Blognya alumni SMPN 1 Magelang; berbagi kenangan; berbagi rasa dan berbagi cerita.... OPEN to all of alumnus.
10.13.2014
Kehilangan orientasi dan cita 2 ( 2 )
From: <syauqiyahya@gmail.com>
9.Motif post modern
Boeree (2004), bahwa sebagian orang memiliki kecenderungan untuk memandang kehidupan dari sudut pandang primitive sebagai proyeksi kehidupan modern atau masa kini.
Soal seks gak ada bedanya jaman bahula dengan jaman sekarang kalau kawin usia 12 tahun juga boleh
Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan, maka dapat diketahui bahwa motif pelacuran yang dilakukan anak-anak cukup variatif, dan motif-motif tersebut tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan sistim pendidikan baik di sekolah maupun dalam keluarga. Namun demikian hal yangn paling penting menjadi perhatian adalah masalah penegakan hukum. Di negara lain eksploitasi seksual atas anak diganjar hukuman keras. Semisal dua warga negara Indonesia yang ditangkap di Melbourne, Australia, diancam hukuman hingga 10 tahun dan denda Rp 2,3 miliar karena terlibat dalam jaringan prostitusi anak-anak.
Selanjutjnya, hasil wawancara juga diketahui siswa yang terlibat dalam kegiatan prostitusi bukan sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, namun gaya hidup, bahwa para pelajar yang kurang mampu tergiur dengan temannya yang memiliki barang mewah, seperti handphone dan lainnya, sehingga mereka berkeinginan untuk menjadi PSK. Aktivitas PSK para pelajar dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan menggunakan fasilitas ponsel. Mereka tidak menjajakan dirinya secara terbuka seperti PSK lainnya.
Hasrat yang tinggi untuk memiliki barang mewah tersebut disambut oleh para mucikari sebagai 'gayung bersambut', menjadikan ini peluang emas meraup keuntungan. Transaksi seks ABG ini dikoordinasi beberapa mucikari yang biasa beroperasi di Lokasari, Jakarta Barat. Melalui mucikari inilah para siswi yang masih di bawah umur itu dipertemukan dengan pria-pria hidung belang. Dari pengakuan beberapa siswi tersebut diketahui bahwa petualangan mereka diawali dengan menjual keperawanan kepada pria hidung belang Rp 2 juta (SuryaOnline). Setelah keperawan mereka terjual seharga Rp 2 juta, lalu para siswi 15-an tahun ini meneruskannya menjadi penjaja seks dengan tarif setiap kencan Rp 300.000, dan bahkan lebih rendah dari itu, sampai Rp. 50.000,- per transaksi.
Belajar dari beberapa data dan berita diatas (kasus prostitusi siswi SMP di beberapa kota di Jawa Timur, terutama Pasuruan, seks bebas siswi SMP-SMA serta survei Komnas PA bersama LPA, maka sudah semestinya pemerintah bersama masyarakat melihat ini sebagai tantangan besar bagi bangsa ini. Anak-anak dan remaja adalah generasi harapan penerus bangsa ini. Untuk menjadi penerus bangsa yang akan mengisi perjuangan bangsa, tentulah diharapkan orang-orang yang berwatak dan berintegritas. Orang-orang yang dididik dan 'dibentuk', cerdas sekaligus bermoral. Ada orang yang sejak lahir memang memiliki jiwa pemimpin, namun pada umumnya jiwa kepemimpinan dari para pemimpin dunia ini muncul setelah melalui proses belajar yang panjang.
Apabila pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan (Great Leader are Make, not Born), maka setiap lika-liku kehidupan seorang calon pemimpin sangatlah penting. Bila sejak kecil mereka memiliki masalah paradigma, maka kecil sekali kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi pemimpin yang visionerl. Bila sejak kecil mereka memiliki masalah moralitas, maka kecil sekali kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi pemimpin yang bermoral dan berintegritas. Dan apabila, krisis moralitas seperti kasus diatas kita biarkan, maka tidaklah mustahil bahwa nilai-nilai kultur positif nusantara hanya akan dapat ditemukan "museum moral Indonesia".
Sementara, aksi-aksi demoralisasi masih tetap santer terdengar dan bahkan lebih progresif. Film porno kalangan remaja, siswa-siswi selalu menjadi berita nasional setidaknya tiap dua minggu sekali. Setiap berita ini muncul, maka animo netter naik beratus-ratus persen. Dalam salah satu kasus beberapa tahun yang lalu, ada seoraang anak SMP tega membunuh orang tuanya sendiri. Di tempat lain seorang anak SD bunuh diri dengan alasan tidak sanggup membayar SPP atau kisah anak SD lain yang bunuh diri hanya karena baju seragam hari itu tidak bisa dipakai karena basah terkena hujan. Tawuran pelajar SMA meski sudah mulai jarang kedengar, namun aksi pertikaian para mahasiswa kini menggantikan hot news.
Aksi dan aktivitas yang negatif ini tidak semata ditangani, namun harus dicegah. Aksi negatif lebih mudah menjamur daripada aksi positif. Indonesia memang tidak kekurangan siswa-siswi yang berprestasi hingga tingkat dunia dalam bidang sains, teknologi, seni, budaya, dan olahraga. Kualitas dasar anak Indonesia sangatlah, dan memiliki potensi yang besar untuk menjadi manusia yang berdaya manfaat tinggi bagi masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, semua potensi ini haruslah dikembang, sehingga kita perlu mendidik agar mereka tidak terjun ke gerbang kehancuran.
Siapakah yang paling bertanggungjawab dalam hal ini? Orang tua memiliki peranan nomor wahid. Pendidikan moral dan pekerti sudah semestinya dididik anak sejak dini ketika masa-masa terbesar hidup mereka berada di rumah bersama orang tua. Ketika mereka menginjak remaja, maka porsir terbesar jatuh ketangan pihak sekolah/guru. Pendidikan sekolah menjadi gerbang utama membentuk mindset, paradigma serta moralitas si anak ini. Hampir 1/2 'kehidupan' siswa-siswi SMP-SMA berada di sekolah (6-8 jam di sekolah, 1-2 jam di luar sekolah, 6-8 jam di rumah, 7-9 jam tidur).
Pemuka agama seharusnya menjadi 'pengawas moralitas' masyarakat, namun banyak dari mereka terjebat dalam konflik kepentingan, politik hingga sebatas 'artis' lip service. Disini, peran pemerintah melalui media sangat penting dalam memproteksi anak-anak. Begitu juga, sistem pendidikan kita hendaknya memikirkan hal ini. Jangan sampai sistem pendidikan hanya dipandang sebagai mesin 'produksi' kelulusan kuantitatif. Seorang yang dinyatakan lulus hendaknya memikirkan faktor logika dan etika. Bukan sebatas angka UN, lalu orang lulus, namun moralitas diabaikan. Guru bukanlah mesin kelulusan, tapi guru adalah pendidik. Bukan juga semata pengajar, tapi sekali lagi pendidik!
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan, maka diharapkan ada peningkatan kualitas pada penyelenggara pendidikan, bukan hanya kompetensi pedagogis maupun sertivikasi, namun kompetensi bidang interaksi sosial sangat diperlukan. Untuk itu diharapkan ada peningkatan kualitas SDM terutama guru-guru BK untuk lebih meningkatkan kemampuan interaksi sosial dengan siswa dan orangtua siswa, berkomunikasi secara persuasif dalam penanganan masalah siswa, sebagai bentuk preventif terhadap masalah-masalah sosial yang dilakukan pelajar. Dalam hal ini peran seluruh guru juga sangat diharapkan, kooperatif dan pro-aktif dalam penangan masalah-masalah kenakalan siswa di lingkungan sekolah.
Peneliti: Syaiful Radya, Galih Widya Pratiwi., Indrayana Praditya., & Asrina
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar