8.02.2019

@bende mataram@ Bagian 104

@bende mataram@
Bagian 104


Ibunya selalu menderukan nama itu berulang kali, setiap kali membicarakan
hal-hal yang terdapat di dalam daerah Jawa Tengah. Maksud ibunya hendak
menanamkan bibit persahabatan sekuat-kuatnya dalam hatinya. Tatkala harus
berguru pada Jaga Saradenta dan Wirapati, diapun sadar apa guna-faedah-nya.
Juga kala dia harus berangkat ke Jawa Tengah. Perjalanan itu semata-mata
untuk urusan pertemuannya dengan temannya sepermainan masa kanak-kanak, si
Sanjaya. Karena itu, sepanjang perjalanan ia selalu mengharapkan suatu
pertemuan selekas mungkin, sampai-sampai ia mengira si pemuda kumal adalah
Sanjaya. Tak tahunya, kini dia malah bisa bertemu tanpa perantaraan kedua
gurunya. Cuma saja terjadinya pertemuan itu, mengapa begitu rupa? Ingin dia
membantah keterangan Panembahan Tirtomoyo. Alasannya kuat pula.
Pertama-tama, Sanjaya bukanlah anak seorang ningrat. Dia anak almarhum
sahabat ayahnya. Sama-sama anak kampung seperti dirinya. Kedua, barangkali
dia adalah murid Ki Hajar Karangpandan yang lain seperti Surapati. Dan
ketiga, seumpama si - pemuda ningrat itu benar-benar Sanjaya, masa tak
mengenal dirinya? Masa dua




belas tahun bisa berubah sehebat itu seperti membalik bumi. Tapi ia
terperanjat sendiri, jika teringat kalau diapun tak mengenal siapakah si
pemuda ningrat itu. Memperoleh pertimbangan demikian, seluruh tubuhnya
lantas menjadi lemas.


Gap-gap ia menatap muka Panembahan Tirtomoyo untuk mencari keyakinan.
Sesungguhnya alasan untuk tidak mempercayai orang tua itu, tidak ada sama
sekali. Wajah itu, begitu alim dan saleh. Dia bukan termasuk golongan orang
yang bisa bergurau. Memikir demikian hatinya kian memukul sampai terdengar
berdegupan.


"Aki!" katanya perlahan-lahan setengah berbisik. "Sekiranya dia benar teman
sepermainanku Sanjaya, mengapa dia menghina diri seorang gadis di depan
umum. Seumpama dia enggan mengawini Nona itu, apakah jadinya?"


Benar-benar Sangaji pemuda yang beku dan bersih hati. Tak gampang-gampang
melupakan perkara perjodohan Nuraini. Rupanya sesuatu hal yang menusuk
perasaan tetap saja melekat pada perbendaharaan kalbunya.


Panembahan tersenyum melihat tata-peng-ucapan hatinya. Ia menjawab seperti
menggurui,


"Bocah, benar-benar kamu berhati mulia. Melihatmu, lantas saja timbul
keheranan mengapa adikku bisa mendapat murid seperti Sanjaya. Apakah dia
tak memperhatikan nilai-nilai budi pekerti? ... " ia berhenti,
merenung-renung. Kemudian meneruskan sambil menggeleng-gelengkan kepala,
"Baiklah kupinta penjelasannya. Beberapa hari ini dia akan sampai juga di
kota ini."


"Siapa?"


"Adikku Hajar Karangpandan."


Mendengar jawaban Panembahan Tirtomoyo, diam-diam Sangaji bergirang hati.
Ia berharap, kedua gurunya sampai pula.


"Bocah, sebenarnya kamu harus memikirkan kepentinganmu sendiri. Kamu bakal
di uji dan mendapat ujian berat. Sebab bagaimanapun juga, Sanjaya adalah
murid adikku. Pastilah dia telah memiliki bermacam-macam ilmu jasmaniah dan
mantran." Kata


Panembahan Tirtomoyo mengesankan. "Pernahkah - kamu mendengar tentang ilmu
mantran?" "Apakah itu?"


Panembahan Tirtomoyo tertawa dalam dada. Sambil membimbing Sangaji ia
berkata, "Dengar! Di dalam pergaulan hidup ini, tidak selamanya berjalan di
atas nilai-nilai tata-jas-maniah yang wajar. Sejarah manusia menemukan
sesuatu pengucapan-pengucapan lain oleh pengalaman usia manusia itu
sendiri. Penemuan itu disebut tata-gaib."


"Apakah itu?" Sangaji heran.


"Suatu derun pengucapan manusia yang mulai meragukan kemampuan tenaga
jasmaniah untuk mencapai sesuatu maksud. Mengapa, anakku? Inilah
alasannya." Kata Panembahan Tirtomoyo menggurui. "Manusia ini mempunyai
perlengkapan jasmani yang cukup sempurna untuk menyatakan ungkapan hati.
Manusia mempunyai dua buah mata, dua tangan, dua kaki dan tulang-belulang
lengkap dengan otot-otot serta segalanya. Tetapi anakku, apakah benar
perlengkapan jasmani itu mampu menguber tiap derun angan manusia? Tidak!
Sama sekali tidak! Bahkan terasa dalam hati, bahwa perlengkapan tubuh
alangkah kerdil. Mata umpamanya, selagi terhalang oleh dinding saja, sudah
terasa kerdil. Karena mata tak kuasa menembus. Lengan dan tangan sekalipun
cekatan dan perkasa, apakah mampu memeluk gunung atau menggempur bukit?
Begitu juga kaki walaupun teguh sentosa bagaikan pohon besi, apakah sanggup
pula melompati luasnya lautan?"


"Lantas?" Sangaji tertarik hatinya.


"Oleh kenyataan yang mengecewakan derun angan itu, manusia mulai menggali
dan menggali. Akhirnya diketemukan suatu perlengkapan lain yang dapat
mengatasi dan mampu menguber




setiap angan." "Apakah itu?"


"Cipta." Panembahan Tirtomoyo menyahut cepat. "Kalau mau disebutkan
selengkap-lengkapnya ialah: Hidup, Gerak, Rasa, Cipta, dan Karsa. Inilah
alat tata-rasa jasmaniah manusia. Karena tidak nampak, maka tata-rasa itu
disebut golongan rohaniah. Nah, tata-rasa ini mempunyai
pengucapan-pengucapan sendiri, kemampuan-kemampuan sendiri dan laku
sendiri. Mengingat tata-rasa sebagai suatu alat manusia, harus juga
mengalami suatu latihan tertentu. Bukan seperti tata-jasmani yang
mengutamakan latihan raga, tetapi lebih mengutamakan pengendapan. Inilah
yang di-sebut orang laku bertapa. Orang mengurangi! laku makan-minum dan
tidur. Mengapa begitu? Karena manakala manusia tidak makan-minum dan tidur,
terjadilah suatu pembakaran dalam tubuh. Itulah akibatnya pemberontakan dan
kegiatan tata-rasa yang butuh nada pelepasan. Seperti sebuah roda berputar
akan berbunyi bergeritan dan panas, ketika orang mencoba menekannya
kuat-kuat. Apabila tekanan dilepaskan, dengan mendadak saja roda itu akan
berputar kencang berdesingan karena endapan tenaga yang tertekan."


Panembahan Tirtomoyo berhenti mencari kesan. Ketika melihat Sangaji
benar-benar merasa tertarik, ia meneruskan seperti sedang menggurui,


"Seumpama sebuah bendungan air yang tergenang arus air terus-menerus,
membutuhkan suatu pelepasan teratur. Air itu akan menggoncangkan segala dan
menjebol mengikuti saluran di mana saja terjadi. Begitu juga luapan
tata-rasa itu akan menurut kehendak angan manusia bagaikan suatu saluran
tertentu. Maka karena pengalaman manusia pula, terjadilah suatu
istilah-istilah penggolongan saluran tata-rasa yang disebut orang mantran.
Pernahkah kamu mendengar istilah-1 istilah seperti Mantran kekebalan, Ismu
petak, Ismu Aji Gajah Wulung, Ismu Gunting, Mantran Sapu Jagad, Aji Welut
Putih, Aji Bragola, Aji Brajalamatan, Aji Jayengkaton dan bermacam mantran
dan aji lainnya? Itulah seumpama saluran-saluran sebuah bendungan air yang
sedang memberontak. Hebat tenaganya, dan memiliki tata-kerja yang tak dapat
dilawan oleh tata-kerja jasmaniah. Itulah sebabnya, maka tata-kerja tenaga
itu disebut tata-gaib. Barangsiapa yang lebih kuat maka dialah yang menang."


Mendengar tutur-kata Panembahan Tirtomoyo, Sangaji merenung-renung.
Akhirnya berkata, "Apakah Sanjaya memiliki tenaga ajaib itu?"


"Adikku memiliki bermacam mantran dan aji. Apakah Sanjaya diwarisi ilmu
saktinya, kita lihat nanti. Tetapi kamu tak usah berkecil hati. Aku berada
di sampingmu. Kalau adikku bermain ugal-ugalan, biarlah aku nanti yang
meladeni."


Sangaji mengernyitkan dahi. Panembahan Tirtomoyo mengira dia sedang dalam
keragu-raguan. Mau dia membesarkan hatinya, mendadak Sangaji berkata di
luar dugaan.


"Tapi ... bagaimana nasib gadis tadi? Apakah kita biarkan dia meradangi
nasibnya yang buruk?"


"Ah!" Panembahan Tirtomoyo terperanjat. Kemudian ia tertawa geli sampai
tubuhnya bergoncang-goncang. "Bocah! Benar-benar kamu tak mau memikirkan
kepentingan dirimu sendiri. Alangkah mulianya hatimu. Baik, ayo kita jenguk
keadaan gadis itu. Kulihat tadi, hatinya keras sampai mau bunuh diri di
depan umum. Aku khawatir, kalau dia mau melakukan perbuatan terkutuk itu di
dalam penginapannya ... Ayo!"


Habis berkata demikian dengan sebat pergelangan tangan Sangaji disambarnya.
Kemudian dibawa lari secepat angin. Diam-diam Sangaji mengagumi ilmu
larinya, dilihat dari tata mata, dia sudah berusia lanjut. Tak tahunya
gerakannya gesit luar biasa sampai dia sendiri terasa dibawa terbang
melintasi tanah.


Sebentar saja mereka telah tiba di tempat pemberhentian kuda. Dengan
gampang mereka menemukan losmen miskin yang berdiri di dalam gang kecil.
Tatkala mereka hendak memasuki pintu pagar, serombongan polisi daerah
datang menyambut sambil memperlihatkan sepucuk


surat lipatan.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar