@bende mataram@
Bagian 144
Orang-orang yang pernah mendengar kabar kesaktian pendekar Gresik itu,
heran melihat dia bersenjata. Menurut kabar, belum pernah sekali juga Cocak
Hijau melayani musuhnya dengan menggunakan senjata. Itulah suatu tanda,
kalau lawannya kali ini bukan sembarang orang.
Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan tetap mengimbangi lawannya dengan
bertangan kosong. Melihat caranya melayani lawan, bisa ia merobohkan dengan
cepat dan mudah. Tetapi dia seolah-olah enggan berbuat begitu, la selalu
mengelak gesit de-ngan sekali-kali melancarkan serangan mendadak. Agaknya
ia mau merampas senjata lawan, agar kemenangannya mempunyai mutu lain.
"Hai Otong pendekar busuk!" serunya, "apakah kamu sudah bisa mengencingi
musuhmu?"
Ki Tunjungbiru tidak menjawab. Dia hanya memperdengarkan suara tertawanya
tajam menusuk. Dan tahulah Ki Hajar Karangpandan, bahwa rekannya telah
memasuki babak penghabisan untuk menentukan gempuran kemenangan terakhir.
Memperoleh kesan itu, lantas saja ia memperhebat tekanan. Ia meludahi Cocak
Hijau, sehingga pendekar Gresik itu memaki-maki kalang-kabut. Bentaknya,
"Sebenarnya kamu pendeta edan dari mana?"
Sudahlah menjadi tabiat Ki Hajar Karangpandan, apabila musuhnya mulai
menilai dirinya, lantas saja dia menjadi edan-edanan. Dengan tertawa
mendongak berbareng meludahi udara,
ia menjawab, "Kamu binatang sekurus cacing, apa ada harganya mengenal
namaku? Aku datang dari udik. Dari padepokan Karangpandan. Namaku Ki Hajar
Karangpandan. Nih, kamu monyet dari rnana sampai mau menjadi begundal
seorang ningrat?"
"Bangsat!" maki Cocak Hijau. "Jadi kamu yang bernama Ki Hajar
Karangpandan." "Ya—kau mau apa?"
Cocak Hijau benar-benar keripuhan. Mau dia mundur, mendadak saja sesosok
bayangan berkelebat dan menangkis serangan Ki Hajar Karangpandan.
"Bagus!" Cocak Hijau tertawa. "Kemarin kami telah melukai seorang pendeta
edan dari Gunung Lawu. Jadi dia pun kakak-seperguru-anmu?"
Ki Hajar Karangpandan terkejut. Bertanya, "Siapa?"
"Hm," dengusnya. "Bagaimana bisa kamu memperbudak Cocak Hijau agar menyebut
nama itu."
"Bagus! Bagus! Siapa yang memaksamu buat mengabarkan nama
kakak-seperguru-anku. Hari ini aku sudah mendengar namamu.' Nah, biar pula
hari ini aku mengubur namamu."
Dia lantas menyerang dahsyat. Cempuling Cocak Hijau yang menyambar-nyambar
berdesingan, tak dihiraukan. Dengan suatu gerakan sebat, ia mendesak dan
terus mendesak. Tiba-tiba merangsak dengan suatu kecepatan yang susah
dilukiskan.
Cocak Hijau benar-benar keripuhan. Mau dia mundur, mendadak saja sesosok
bayangan berkelebat dan menangkis serangan Ki Hajar Karangpandan. Tatkala
dia menoleh, ia heran. Karena yang membantu padanya ialah sang Dewaresi.
Sang Dewaresi sesungguhnya bermusuhan dengan Ki Hajar Karangpandan semenjak
dua-tiga belas tahun yang lalu, sewaktu rombongan Banyumas sedang mengawal
kedua pusaka sakti Pangeran Semono. Semalam, tatkala hendak berdebat dengan
Pangeran Bumi Gede perkara senjata sakti itu, ia telah minta keterangan
pula tentang Ki Hajar Karangpandan. Keruan saja, begitu ia mendengar lawan
Cocak Hijau memperkenalkan namanya, terbangunlah ingatannya. Inilah namanya
pucuk dicinta ulam tiba. Serentak ia menjejak tanah dan melesat memasuki
gelanggang. Datangnya bertepatan tatkala Cocak Hijau akan mendapat bahaya.
Ki Hajar Karangpandan terkejut. Tetapi ia tak menjadi gugup. Dia hanya
heran, mengapa di pagi hari itu ia bertemu dengan tokoh-tokoh pendekar yang
tak boleh dipan-dang enteng. Dan belum lagi ia memperoleh jawaban,
datanglah lagi seorang pendekar lain. Dialah Glatikbiru— pendekar kenamaan
dari Banyuwangi.
Sang Dewaresi terkejut. Glatikbiru pun tak kurang-kurang kagetnya. Mereka
berdua dengan serentak menurunkan sabetan tangannya hendak memotong
pergelangan tangan. Ki Hajar Karangpandan takkan bisa diperlakukan
demikian. Gesit ia menarik cengkram-annya dan menyodokkan tinju kirinya.
Dengandemikian, ketiga orang itu lantas saja mengadu tenaga. Ketiga-tiganya
mundur tiga langkah dan merasakan tangannya panas dan bergetar.
Sekarang Ki Hajar Karangpandan insaf, kalau ketiga lawannya tak boleh di
pandang enteng. Tatkala melihat sang Dewaresi telah menggenggam bindi dan
Glatikbiru tiba-tiba melolos golok, cepat ia menarik pedangnya. Kemudian
dengan sekali tetak ia menikam pergelangan tangan. Sang Dewaresi menarik
tangannya. Tak tahunya, tikaman Ki Hajar Karangpandan itu masih mempunyai
ekornya. Tiba-tiba saja ujungnya meluncur ke arah dada Glatikbiru.
Berbareng dengan elakannya mendadak pula Ki Hajar Karangpandan menikam
dengan jurus lain ke arah betis Cocak Hijau. Dengan begitu ia melayani tiga
orang dengan satu kali gerak. Inilah cara suatu perlawanan yang aneh dan
mengagumkan.
Ki Tunjungbiru yang mengadu kekuatan tak jauh dari Ki Hajar Karangpandan
mengalami pengeroyokan pula. Tadinya ia sudah berhasil menghajar Manyarsewu
kalang-kabut. Ia sudah yakin, kalau akan memenangkan perlombaan. Tak
tahunya tiba-tiba datanglah dua orang pendekar sakti yang lain. Mereka
adalah, Abdulrasim pendekar dari Madura dan Sawungrana pendekar dari Surabaya.
Dua orang pendekar itu lantas saja merangsak dengan melancarkan
serangan-serangan berbahaya. Ki Tunjungbiru heran. Celaka! Rupanya mereka
akan menghabiskan tenagaku dahulu. Kemudian mengadakan pengkerubutan
bersama. Baik! Akan kucoba sampai di mana kekuatan mereka, pikirnya.
Mendapat pikiran demikian, ia segera mengerahkan tenaga. Kemudian
menggempur mereka bertiga dengan berbareng. Hasilnya mengejutkan lawannya
belaka. Mereka tak pernah menduga, kalau lawannya ini memiliki tenaga sakti
getah pohon Dewadaru yang dahsyat. Itulah sebabnya, begitu mereka kena
gempuran, serentak terpental tujuh langkah seperti layang-layang putus.
Di tengah kesibukan itu, berdirilah enam orang yang mempunyai perhatian
masing-masing yang jauh berbeda. Yakni, Pangeran Bumi Gede, Sanjaya, Yuyu
Rumpung, Wayan Suage, Sangaji dan Nuraini.
Pangeran Bumi Gede tetap bercokol di atas pelana kudanya. Pandangnya tajam
dan tak pernah beralih dari pada pertarungan antara para pendekar melawan
Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru. Dia nampak selalu menggosok-gosok
tongkatnya. Suatu tanda, bahwa dalam hatinya timbul suatu keputusan yang
menentukan. Dia adalah seorang pangeran yang bisa bertindak cermat dan
hati-hati jika mempunyai maksud dan tujuan. Tetapi pada suatu kali mendadak
saja bisa pula berlaku kejam luar biasa. Waktu itu ia memberi isyarat
kepada beberapa tamu undangan dan kepala pasukan. Kepada tetamu undangan ia
minta bantuan agar melibat kedua orang sakti yang muncul dengan tiba-tiba.
Dengan begitu kedua orang itu akan terlibat dalam suatu kesibukan yang tak
gampang-gampang dapat membebaskan diri. Sedangkan kepada kepala pasukan ia
memberi perintah rahasia agar menangkap Wayan Suage hidup atau mati. Bagi
dia adalah suatu aib belaka, bahwasanya selirnya bisa digerumut orang. Dia
sama sekali tak menyangka, kalau orang yang memasuki kamar selirnya
sebenarnya adalah suaminya yang dahulu sengaja direnggutkan daripadanya.
Sanjaya berpikir lain. Masih saja ia berpenasaran terhadap si buntung yang
mengejutkan hati ibunya dan membingungkan hatinya sendiri pula. Masa orang
seburuk itu adalah ayah kandungnya? Benar ibunya belum berkata dengan terus
terang, tetapi melihat kesan-kesan ibunya dan kata-kata Sangaji ia jadi
berbimbang-bimbang. Ke-mudian ia merasa dirinya lagi dipermain-mainkan
orang. Karena itu timbullah amarah-nya. Ia ingin menghajar si buntung dan
si bocah edan sekaligus di hadapan ayahnya. Setelah itu ia memperoleh
alasan kuat untuk menawan mereka. Dengan begitu, ia tak usah lagi
berkhawatir terhadap gurunya yang ditakuti dan disegani. Karena ia terlalu
terlibat pada soal itu, sama sekali ia tak mengetahui bahwa orang yang
ditakuti itu berada di depan matanya.
Yuyu Rumpung mempunyai perhatian lain lagi. Si botak itu masih mendongkol
terhadap Sangaji. Semalam ia kena digigit kuat-kuat oleh si bocah sehingga,
meninggalkan bekas dalam. Hatinya menaruh dendam. Pagi ini di luar
dugaannya, ia melihat si bocah berdiri di tengah lapangan yang semalam
telah bisa kabur melompati dinding. Bagus kau bocah edan! Kamu mencari
matimu sendiri. Diam-diamlah, tunggu sampai kamu bisa kuganyang hidup-hidup.
Di pihak lain, Nuraini berdiri termangu-mangu. Gadis ini benar-benar
kebingungan menghadapi suatu perkembangan yang cepat dan di luar kemampuan
otaknya. Hatinya telah kena direbut Sanjaya. Karena itu, begitu ia melihat
Sanjaya muncul di lapangan, segera perhatiannya tertumpu padanya. Sanjaya
datang menyerbu dengan diiringi pasukannya. Makin ia memperhatikan, hatinya
bertambah gandrung. Ia seperti melihat gerak-geriknya seorang dewa yang
lagi turun ke bumi.
Sangaji tak memperhatikan dirinya diincar Yuyu Rumpung. Seluruh hatinya
lagi memusatkan diri kepada Ki Tunjungbiru yang dikeroyok tiga orang
pendekar. Ia tahu ilmu berkelahinya tiada berarti apabila dibandingkan
dengan para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Tetapi bagaimana dia bisa
berdiam memeluk tangan belaka, melihat Ki Tunjungbiru dikeroyok orang.
Walaupun bagaimana akibatnya, dia akan membantu Ki Tunjungbiru
sedapat-dapatnya. Tetapi sebelum dia maju membantu orang yang dipujanya,
tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan berkelebat cepat lewat di depannya.
Sebentar ia mengalihkan pandang, maka ia melihat Wayan Suage tiba-tiba
merangsak lawan-lawan Ki Hajar Karangpandan.
Sesungguhnya, semenjak ia melihat Ki Hajar Karangpandan dikerubut tiga
orang, hatinya jadi gelisah luar biasa. Dua kali ia merasa dilindungi
pendeta itu. Yang pertama terjadi pada dua-tiga belas tahun yang lalu,
tatkala dia dan almarhum sahabatnya dikerubut orang-orang dari Banyumas.
Dan sekarang, di hadapan matanya pula ia melihat dewa penolongnya
melindungi dirinya dengan membiarkan dirinya dikerubut orang. Sebagai
seorang yang berjiwa kesatria, tak dapat ia menyusahkan orang semata-mata
karena dirinya. Maka dengan tombak yang melengket di lengan kanannya ia
menusuk sang Dewaresi.
Ki Hajar Karangpandan terkejut. Gugup ia mencegah, "Saudara Wayan Suage,
jangan maju. Tak bisa kamu menandingi dia."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar