Dari: "Suhardono"
>
> NYANYIAN ANGSA
> karya W.S Rendra
>
> Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
> "Sudah dua minggu kamu berbaring.
> Sakitmu makin menjadi.
> Kamu tak lagi hasilkan uang.
> Malahan kapadaku kamu berhutang.
> Ini beaya melulu.
> Aku tak kuat lagi.
> Hari ini kamu harus pergi."
>
> (Malaikat penjaga Firdaus.
> Wajahnya tegas dan dengki
> dengan pedang yang menyala
> menuding kepadaku.
> Maka darahku terus beku.
> Maria Zaitun namaku.
> Pelacur yang sengsara.
> Kurang cantik dan agak tua).
>
> Jam dua-belas siang hari.
> Matahari terik di tengah langit.
> Tak ada angin. Tak mega.
> Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
> Tanpa koper.
> Tak ada lagi miliknya.
> Teman-temannya membuang muka.
> Sempoyongan ia berjalan.
> Badannya demam.
> Sipilis membakar tubuhnya.
> Penuh borok di klangkang
> di leher, di ketiak, dan di susunya.
> Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
> Sakit jantungnya kambuh pula.
> Ia pergi kepada dokter.
> Banyak pasien lebih dulu menunggu.
> Ia duduk di antara mereka.
> Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
> Ia meledak marah
> tapi buru-buru jururawat menariknya.
> Ia diberi giliran lebih dulu
> dan tak ada orang memprotesnya.
> "Maria Zaitun,
> utangmu sudah banyak padaku," kata dokter.
> "Ya," jawabnya.
> "Sekarang uangmu brapa?"
> "Tak ada."
> Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
> Ia kesakitan waktu membuka baju
> sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
> "Cukup," kata dokter.
> Dan ia tak jadi mriksa.
> Lalu ia berbisik kepada jururawat:
> "Kasih ia injeksi vitamin C."
> Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
> "Vitamin C?
> Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan."
> "Untuk apa?
> Ia tak bisa bayar.
> Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
> Kenapa mesti dikasih obat mahal
> yang diimport dari luar negri?"
>
> (Malaikat penjaga Firdaus.
> Wajahnya iri dan dengki
> dengan pedang yang menyala
> menuding kepadaku.
> Aku gemetar ketakutan.
> Hilang rasa. Hilang pikirku.
> Maria Zaitun namaku.
> Pelacur yang takut dan celaka.)
>
> Jam satu siang.
> Matahari masih dipuncak.
> Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
> Dan aspal jalan yang jelek mutunya
> lumer di bawah kakinya.
> Ia berjalan menuju gereja.
> Pintu gereja telah dikunci.
> Karna kuatir akan pencuri.
> Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
> Koster ke luar dan berkata:
> "Kamu mau apa?
> Pastor sedang makan siang.
> Dan ini bukan jam bicara."
> "Maaf. Saya sakit. Ini perlu."
> Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
> Lalu berkata:
> "Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
> Aku lihat apa pastor mau terima kamu."
> Lalu koster pergi menutup pintu.
> Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
> Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
> Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
> ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
> "Kamu perlu apa?"
> Bau anggur dari mulutnya.
> Selopnya dari kulit buaya.
> Maria Zaitun menjawabnya:
> "Mau mengaku dosa."
> "Tapi ini bukan jam bicara.
> Ini waktu saya untuk berdo'a."
> "Saya mau mati."
> "Kamu sakit?"
> "Ya. Saya kena rajasinga."
> Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
> Mukanya mungkret.
> Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
> "Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?"
> "Saya pelacur. Ya."
> "Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!"
> "Ya."
> "Santo Petrus!"
> Tiga detik tanpa suara.
> Matahari terus menyala.
> Lalu pastor kembali bersuara:
> "Kamu telah tergoda dosa."
> "Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa."
> "Kamu telah terbujuk setan."
> "Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
> Dan gagal mencari kerja."
> "Santo Petrus!"
> "Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
> Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
> Yang nyata hidup saya sudah gagal.
> Jiwa saya kalut.
> Dan saya mau mati.
> Sekarang saya takut sekali.
> Saya perlu Tuhan atau apa saja
> untuk menemani saya."
> Dan muka pastor menjadi merah padam.
> Ia menuding Maria Zaitun.
> "Kamu galak seperti macan betina.
> Barangkali kamu akan gila.
> Tapi tak akan mati.
> Kamu tak perlu pastor.
> Kamu perlu dokter jiwa."
>
> (Malaekat penjaga firdaus
> wajahnya sombong dan dengki
> dengan pedang yang menyala
> menuding kepadaku.
> Aku lesu tak berdaya.
> Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
> Maria Zaitun namaku.
> Pelacur yang lapar dan dahaga.)
>
> Jam tiga siang.
> Matahari terus menyala.
> Dan angin tetap tak ada.
> Maria Zaitun bersijingkat
> di atas jalan yang terbakar.
> Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
> ia kepleset kotoran anjing.
> Ia tak jatuh
> tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
> dan meleleh ke kakinya.
> Seperti sapi tengah melahirkan
> ia berjalan sambil mengangkang.
> Di dekat pasar ia berhenti.
> Pandangnya berkunang-kunang.
> Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
> Orang-orang pergi menghindar.
> Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
> Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
> Kemudian ia bungkus hati-hati
> dengan daun pisang.
> Lalu berjalan menuju ke luar kota.
>
> (Malaekat penjaga firdaus
> wajahnya dingin dan dengki
> dengan pedang yang menyala
> menuding kepadaku.
> Yang Mulya, dengarkanlah aku.
> Maria Zaitun namaku.
> Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)
>
> Jam empat siang.
> Seperti siput ia berjalan.
> Bungkusan sisa makanan masih di tangan
> belum lagi dimakan.
> Keringatnya bercucuran.
> Rambutnya jadi tipis.
> Mukanya kurus dan hijau
> seperti jeruk yang kering.
> Lalu jam lima.
> Ia sampai di luar kota.
> Jalan tak lagi beraspal
> tapi debu melulu.
> Ia memandang matahari
> dan pelan berkata: "Bedebah."
> Sesudah berjalan satu kilo lagi
> ia tinggalkan jalan raya
> dan berbelok masuk sawah
> berjalan di pematang.
>
> (Malaekat penjaga firdaus
> wajahnya tampan dan dengki
> dengan pedang yang menyala
> mengusirku pergi.
> Dan dengan rasa jijik
> ia tusukkan pedangnya perkasa
> di antara kelangkangku.
> Dengarkan, Yang Mulya.
> Maria Zaitun namaku.
> Pelacur yang kalah.
> Pelacur terhina).
>
> Jam enam sore.
> Maria Zaitun sampai ke kali.
> Angin bertiup.
> Matahari turun.
> Haripun senja.
> Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
> Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
> Lalu ia makan pelan-pelan.
> Baru sedikit ia berhenti.
> Badannya masih lemas
> tapi nafsu makannya tak ada lagi.
> Lalu ia minum air kali.
>
> (Malaekat penjaga firdaus
> tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
> angin turun dari gunung
> dan hari merebahkan badannya?
> Malaekat penjaga firdaus
> dengan tegas mengusirku.
> Bagai patung ia berdiri.
> Dan pedangnya menyala.)
>
> Jam tujuh. Dan malam tiba.
> Serangga bersuiran.
> Air kali terantuk batu-batu.
> Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
> dan mengkilat di bawah sinar bulan.
> Maria Zaitun tak takut lagi.
> Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
> Mandi di kali dengan ibunya.
> Memanjat pohonan.
> Dan memancing ikan dengan pacarnya.
> Ia tak lagi merasa sepi.
> Dan takutnya pergi.
> Ia merasa bertemu sobat lama.
> Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
> Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
> Ia jadi berduka.
> Dan mengadu pada sobatnya
> sembari menangis tersedu-sedu.
> Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
>
> (Malaekat penjaga firdaus
> wajahnya dingin dan dengki.
> Ia tak mau mendengar jawabku.
> Ia tak mau melihat mataku.
> Sia-sia mencoba bicara padanya.
> Dengan angkuh ia berdiri.
> Dan pedangnya menyala.)
>
> Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
> Borok. Sipilis. Perempuan.
> Bagai kaca
> kali memantul cahaya gemilang.
> Rumput ilalang berkilatan.
> Bulan.
>
> Seorang lelaki datang di seberang kali.
> Ia berseru: "Maria Zaitun, engkaukah itu?"
> "Ya," jawab Maria Zaitun keheranan.
> Lelaki itu menyeberang kali.
> Ia tegap dan elok wajahnya.
> Rambutnya ikal dan matanya lebar.
> Maria Zaitun berdebar hatinya.
> Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
> Entah di mana.
> Yang terang tidak di ranjang.
> Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
> "Jadi kita ketemu di sini," kata lelaki itu.
> Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
> Sedang sementara ia keheranan
> lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
> Ia merasa seperti minum air kelapa.
> Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
> Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
> Ia tak berdaya dan memang suka.
> Ia menyerah.
> Dengan mata terpejam
> ia merasa berlayar
> ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
> Dan setelah selesai
> ia berkata kasmaran:
> "Semula kusangka hanya impian
> bahwa hal ini bisa kualami.
> Semula tak berani kuharapkan
> bahwa lelaki tampan seperti kau
> bakal lewat dalam hidupku."
> Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
> Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
> "Siapakah namamu?" Maria Zaitun bertanya.
> "Mempelai," jawabnya.
> "Lihatlah. Engkau melucu."
> Dan sambil berkata begitu
> Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
> Tiba-tiba ia terhenti.
> Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
> Di lambung kiri.
> Di dua tapak tangan.
> Di dua tapak kaki.
> Maria Zaitun pelan berkata:
> "Aku tahu siapa kamu."
> Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
> Lelaki itu menganggukkan kepala: "Betul. Ya."
>
> (Malaekat penjaga firdaus
> wajahnya jahat dan dengki
> dengan pedang yang menyala
> tak bisa apa-apa.
> Dengan kaku ia beku.
> Tak berani lagi menuding padaku.
> Aku tak takut lagi.
> Sepi dan duka telah sirna.
> Sambil menari kumasuki taman firdaus
> dan kumakan apel sepuasku.
> Maria Zaitun namaku.
> Pelacur dan pengantin adalah saya.
>
> --
>
>
> Suhardono
> ''semoga ibdahmu dan ibadahku diterima Alloh SWT...."
>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar