@bende mataram@
Bagian 165
"Itupun adalah satu macam pukulan Ilmu Kumayan Jati. Pokoknya terbagi
menjadi dua.
Pukulan Keras dan pukulan Lemas. Kedua-duanya adalah pukulan mematikan.
Setiap sasaran yang kena bidik kedua macam ilmu itu, bisa kamu bayangkan
bagaimana akibatnya. Soalnya sekarang ialah, bagaimana cara memperoleh
bidikan itu sampai dia tak dapat bergerak. Caranya ialah, kita harus
berusaha mem-pengaruhi, menjebak, mengurung, mencekam, menangkap,
menjaring, melibat dengan tata-berkelahi bermacam ragam. Dan tata-berkelahi
ini tidak boleh terlalu berbelit. Sederhana saja tapi harus mengandung
suatu siku-siku mata angin yang bisa merupakan pedang penggiring atau
cemeti pelipat. Dengan demikian, musuh bisa kita kelabui. Ia mengira ilmu
tata-berkelahi Kumayan Jati begitu sederhana. Tak tahunya jika sekali kena
libat, takkan gampang-gampang dia bisa membebaskan diri. Nah, anakku!
Masing-masing ragam tata-berkelahi kedua macam pukulan Ilmu Kumayan Jati
itu berjumlah sembilan. Jadi jumlah semuanya delapan belas jurus. Ayunan
lontaran enam jadi seluruhnya berjumlah dua puluh empat. Sanggupkah kamu
mentelaah Ilmu Kumayan Jati ini adalah semata-mata tergantung pada nasibmu
belaka. Sebab, orang takkan bisa mempelajari ilmu ini hanya mengandalkan
kecerdasan otak. Dan hanya dapat memperoleh kulitnya saja. Karena itu,
orang harus berani bertapa agar mendapat kekuatan alam yang mumi. Paling
tidak tujuh bulan. Kausanggup?"
Selama hidupnya, Sangaji belum pernah berpuasa. Tentang istilah bertapa itu
baru didengarnya untuk yang pertama kali dari Panembahan Tirtomoyo. Maka
begitu ia mendengar tuntutan Gagak Seta, mulutnya bungkam seribu bahasa.
Gagak Seta tidak mendesaknya lagi. Dengan sikap acuh tak acuh ia berkata,
"Hai! Mengapa kamu tergugu seperti katak? Biar kamu berdiam diri seribu
hari, tahulah aku kalau kamu takkan mampu menerima warisan ilmu ini. Hal
itu bukan kesalahanku. Aku sudah membuka tangan dan sekarang tergantung
pada bakatmu belaka. Bukankah aku berkata, bahwa bakatmu sangat miskin dan
kalah jauh dari anak iblis itu?"
Sehabis berkata demikian, ia kemudian mengajari Sangaji cara mengatur dan
menguasai napas.
"Napas itu adalah tali hidup. Meskipun napas itu bukan menentukan hidup dan
matinya orang, tetapi termasuk alat yang penting dan kuat."
"Apakah Paman ingin berkata, orang bisa hidup tanpa napas?" Sangaji heran.
"Benar."
"Masa orang bisa hidup tanpa napas?"
"Ah, kau bocah tolol! Sewaktu kamu dulu di kandung ibumu dalam perut,
apakah kamu sudah bisa bernapas? Apakah kamu sudah mempunyai hidung dan
jantung? Itulah suatu bukti, kalau dalam diri manusia ini bersemayam suatu
tenaga rahasia yang menghidupi napas itu sendiri. Jika kamu bisa menemukan
tenaga itu, kamu akan bisa menguasai seluruh alam ini. Sekarang carilah
tenaga itu, lewat pernapasanmu. Jika kautekun, mudah-mudahan kamu berhasil."
Dua jam kemudian, Sangaji bisa mengatur dan menguasai napas. Maklumlah, dia
pernah mendapat ajaran Ki Tunjungbiru. Tapi sewaktu menginjak ke tataran
selanjutnya, dia heran dan kaget. Ajaran tarikan napas Gagak Seta itu jauh
berlainan dengan ajaran tarikan napas Ki Tunjungbiru. Lagi pula mempunyai
daya guna yang aneh. Tiba-tiba saja, ia merasa dalam dirinya ada suatu
tenaga yang bergolak. Itulah tenaga getah pohon Dewadaru yang kena tersedot
ke luar. Tenaga getah itu lantas saja bergolak dan berputar bergulungan ke
seluruh tubuh. Baik Sangaji dan Gagak Seta sendiri tak pernah mengira,
kalau daya guna ilmu
napasnya bisa membangunkan tenaga uapan getah sakti. Pemuda itu jadi kaget
luar biasa. Mukanya lantas menjadi merah membara dan matanya jadi
berkunang-kunang.
"Hai, kamu kenapa?" Gagak Seta terkejut. "Kosongkan angan! Tebarkan
semangat! Jangan kaupusatkan seperti orang bersemedi."
Sangaji ingin mengiyakan tetapi mulutnya seperti terkunci. Maka ia hanya
mengangguk. Mukanya kian nampak makin membara.
Gagak Seta menghampiri sambil memijit uratnya, la menggoncang-goncangkan
tubuhnya. Terasa keras bukan kepalang seperti sebongkah batu. Pikirnya,
semua berjalan lancar menurut bunyi ajaran. Tapi kenapa bocah ini?
Bagaimana bisa sesat?"
Sebagai seorang pendekar yang sudah mendapat gelar sakti, ia merasa
terpukul melihat kenyataan itu. Ingin ia mendapat jawabannya dan
menyelidiki secermat-cermatnya.
"Sekarang lepaskan semuanya! Tengadahkan mukamu ke angkasa. Buka mulutmu!
Cepat!"
Suara Gagak Seta agak menggeletar. Karena melihat anak muda itu biru
pengap. Perlahan-lahan Sangaji dapat menguasai diri. Dengan cermat ia
mengikuti petunjuk Gagak Seta. Tak lama kemudian, rongga dadanya menjadi
lega. Ia bisa bernapas seperti sediakala. Hanya terengah-engah seperti
seseorang yang tengah lepas dari cengkraman binatang galak.
Dalam pada itu Gagak Seta mondar-mandir mencari kunci jawabannya. "Apakah
kamu telah melepaskan semua anganmu?" tanyanya penuh selidik. Sangaji
mengangguk.
"Telah kautebarkan semangatmu?" "Ya."
"Kaukosongkan dirimu?" "Ya."
"Kausalurkan semua deburan darahmu ke seluruh urat nadi?" Sangaji mengangguk.
"Aneh!" ia bergumam. Ia yakin, kalau Sangaji menjawab dengan sebenarnya.
Karena tadi, ia telah memeriksanya. Pikirnya, ya, semua telah berjalan
seperti semestinya. Apakah yang mengganggu? Memang pada zaman dahulu orang
hampir menyamakan Ilmu Kumayan Jati dengan Ilmu Bayu Sejati. Meskipun
bersumber sama, tetapi lakunya jauh berlainan. Ilmu Bayu Sejati
mengutamakan kekuatan urat nadi, tulang-belulang yang bersandar pada napas.
Tetapi Ilmu Kumayan Jati biarpun mengutamakan tenaga napas, tetapi hanya
bersifat sebagal penyalur. Napas itu hanya dipergunakan sebagai pengungkap
daya kekuatan yang terpendam." la terus merenung. Tiba-tiba suatu pikiran
berkelebat dalam benaknya.
"Eh bocah tolol! Apakah kamu pernah mendapat pelajaran ilmu bernapas?"
Sangaji mengiakan. Melihat pemuda itu mengangguk, seleret cahaya tersembul
pada raut muka Gagak Seta. Ia mau menduga, bahwa Sangaji pernah tersesat
dalam pelajaran. Maka ia menguji penuh selidik.
"Coba bagaimana kamu melakukan ilmu bernapas itu!"
Sangaji kemudian menghapal dua belas kata petunjuk bersemedi ajaran Ki
Tunjungbiru. Mendengar bunyi hapalannya, Gagak Seta yang sudah mempunyai
dugaan yang bukan-bukan jadi merenung-renung lagi.
"Siapa yang mengajarimu bersemedi?" ia masih mencoba. "Ki Tunjungbiru."
"Siapa dia?"
"Menurut kabar, dulu dia bernama Otong Darmawijaya."
"Eh, kau bilang apa?" Gagak Seta terkejut. Dahinya berkerenyit. "Apakah dia
belum mati? Ih! Benar orang itu belum tinggi ilmu bergumulnya, tetapi dia
memiliki tenaga ajaib.
Apakah... apakah... kamu... hai, kenapa kamu mendapat ajaran daripadanya?
Orang itu tak gampang-gampang menerima murid."
"Dia bukan guruku. Dan aku tak pernah pula berguru kepadanya." Sangaji
menerangkan. "Aku menerima petunjuknya berkat jasaku menyedot getah pohon
Dewadaru sebagai pembalas dendamnya."
"Getah pohon Dewadaru? Apa itu?" Gagak Seta heran.
Sangaji kemudian menerangkan dengan singkat tentang sifat pohon sakti itu
menurut pendengarannya saja tatkala Ki Tunjungbiru berbicara di dalam
perahu dahulu. Gagak Seta mendengarkan dengan penuh perhatian. Lantas
berkata, "Eh! Apakah di dunia ini ada suatu macam pohon ajaib-ajaib
demikian rupa? Inilah aneh!" ia berhenti menimbang-nimbang. Berkata lagi
memutuskan, "Baiklah! Coba ulangi lagi menarik napas menurut ajaranku.
Kemudian tirukan semua gerakanku."
Sangaji segera melakukan ilmu menarik napas ajaran Gagak Seta, kemudian
menirukan gerakan selanjutnya. Waktu itu Gagak Seta menekuk lutut sambil
meliukkan tubuh. Tiba-tiba menyodok ke arah suatu pohon.
"Bidik!" perintahnya.
Sangaji cepat-cepat menyodok. Ternyata batang pohon yang berdiri di
depannya bergoyang. Mahkota daunnya runtuh berhamburan.
"Bagus! Bagus!" seru Gagak Seta kagum. "Inilah hebat! Tanpa bertapa kamu
sudah bisa menguasai setengah jurus Ilmu Kumayan Jati, meskipun lagi
menggoyang-goyang tupai!"
la berjalan mondar-mandir kembali seperti sedang menghadapi satu soal yang
belum mendapatkan kunci jawabannya. Sekonyong-konyong kepalanya mendongak
dan berputar menghadap Sangaji.
"Aji! Coba gempurlah aku!"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar