Dari: "syauqiyahya"
> Gila
>
> Minggu, 12 Januari 2014 | 00:55 WIB
>
> Putu Setia
>
> @mpujayaprema
> Pemilihan umum makin dekat dan orang-orang pada sibuk. Ada yang sibuk membuat baliho sembari mencari pohon di pinggir jalan yang belum digelayuti peraga kampanye. Ada yang sibuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dengan target pemilu legislatif dan pemilu presiden disatukan. Ada yang sibuk nge-tweet, menjelek-jelekkan calon tertentu, dan mempromosikan calon yang dijagokannya. Para menteri pun sibuk, terutama yang dari partai politik atau yang ikut konvensi calon presiden. Urusan elpiji, pengungsi Sinabung, tanah longsor, diabaikan.
> Kepala Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya, juga sibuk. Rumah sakit ini sedang menyiapkan 300 tempat tidur dan 10 kamar paviliun untuk mengantisipasi pasien gila setelah pemilu. Menurut Direktur Utama RSJ Menur dr Adi Wirachjanto, pengalaman Pemilu 2004 dan 2009 cukup memberi bukti, banyak orang gila setelah pencoblosan selesai. "Pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan hal itu,'' katanya.
> Siapa yang akan gila? Para caleg yang gagal menjadi anggota Dewan. Astaga, kenapa hal itu bisa terjadi? Karena mereka mempertaruhkan uang yang tidak sedikit, dan uang itu diperoleh dengan berbagai cara. Dari cara yang halal (menjual perhiasan istri dan menjual warisan) sampai cara berutang. Bahkan, di Kalimantan Timur, ada caleg yang tertangkap karena merampok untuk mencari biaya kampanye.
> Para caleg ini sebenarnya sudah "gila" sebelum pemilu dimulai. Dalam otak mereka, uang yang dihamburkan sekarang ini akan kembali dalam satu tahun masa jabatannya sebagai anggota Dewan. Masa jabatan empat tahun setelahnya, sudah berarti keuntungan. Mereka tahu gajinya "belum kembali modal", tapi fasilitas sana-sini plus saweran sudah dihitungnya dengan cermat: amat banyak. Menjadi anggota Dewan di provinsi atau kabupaten, hanya dengan memainkan dana bantuan sosial saja, sudah jadi kaya.
> Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) punya data. Pada Pemilu 2009, ada 7.376 caleg gagal yang gila. Data diambil dari Kementerian Kesehatan. "Gila karena gagal. Bahkan ada yang sampai bunuh diri," ujar Wakil Sekjen KIPP Jojo Rohi.
> Jadi, layak kalau rumah sakit jiwa di berbagai kota lain juga dikabarkan ikut mengantisipasi pasien gila pasca-pemilu. Persaingan caleg makin ketat, uang yang harus disediakan makin banyak. Ditambah lagi bermunculan "tim sukses dadakan" yang mengompori caleg agar aktif berkampanye, memasang baliho dan mencetak baju kaus sebanyak-banyaknya. Di kampung saya, banyak anak muda yang jadi "tim sukses dadakan" hanya supaya bisa menjual bambu untuk memasang baliho.
> Para caleg juga saling serang. Anwar Fuadi, aktor sinetron yang "mendadak nyaleg", mengecam caleg yang hanya berpendidikan SMA dan miskin. Argumentasinya, sudah pendidikan rendah, miskin pula, bagaimana bisa menambah wawasan, bukankah nanti anggota Dewan menyeleksi pejabat-pejabat yang bergelar doktor? Fuadi dikecam, bahkan di Banten muncul "ikatan caleg miskin" yang meminta Anwar Fuadi meminta maaf.
> Saling jegal seperti ini marak di daerah-daerah. Betul-betul gila. Partai politik bukan hanya tak berhasil mencerdaskan masyarakat, mencari kader yang "normal" saja sulit. Hasil pemilu nanti sudah bisa ditebak. Para anggota Dewan terpilih adalah mereka yang "gila" (dalam tanda petik, yang bisa berarti gila kekuasaan, tak tahu apa yang dikerjakan, dan sebagainya), sementara yang gagal betul-betul gila dan menghuni rumah sakit jiwa. Seharusnya ada lembaga independen yang memantau para caleg "normal" dan mengumumkan ke masyarakat, hanya mereka yang layak dipilih
>
>
>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar