Sesaat setelah perang Bharatayudha usai dan menyisakan banyak nestapa dan kehancuran, Resi Bhisma yang masih terbaring di padang Kurusetra merasa akan melepas nyawanya saat matahari bergerak ke arah utara Khatulistiwa. Maka melalui pengawal yang menjaga, dia memanggil Pandawa untuk datang. Dan di saat itulah resi Bisma menceritakan sebuah kisah untuk diambil hikmahnya oleh para Pandawa.
Alkisah, ada seekor burung nuri yang tinggal di sebuah pohon yang rindang, dan selalu berbuah di segala musim. Karena itulah, banyak pula burung lain yang menjadi penghuni pohon tersebut. Hingga suatu hari, datanglah pemburu bangsa Kasi yang terkenal dengan panah beracunnya. Si pemburu bermaksud memanah seekor kijang yang sedang makan rumput di dekat pohon, namun kijang itu lebih peka dan cepat. Panah luput darinya, namun menancap pada pohon dimana si nuri itu tinggal. Racun yang kuat mulai merontokkan daun-daun dan pohonpun perlahan-lahan menjadi layu. Semua penghuni mulai gelisah dan satu persatu meninggalkan pohon yang sedang merana itu, hingga akhirnya hanya tinggal si nuri tadi. Tak dipedulikannya ajakan bahkan ejekan burung-burung lain yang mengajaknya pergi. Seiring dengan pohon yang semakin miring karena akarnya rapuh dan tinggal ranting-ranting yang kering kerontang, seperti itu pula si burung nuri, yang tadinya cantik menjadi kurus, bulu-bulunya rontok, kepalanya terkulai. Dia terus berada di sana tanpa makan dan minum.
Kekuatan budinya yang luhur menembus dan menggoncang alam khayangan, sehingga akhirnya Betara Indra diutus untuk turun menemui si burung nuri itu. Sesampainya di dekat pohon, ia berubah wujud menjadi seorang brahmana. Dipandangnya burung yang semakin tak berdaya itu.
"Hai Nuri, apa yang kau lakukan di sini? Siang kau kepanasan, malam kau kedinginan. Masih banyak pohon di alam yang maha luas ini untuk kau datangi dan tinggali."
Burung nuri membuka matanya yang sayu. "Oh Brahmana, tidakkah kau tau, dari sejak aku baru menetas dari telur, lalu diasuh ibuku dari bulu-bulu belum tumbuh di badanku ini hingga akhirnya aku dewasa, aku tidak pernah merasa kekurangan. Siang terpayungi dari panasnya matahari, malam daun-daunnya menghalangi dari dingin. Buah-buahnya selalu ada untuk aku makan. Sekarang pohon ini sakit, aku tidak sampai hati meninggalkannya. Akupun bukan mahluk yang tidak tau berterimakasih. "
"Tapi apa yang akan kau dapat jika kau terus disana, tanpa makan dan minum?"
"Aku akan mati dengan pohon yang telah memberiku kehidupan ini. Kau sebagai Brahmana, tentunya tau bagaimana harus membalas budi baik, bukankah begitu?"
Sang brahmana mengangguk-angguk. "Aku kagum sekali dengan keluhuran budimu, Nuri. Nah, sebelum mati, apakah keinginan terakhirmu? Katakanlah."
"Aku ingin agar pohon ini sembuh seperti sediakala."
Seketika sang Brahmana mengangkat tangannya, dan sesaat kemudian wujudnya menghilang. Pohon yang tadinya sakit dan merana, perlahan-lahan mulai tumbuh daun dan menjadi rindang kembali seperti dahulu. Nuri yang setiapun kembali sehat dan terus tinggal di pohon itu.
***
Blognya alumni SMPN 1 Magelang; berbagi kenangan; berbagi rasa dan berbagi cerita.... OPEN to all of alumnus.
10.16.2014
Burung Nuri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar