Dari: <syauqiyahya@gmail.com>
> Minggu, 26 Januari 2014 | 01:36 WIB
>
> Pilihan
>
> Putu Setia
>
> @mpujayaprema
>
> Selalu ada pilihan. Kata-kata ini terus diucapkan Romo Imam. Apa pun yang saya tanyakan, jawabannya selalu ada pilihan. Saya lantas memancing: "Kalau begitu, apakah saya masih punya pilihan? Pekerjaan sampingan apa yang cocok untuk saya?"
>
> Romo Imam terkekeh. "Menanam cabai atau jahe di dalam pot. Mau lebih keren, jadi penceramah. Selalu ada pilihan, kecuali menjadi sastrawan, apalagi yang berpengaruh. Itu tak bisa mendadak, ada proses panjang. Dipaksakan malah bisa mencemarkan predikat lain yang sudah disandang."
>
> Saya terbahak: "Ya, tidak Romo. Saya tak paham dunia sariawan, eh, sastrawan. Dunia yang suka ribut di kalangan mereka sendiri." Lalu saya serius: "Kalau menurut Romo, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyetujui pemilu serentak tetapi berlaku tahun 2019, pilihan tepat atau salah?"
>
> Romo minum air. "Itu pilihan terbaik untuk menyelamatkan posisi mereka. Hakim MK dalam keadaan serba salah. Perpu penyelamatan MK sudah berupa undang-undang, sementara para hakim, termasuk ketuanya, tak memenuhi syarat itu. Ada yang belum tujuh tahun meninggalkan partai politik, misalnya. Lalu muncul uji materi dari pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, mempersoalkan pemilu serentak dan ketentuan mengajukan pasangan capres dan cawapres yang sesuai dengan konstitusi. Argumen Yusril sangat lengkap dan ada jalan keluar kalau uji materinya diterima. Misalnya, tak perlu membuat undang-undang yang baru, pakai saja aturan UUD 45 dan pemilu bisa serentak tahun ini juga, ya, sesuai jadwal pemilu presiden di bulan Juli 2014."
>
> Romo minum lagi. "MK pasti tertekan. Mengabulkan Yusril, bisa dituduh macam-macam, bikin gaduhlah, bikin huru-haralah. Apalagi ada hantu perpu yang bisa memangkas mereka. Selalu ada pilihan. Pilihannya, ada uji materi yang diajukan Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Sipil, nun setahun lalu. Musyawarah hakim sudah dibuat Maret tahun lalu, tapi keputusan belum sempat dibacakan. Mungkin tak ada niat. Nah, itu saja dibacakan setelah dua hari sebelumnya memeriksa gugatan Yusril. Kebetulan uji materi Effendi Gazali tak memberi jalan keluar, maka kesempatan MK memberi jalan keluar yang bijak, versi mereka. Yakni, uji materi diterima, tetapi pemilu serentak tahun 2019. Alasannya teknis, perlu membuat undang-undang baru dan seterusnya. Ah, kamu sudah tahu kok, kemarin sudah ditulis."
>
> Saya tersenyum, tak mau berbohong. "Romo, apakah Pemilu 2014 jadi sah?" Romo menjawab: "MK jelas menyebutkan pelaksanaan Pemilu 2014 ini menyalahi konstitusi. Kata keren: inkonstitusional. Kalau sudah salah, maka kita akan mendapatkan wakil rakyat yang salah, lalu presiden yang inkonstitusional. Dan NKRI jadi Negara in-Konstitusional Republik Indonesia."
>
> Romo tertawa, tapi saya menyela: "Yang saya tanyakan, Pemilu 2014 nanti sah apa tidak?" Romo menjawab: "Sah secara hukum karena ada pendapat, keputusan MK itu, apa pun isinya, adalah konstitusi. Karena MK menetapkan pemilu yang inkonstitusional, maka langkah inkonstitusional itu adalah konstitusi. Paham?"
>
> Saya terpojok, lalu berkelit: "Jangan gunakan kata paham atau tak paham, nanti Romo dicela di Instagram." Kasihan Romo bingung ke mana arah kalimat saya, lalu saya mengalihkan: "Ngomong-ngomong, apa Romo sudah baca buku Selalu Ada Pilihan karya presiden kita?"
>
> Eh, Romo cepat menjawab: "Belum, saya mau membaca setelah beliau tak lagi menjadi presiden, supaya lebih jernih mengomentari. Kan tinggal 270 hari." Saya kaget, kok Romo ikut menghitung mundur, ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar