@bende mataram@
Bagian 160
"Mengapa? Kalau terhadap binatang saja dia begitu memperhatikan,
terlebih-lebih terhadap seorang manusia."
"Bagus!" Gagak Seta tertawa menggelora. "Mengapa kamu tertawa?"
"Aku ingin tertawa dan tertawalah aku. Siapakah yang melarang orang
tertawa?" Gagak Seta menyahut cepat. Kemudian berkata kepada dirinya
sendiri. "Alangkah untung kawanmu itu... eh suamimu... eh kawanmu. His!
His! Kurangajar mulut ini."
Tahulah Titisari, bahwa orang tua itu sedang menggoda padanya. Sekaligus
merahlah mukanya dan hatinya jadi mendongkol. Hanya aneh, dalam hati
kecilnya terbersit rasa syukur yang membahagiakan. Tetapi seorang perempuan
bukanlah perempuan, apabila tak bisa main sandiwara. Maka dengan wajah
cemberut ia mengangsurkan tempurung Gagak Seta kepada pemiliknya kembali.
"Baik. Terimalah harta-bendamu ini kembali. Aku tak mau memasakkan kopi
bagimu." "Hai! Hai! Mengapa?" Gagak Seta terkejut.
"Tak senang aku kauolok-olok." "Siapa yang mengolok-olok?" "Kau tadi
ngomong apa?"
"Itu kan mulutku. Dan mulutku bukan aku!"
Gagak Seta membela diri sungguh-sungguh. Dan mau tak mau Titisari tertawa
geli juga dalam hati, menyaksikan perangai orang itu yang aneh. Pikirnya,
memang benar kata orang. Bahwasanya orang yang berilmu tinggi seringkali
mempunyai tabiat-tabiat dan kebiasaan-kebiasaan yang aneh serta
edan-edan-an. Maka ia mengurungkan niatnya dan segera ia membungkuki
perdiangan memasak kopi.
Dalam pada itu, Sangaji telah memasukkan kedua kudanya. Karena tiada
tonggak atau batu yang mencongakkan diri dari dinding gua, terpaksa ia
menghunus pedang pemberian Mayor Willem Erbefeld dan ditancapkan ke tanah
dengan sekali tetak. Kemudian ia mengikat kendali kedua kudanya sekaligus.
"Hai anak muda! Apa kamu mau tidur bersama kuda?"
"Apakah sekiranya mengganggu Paman?" balas Sangaji bertanya.
"Tidak! Tidak! Sama sekali tidak!" Gagak Seta menyahut dan terus berbaring
di tanah. Sebentar saja ia mendengkur bagaikan babi hutan.
Heran Sangaji mengamat-amati. Kemudian dengan berjingkat-jingkat ia
menghampiri. Sekali lagi ia memeriksa dan mengamat-amati. Dan benar-benar
orang tua itu tidur mendengkur.
Aneh, pikirnya, la habis berbicara dengan suara kuat. Lalu dengan tiba-tiba
bisa tertidur begitu gampang. Ilmu apakah ini? Tertarik kepada tingkah-laku
Gagak Seta yang aneh itu.
"Kukira dia benar-benar tidur," kata Titisari yakin. "Ayahku pernah
membicarakan tentang suatu ilmu penutup panca-indera yang bisa tahan
terhadap segala senjata tajam atau racun. Ilmu itu namanya Keyong Buntet.
Aku sendiri belum pernah menjumpai seseorang yrang berilmu demikian. Tetapi
mengingat dia pernah bertempur berkali-kali melawan Ayah, pastilah ia bukan
orang sembarangan."
"Dia?"
Titisari mengangguk.
"Apakah perkaranya?" Sangaji minta keterangan.
"Itulah soal orang-orang tua. Kamu kenal nama-nama tokoh sakti pada zaman
ini? Yang pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kemudian ayahku. Kemudian dia—Gagak
Seta. Dan keempat, Seorang tokoh dari perbatasan Jawa Barat. Nama gelarnya
Kebo Bangah."
Hai! Apakah dia Gagak Seta yang pernah dibicarakan guruku? pikir Sangaji.
Hatinya terkesiap. Lantas saja dengan hormat ia menjauhi. Berkata pada
Titisari setengah berbisik, "Dulu aku pernah mendengar Ki Tunjungbiru
menyebut-nyebut namanya tatkala berjumpa dengan kedua guruku. Ah! Inilah
anehnya!"
"Apakah di jagad ini ada sesuatu peristiwa yang kebetulan? Kenapa aku bisa
berjumpa dengan dia?"
Titisari tidak menjawab. Dengan berdiam diri ia menyiduk air panas dengan
tempurung Gagak Seta. Kemudian menghampiri orang tua itu.
"Hai, kau mau apa?" Sangaji terkejut.
"Ingin kutahu, apakah benar-benar Gagak Seta dan apakah dia benar-benar
memiliki ilmu Keyong Buntet," sahut Titisari. "Sekiranya dia berilmu Keyong
Buntet, pastilah kulitnya tidak mempan dan dia pun tidak bergeming,
sekiranya tidak memiliki, pastilah dia bisa menghindari sebelum air
mendidih ini menyiram tubuhnya."
Dan berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan ia menyiramkan air panas
itu. Sangaji terkesiap bukan kepalang. Mau ia meloncat mencegah
sedapat-dapatnya. Mendadak saja ia melihat suatu keanehan. Orang tua itu
seperti tak mempunyai rasa. la tetap tidur mendengkur dan tubuhnya tak
bergeming.
Semenjak kanak-kanak, Sangaji hidup di Jakarta dan bergaul rapat dengan
kompeni-kompeni Belanda. Sedikit banyak, cara berpikir orang-orang Barat
terekam juga dalam benaknya. Terhadap ilmu-ilmu sakti, tak pernah ia
mendengar kabar. Kecuali tatkala bertemu dengan Panembahan Tirtomoyo dan
mendapat keterangan daripadanya. Namun demikian, tak pernah ia yakin bahwa
ilmu yang disebutkan Titisari benar-benar bisa membuat kulit daging begitu
kebal. Pikirnya, apakah benar ilmu itu yang melindungi tubuhnya atau dia
penjelmaan siluman?
Sambil berjalan kembali ke perdiangan, Titisari berkata, "Aji! Barangkali
kamu belum pernah melihat wayang kulit."
"Ya. Kenapa?"
"Kalau kamu sekali melihat, kutanggung akan tertarik. Sebab di sana kamu
akan mengenal banyak sekali tokoh-tokoh sakti yang disebut orang, Ksatria.
Seorang ksatria mengutamakan kegesitan yang kecerdasannya apabila bertempur
melawan raksasa. Dia cekatan dan berusaha jangan sampai kena sentuh. Itulah
ilmu yang kita pelajari dan kita kenal pula. Tetapi di samping itu, ada
pula suatu ilmu sebagai pagar diri. Yakni, ilmu kekebalan yang disebut ilmu
Kedotan. Barangsiapa memiliki ilmu itu tak gampang-gampang bisa dilukai
senjata. Itulah yang belum pernah kaukenal. Kau percaya tidak?"
Perlahan-lahan Sangaji duduk berjongkok sambil mengamat-amati tubuh Gagak
Seta. Berkata
setengah berbisik, "Pernah aku mendengar pengertian itu dari Panembahan
Tirtomoyo." "Dan kamu sangsi, bukan?"
"Ya."
"Sekarang kamu telah menyaksikan kejadian aneh di depan matamu. Bagaimana
penda-patmu?"
Sangaji tak cepat menjawab, la seperti lagi bergulat penuh selidik.
Akhirnya berkata sambil melepas napas.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar