From: syauqiyahya
Sabtu, 13/12/2014 09:28 WIB
Kolom Refly Harun
Tak Pulang Maka Tak Sayang
Kolom Refly Harun
Tak Pulang Maka Tak Sayang
Refly Harun - detikNews

Jakarta - Hari ini, 13 Desember 2014, Badan Penerbitan Pers Mahkamah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (BPPM FH UGM) bereuni dengan memanggil alumni. Sejak menerbitkan Majalah Mahkamah edisi perdana pada tahun 1990, BPPM FH UGM ikut andil melahirkan politisi, akademisi, penulis, atau aktivis andal macam Ganjar Pranowo, Denny Indrayana, Zainal Arifin Mochtar, Febridiansyah, hingga Emerson Yuntho.
Saya sendiri termasuk salah seorang pendiri media tersebut, yang sayangnya tak tahu bagaimana perkembangan media itu selanjutnya di tengah gempuran derasnya perubahan matra dari cetak ke online. Saat terbit awal jabatan saya cukup mentereng: wakil pemimpin redaksi, kendati saat itu paling muda di antara jajaran redaksi.
Tentu tidak soal reuni itu yang ingin saya tulis, tetapi taglin panitia untuk menyapa alumni dengan tak pulang maka tak sayang menjadi ilham bagi saya untuk mengulik tentang fenomena Golkar yang sedang mengalami keterpecahan. Sayang bila tak pulang pantas disematkan pada banyak hal di Golkar.
Sayang pertama, soal tradisi berdemokrasi dalam pemilihan ketua umum. Awalnya, Golkar adalah mahasedikit dari sedikit parpol di Indonesia yang masih menyisakan ruang bagi demokrasi pemilihan ketua umum. Partai lain sudah sejak pendiriannya berkubang dengan tradisi calon tunggal atau aklamasi, atau terserah Pak Ketua atau Ibu Ketua dalam pemilihan ketua umum. Sama sekali tidak ada demokrasi, yang memunculkan paradoks: institusi demokrasi tetapi tidak demokratis!
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Golkar minimal menyajikan kompetisi ketat untuk menjadi orang nomor satu. Setidaknya hal ini ditunjukkan Golkar pada era Reformasi. Akbar Tandjung pernah bersaing ketat dengan Edi Sudradjat. Demikian pula Aburizal Bakrie dengan Surya Paloh. Namun sekarang, Golkar ikut-ikutan menjadikan ketua umumnya atau orang kuatnya menjadi orang nomor satu dengan aklamasi. Tanpa opsi. Tanpa imajinasi demokrasi. Hanya aklamasi. Sayang kalau Golkar tidak pulang pada tradisi berdemokrasi tersebut.
Akibatnya, ada kelompok yang meradang, yang menggelar munas tandingan. Kini kedua kelompok berebut legalisasi penguasa sebagai pengurus sah. Tak jelas siapa yang akan dimenangkan antara kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono. Secara bercanda, kedua kubu sering disebut dengan Golkar, golongan Aburizal, dan Golkal, golongan Agung Laksono.
Saya sendiri menyarankan agar Menteri Hukum dan HAM tidak mengambil tindakan apa-apa. Waktu tujuh hari yang diberikan undang-undang untuk menentukan sikap apakah akan menerima atau menolak pendaftaran tak perlu digubris. Pemerintah sebaiknya netral terhadap kedua kelompok. Negara baiknya menyarankan kepada kedua kelompok untuk berislah. Bila tidak tercapai, Menkum HAM tinggal menanti siapa yang dimenangkan pengadilan bila kasus ini tetap dibawa ke pengadilan.
Sayang kedua soal sikap terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada). Sangat aneh ketika Golkar menjadi proponen penolak pemilihan langsung kepala daerah bersama Partai Gerindra. Sebab, pada saat reformasi konsitutsi (1999-2002), justru Golkarlah yang paling getol mendorong pemilihan langsung presiden. PDIP, sebaliknya, menjadi parpol yang sangat tidak mendukung gagasan pemilihan langsung tersebut.
Sikap Golkar tentu tak bisa dipisahkan dari kepentingan jangka pendek untuk menguasai kepala-kepala daerah di seluruh Indonesia dengan cara mudah dan murah, yang cenderung tidak demokratis, bahkan bisa sangat elitis, bersama Koalisi Merah Putih (KMP). Ambil contoh pemilihan gubernur di seluruh Indonesia. Bila pemilihan melalui DPRD, diperkirakan KMP akan menyapu 33 dari 34 jabatan gubernur yang ada. Sebab, ditambah Demokrat, KMP menjadi mayoritas di 33 provinsi tersebut. Andaikan Demokrat tak bergabung, KMP masih tetap akan unggul di setidaknya 30 provinsi.
Fakta tersebut sangat menggiurkan Golkar dan KMP untuk mempertahankan pemilihan kepala daerah melalui DPRD dan menghapus pemilihan langsung oleh rakyat yang telah dilaksanakan sejak 2005. Sayang Golkar terjebak dengan perhitungan jangka pendek. Harusnya mereka pulang pada ide awal mereka sebagai proponen pemilihan langsung dalam gelombang reformasi konstitusi 1999-2002.
Jangka Pendek
Adalah kicauan dari Aburizal Bakrie (ARB) yang mulai menenteramkan hati. Dalam tweet Rabu, 10 Desember lalu, ARB menyatakan Golkar mendukung Perppu Pilkada. Artinya, Golkar sudah setuju kembali dengan pemilihan langsung. Perubahan mendadak ini tidak terlepas dari marahnya Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Golkar dan tentu saja ARB sendiri. Sampai-sampai ada keluar kalimat "pengkhianat" dari tweet SBY.
Perppu Pilkada adalah legacy akhir masa pemerintahan SBY. Di tengah kontroversi penerbitan perppu tersebut, produk hukum dalam keadaan genting dan memaksa tersebut telah menghidupkan kembali pilkada langsung, yang telah dimatikan dalam Paripurna DPR tanggal 26 September 2014. Sangat aneh bila Demokrat dan SBY tidak sungguh-sungguh memperjuangkan agar Perppu Pilkada diterima oleh DPR kendati kemungkinan itu bisa saja terjadi.
Namun, kemarahan SBY setidaknya menunjukkan keseriusannya untuk mempertahankan Perppu Pilkada. Inilah yang membuat ARB balik mendukung perppu karena potensial kehilangan mitra strategis. Selain penguasaan kepala daerah, target Golkar dengan KMP-nya tentu tetap menjadi penguasa mayoritas di DPR.
Terpeleset bertindak atau mengusik kehormatan mitra strategis dapat menyebabkan Golkar kehilangan penguasaan mayoritas di DPR sehingga sikap menolak perppu jadi tak ada gunanya lagi. Bukan apa-apa, bila Demokrat merapat ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sementara Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih terpecah, bisa jadi voting akan dimenangkan KIH untuk agenda apa saja di DPR. Terlebih bila Partai Amanat Nasional (PAN) juga ikut gerbong Demokrat, akan lengkaplah penderitaan Golkar dan KMP.
Balik mendukung perppu karenanya menjadi pilihan tanpa opsi lagi bagi Golkar. Menahan Demokrat agar tetap rapat dengan KMP akan lebih strategis ketimbang ngotot menolak Perppu Pilkada. Sayangnya, pilihan pulang kepada ide awal ini bukan karena ingin pulang pada gagasan awal sebagai proponen pemilihan langsung, melainkan semata-mata kalkulasi politik. Jangka pendek pula.
Apa pun motivasinya, dukungan ARB terhadap Perppu Pilkada menjadi angin segar bagi kita yang ingin mempertahankan demokrasi lokal, demokrasi yang telah melahirkan pemimpin macam Jokowi, Ridwan Kamil, atau Risma. Belum banyak memang, tetapi ada tren positif di masyarakat. Pemimpin yang baik tetap punya peluang terpilih dalam pemilihan langsung tersebut.
Sayang kalau kita tidak pulang ke pemilihan langsung.
Jakarta, 13 Desember 2014
Refly Harun adalah Pengajar dan Praktisi Hukum Tatanegara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar