From: A.Syauqi Yahya
Ganyang!
Senin, 07 Oktober 2013
1965 -- sebelum cerita pembantaian, pembrangusan, pengasingan, permusuhan, ada sesuatu yang acapkali dilupakan: bahasa. Bahasa yang mempermudah semua itu terjadi. Bahasa yang tumbuh sejak 1958, sejak Indonesia diperintah dengan "Demokrasi Terpimpin" dan semangat "revolusioner" dikobarkan kembali dan mobilisasi massa berlangsung terus menerus. Bahasa yang dibangun dengan statemen-statemen gagah, menghardik, dalam pidato, slogan, poster, indoktrinasi, brifing: "ganyang!", "kremus!", "retool!", "babat!" Bahasa yang menetapkan siapa kawan dan siapa lawan, dan memberinya makna yang mengeras, bahkan mutlak.
Bahasa dan kekerasan. Sering dianggap keduanya terpisah. Walter Benjamin, misalnya, percaya ada satu wilayah yang "sepenuhnya tak terjangkau oleh kekerasan" -- yakni wilayah "pemahaman", Versta?ndigung. Dengan kata lain, bahasa.
Tapi ia lupa: bahasa bisa memaksa. Bahasa itu sendiri mengandung sejenis kekerasan, malah sebelum tatabahasa dan kamus membatasi. Sejak mula, kata dan lafalnya datang mengepung kita dari timangan ibu, percakapan bapak, suara di jalan, aturan sekolah, aturan Negara, ajaran agama, pengaruh media massa -- yang tanpa disadari merasuk ke dalam diri kita dan keluar lagi seakan-akan produk kita sendiri.
Betapa banyaknya ungkapan klise yang kita dengar dan pakai tiap hari. Pada saat yang sama, betapa tak mudahnya mengungkapkan perasaan kita yang terdalam dengan cara ekspresif tapi sekaligus komunikatif, agar mencapai orang lain.
Mungkin itu yang menyebabkan Lacan tak menyebut bahasa sebagai produk je parle ("aku bicara"), melainkan ça parle ("itu bicara"). "Aku" seakan-akan tak penting dalam berbahasa. "Aku" setengah tenggelam dalam bahasa, jadi "itu", ketika makna kalimat muncul dalam wujud yang dibentuk orang lain, orang ramai, terus menerus, bertahun-tahun.
Saya katakan "setengah tenggelam" karena sebenarnya tetap ada sebuah "aku", sebuah subyek, yang dengan terbata-bata ingin mengatakan sesuatu yang sama sekali baru. Tapi ia selamanya tak berhasil penuh -- dan jika ia berada dalam kurungan kekuasaan yang mengontrol bahasa, ia akan gagal.
Kita tentu saja akan ingat novel George Orwell yang jadi karya klasik: 1984 (yang dulu pernah diterjemahkan dengan bagus oleh Barus Siregar). Tak ada karya sastra lain yang mampu menandinginya dalam melukiskan sebuah kurungan kekuasaan di mana bahasa terkait erat dengan kekerasan.
Mungkin karena 1984 adalah sebuah fiksi yang hiperbolik. Novel ini dengan berlebihan melukiskan Inggris yang berubah jadi "Oceania" yang totaliter. Rakyat diawasi tiap saat oleh sang penguasa yang tak pernah muncul tapi terus menerus disebut "Big Brother." Bersama dengan itu, mereka ditenggelamkan ke dalam bahasa yang sengaja dibangun untuk membuat mereka menyerah.
Bahasa itu disebut "basabaru" (newspeak). Ia disusun oleh kata-kata bentukan baru dan pengertian yang lama dirombak: "Perang" berarti "Damai", "Kemerdekaan" adalah Perbudakan". Akronim pun dikembang-biakkan, agar kata mudah dihafal dengan bunyi yang bisa efektif tanpa perlu dianalisa.
"Basabaru" itu dikumandangkan lewat layar televisi besar di seluruh negeri, disusun dalam kamus, dan dipakai koran Partai. Rakyat, birokrat dan anggota Partai harus memakainya -- dengan segala klise dan slogan-slogannya -- seraya menyiapkan punahnya bahasa lama. Semua orang jadi beo massal, bukan lagi subyek yang bicara. Ça parle.
Di tengah itu, Winston Smith diam-diam mencoba mempertahankan je parle. Ia tak ingin terseret ke dalam sebuah bahasa yang, seperti dikatakan temannya, Syme, kamusnya makin lama makin tipis. Sinonim ditiadakan. Tiap pengertian hanya diwakili satu kata. Tak boleh ada variasi. "Tidakkah kau lihat bahwa seluruh tujuan basabaru adalah untuk mempersempit jangkauan pikiran?", kata Syme.
Pikiran: itulah kejahatan. Di bawah kekuasaan yang totaliter itu -- yang mengingatkan orang akan Jerman di bawah Hitler, Rusia di bawah Stalin, Cina di bawah Mao dan Korea di bawah Kim -- bahasa telah jadi teknologi pengkerdilan manusia.
Tapi bahasa tak berdiri sendiri. Ia bagian dari kehidupan yang dibangun para penguasa -- manusia yang praktis tanpa wajah tanpa nama itu -- dengan ketegangan. Dimaklumkan ada perang yang tak kunjung berhenti, ada musuh, ada konspirasi.
Seluruh ruang hidup sarat oleh kecurigaan dan kebencian. Tiap hari secara massal "Dua Menit Kebencian" dilakukan: tokoh pengkhianat bangsa yang anehnya tak kunjung ditangkap disebut-sebut dan terus menerus dicaci beramai-ramai. Di saat itu, seperti terkena strum, gairah massa meluap. Timbul hasrat membunuh, menyiksa, menggampar wajah orang dengan martil -- meskipun kemarahan itu terasa abstrak, sebab bisa diarahkan dengan cepat dari satu sasaran ke sasaran lain.
Dari suasana seperti itulah kata dan kekerasan bertaut. Winston ditangkap. Mula-mula ia hanya diajak bicara. Ia dicoba diyakinkan dengan bahasa yang, untuk memakai kata-kata Benjamin, dalam "wilayah pemahaman". Ia bertahan. Tapi akhirnya ia tak bisa lagi. Ia menyerah ketika sekerangkeng tikus ganas -- hewan yang selalu ditakutinya -- diancamkan kepadanya. Di saat itu, ia tak bisa lain. Novel berakhir dengan Winston mencintai "Big Brother". Melalui tikus dan kata-kata, ia habis.
1984: saya ingat 1965. Ketika permusuhan, kebencian dan kecurigaan dikobarkan terus menerus, dengan kata-kata gagah dan ganas -- seperti Indonesia menjelang tahun itu -- tikus dan bahasa tak lagi berbeda. Semua teror, penghapusan manusia, kekerasan.
Goenawan Mohamad
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar