kemudian akan menyusul secepat mungkin.
"Sangaji! Selama hidupmu baru kali ini kamu menginjak daerah Jawa Tengah
dengan sadar. Pastilah kamu belum paham akan lika-liku jalannya menuju ke
Karangtinalang. Lebih baik, kamu langsung saja menuju ke Sejiwan. Kamu bisa
lewat Semarang, Magelang, kemudian mengambil jalan jurusan Kedungkebo.
Sebelum kamu sampai di Purworejo, tanyalah kepada salah seorang penduduk di
mana letak Desa Loano. Dan kamu pasti akan diantarkan sampai ke Sejiwan."
Tetapi di luar dugaan, Sangaji menolak sarannya. Katanya, "Sebenarnya
senang aku boleh berjalan seorang diri sambil mencari pengalaman. Hanya
saja aku harus menjenguk kampung Karangtinalang."
"Mengapa?" Wirapati dan Titisari minta keterangan berbareng. Kemudian
Titisari meneruskan, "Melihat Karangtinalang, mengapa mesti tergesa-gesa?"
"Ya, mengapa begitu?" Wirapati menegas. "Kamu harus menghadap kakek-guru
dahulu.
Setelah memperoleh nasehat-nasehatnya, barulah bersama-sama menjenguk
kampung Karangtinalang. lngat-ingatlah, kamu masih harus menempuh
perjalanan lagi ke timur untuk menuntut dendam kepada Pangeran Bumi Gede.
Dan lawanmu itu bukan lawan yang empuk. Nasihat-nasihat kakek-guru harus
kauperhatikan benar-benar."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar