@bende mataram@
Bagian 156
"Tuan Muda baik-baik saja, bukan? Apa terlalu lelah? Boleh nanti hamba pijat."
Pelayan itu mengira, Sangaji mendapat seorang teman berjalan semalam suntuk
sebagai lazimnya pemuda bongor pada zaman itu. Sebaliknya Sangaji tak
berpikir sampai sejauh itu. Otaknya lagi dikusutkan oleh ucapan Titisari
yang terus melengking-lengking tiada hentinya dalam pendengarannya. Dengan
berdiam diri ia melemparkan beberapa potong uang dan memerintahkan
mengemaskan pakaiannya. Karuan saja pelayan itu bergirang hati sampai mau
meloncat-loncat seperti anjing. Lalu mendobrak kamar melakukan perintah.
"Pendeta tua tadi pagi keluar dari penginapan tanpa pamit. Karena kami
memandang Tuan Muda, kami biarkan dia pergi tanpa meninggalkan uang
sepeserpun."
Sangaji tahu, yang dimaksudkan pendeta tua itu adalah Panembahan Tirtomoyo
yang merendamkan diri semalam dalam pengaron. Serentak ia menyahut, "Hm...
bukankah kamar ini aku yang menyewa?"
"Bukan perkara kamar, Tuan. Tetapi kami sudah terlanjur menyediakan
masakan-masakan yang empuk. Kami berbelanja sendiri, agar tak mengecewakan
Tuan."
Sangaji tahu, pelayan penginapan itu ingin menunjukkan jasa. Maka segera ia
membayar semua harga masakan beserta persenannya dan meninggalkan
penginapan. Kembali lagi si pelayan jadi bergirang hati. la mengantarkan
tamunya sampai ke luar jalan. Kemudian berkata takzim. "Sebentar lagi senja
hari tiba. Di manakah Tuan akan menginap. Apakah... apakah..." ia
mengerling kepada Titisari dengan berkulum senyum.
Merah muka Sangaji mendengar dan melihat laku pelayan itu. Ingin ia
mendamprat, tetapi tidak menemukan kata-kata. Maklumlah, tak biasa ia
mengumbar mulut. Maka dengan berdiam diri ia berjalan di samping Titisari
yang telah mendahului.
"Aji! Mengapa tak kau puntir hidungnya?" tegur Titisari. Tiba-tiba ia
mengangsurkan segenggam uang. Katanya, "Ini. Dengan pelayan semacam itu,
tak perlu kamu bermu-rah hati."
Sangaji terperanjat, karena uang itu adalah uang pembayaran penginapan,
masakan dan persen. Gugup ia berkata, "Kau... kau... "
"Aku mengambilnya kembali dari kantung tanpa bunga. Apa salahnya?" potong
Titisari tanpa perasaan. Sangaji jadi terbungkam. Pikirnya, gadis ini
benar-benar mempunyai sifat-sifat liar. Tetapi pelayan itu memang pantas
dihukum demikian. Mendakwa seorang gadis suci sebagai bunga jalan adalah
keterlaluan.
Sebelum petang hari tiba, si Willem telah diketemukan. Mereka meneruskan
perjalanan ke arah selatan. Pada waktu itu masa bulan purnama. Bulan telah
tersembul di udara berbareng dengan tenggelamnya matahari. Ombak laut
berdebur dahsyat dan meniupkan angin segar ke daratan.
Willem ternyata seekor kuda yang gagah perkasa. Meskipun dibebani dua orang
majikan, langkahnya tetap kuat dan tegar.
"Aji!" tiba-tiba Titisari berkata sambil mengibaskan rambutnya.
Sangaji duduk di belakang punggung Titisari. Karena Titisari mengibaskan
rambutnya, pipinya kena geser sehingga darahnya jadi terkesiap, jantungnya
lantas saja berde-gupan. Tatkala hidungnya mencium harum wewangian yang
membersit dari rambut si gadis, mulutnya mendadak saja seperti tergagu.
"Hai! Kau lagi melamunkan siapa? Nuraini?" tegur Titisari sambil tertawa.
Mendengar teguran itu, keruan saja Sangaji jadi terperanjat setengah mati.
Gugup ia menjawab, "Mengapa kamu mendakwa yang bukan-bukan?"
"Tadi kamu berbicara perkara rejeki -dan raja. Sekarang perkara... Tak
bisakah kamu membicarakan yang lain?"
"Baik—kamu tak suka membicarakan, justru aku ingin membicarakan," sahut
Titisari cepat. Bukankah gadis itu..."
"Mengapa?" potong Sangaji. Cepat ia mengingat-ingat peristiwa pagi hari
tadi, sewaktu Wayan Suage meninggalkan pesan penghabisan kepada Ki Hajar
Karangpandan dan gurunya, Wirapati. Teringat, bahwa Titisari kala itu belum
muncul hatinya agak jadi tenang.
Titisari tertawa perlahan sambil mendongakkan kepala.
"Belum selesai aku berbicara, kenapa kamu begitu gugup? Aku hanya ingin
menyatakan kesan hatiku, bahwa mulai hari ini dia menjadi seorang anak
yatim-piatu. Siapa yang bakal melindungi?"
Mendengar kata-kata itu, Sangaji bersyukur dalam hati. la jadi geli melihat
kegelisahannya sendiri. Lantas menyahut, "Dia yatim-piatu atau tidak, apa
peduliku?"
Sangaji bermaksud mau membersihkan diri dengan kata-kata tajam. Tapi ia
lupa, bahwa gadis yang duduk di dekatnya adalah seorang gadis yang cerdas
dan cerdik luar biasa pada zaman itu. Kalau saja, ia berkata penuh perasaan
seperti watak aslinya, pastilah si gadis tiada menaruh curiga. Sebaliknya
oleh kata-katanya yang keras, Titisari jadi keheran-heranan. Dengan
tiba-tiba saja raut muka Titisari berubah hebat. Dahinya berkerinyit dan
matanya membersitkan sedikit air. Sangaji tak melihat perubahan itu, karena
dia berada di belakang punggungnya. Hanya saja ia melihat si gadis
menundukkan kepala seakan-akan sedang berpikir keras.
"Titisari... apakah kata-kataku ada yang salah?" kata sangaji hati-hati.
"Tidak! Kamu tak bersalah. Sama sekali tak bersalah," sahut Titisari dengan
berbisik. Kemudian memandang jauh ke depan. Dan lama ia berdiam diri.
Sangaji jadi gelisah. Dasar ia berhati polos dan jujur, lantas saja merasa
salah. Ia menyangka dan percaya, bahwa Titisari sudah bisa menebak
peristiwa tadi pagi. Terhadap Titisari ia sudah merasa takluk semenjak
bertemu di restoran Cirebon. Tetapi kalau dikatakan ia menerima pesan Wayan
Suage dengan sungguh-sungguh adalah tidak benar. Maka ia berkata, "Nuraini
memang patut dikasihani, la tak berayah-bunda lagi. Tetapi antara aku dan
dia tidak ada hubungan keluarga. Apakah menurut pendapatmu, aku harus
mendampingi pulang ke kampung halaman dan mencarinya sampai... Titisari,
kalau kemarin pagi aku berkelahi melawan Sanjaya begitu mati-matian,
sebenarnya aku mengharapkan agar dia tak disia-siakan pemuda itu."
"Benarkah itu?" tiba-tiba Titisari memotong dengan suara riang. "Ya, mengapa?"
"Seumpama... ada seseorang yang hendak memisahkan persahabatan kita ini,
apa yang akan kaulakukan?"
Sangaji jadi tercengang-cengang mendengar ucapan Titisari. Dan bagaimana
goblok pun seorang pemuda, samar-samar pasti dapat menebak maksud hati
seorang gadis yang berkata demikian.
Dengan suara bergetar ia menyahut, "Eh, kamu ini ngomong apa? Siapa yang
akan memisahkan kita?"
"Seumpama gurumu?"
"Guruku orang berbudi. Tak bakal mereka memisahkan kita." "Gurumu yang
lain, begitu galak. Aku tak senang melihat congornya."
Sangaji terkejut. Selamanya ia menghargai dan menghormati gurunya lebih
daripada siapa saja, mendadak Titisari berani men-congor-congorkan. Tentu
saja, hatinya ter-kesiap sampai sekujur tubuhnya menjadi dingin.
"Titisari! Kaumaksudkan guruku Jaga Saradenta? Biarpun dia galak, tidaklah
segalak seekor binatang. Mengapa kamu..."
"Eh, aku bersakit hati? Antara dia dan kamu memang ada hubungannya. Tapi
denganku, sama sekali tidak ada hubungan sanak-keluar-ga. Tetapi mengapa
dia memandangku seperti anak siluman? Kalau dia menyebutku setali tiga uang
dengan iblis—karena aku anak siluman dan adik Abu dalam suatu perguruan—apa
salahnya aku menyebut mulutnya sebagai congor? Orang boleh memakiku dengan
istilah iblis, kenapa aku tak boleh memaki dia dengan istilah congor?"
Sangaji terdiam karena tak pandai berdebat. Meskipun bisa dibenarkan
tata-sikap si gadis, tetapi ia merasakan sesuatu yang kurang tepat. Hanya
saja, tak pandai ia mengungkapkan kesan rasa itu. Akhirnya dia berkata,
"Kamu adalah sahabatku yang tak terpisahkan. Kupinta janganlah berkata
demikian terhadap guruku yang kuhormati dan kujunjung tinggi. Lagi pula,
dia tadi tak langsung menyebutmu iblis. Dia hanya menirukan ucapan pendeta
Ki Hajar Karangpandan untuk membela diri."
"Baik. Terhadapmu memang aku bersedia takluk buat selama hidupku," sahut
Titisari. "Hanya saja, gurumu itu tak terkesan baik kepadaku."
"Barangkali, karena dia benci kepada Pringgasakti."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar